- Peneliti Jepang menemukan bahwa mengecat sapi dengan pola zebra membuat lalat penghisap darah hinggap 50 persen lebih sedikit, sehingga sapi lebih tenang dan tidak perlu terlalu sering diobati dengan insektisida.
- Hasil riset ini mendapat pengakuan di Ig Nobel 2025, sebuah penghargaan satir yang meniru Nobel dan merayakan penelitian yang terdengar kocak tetapi membuat orang berpikir; Kojima dan timnya bahkan menampilkan riset ini secara jenaka di panggung Boston.
- Meski bersifat humoris, penelitian ini menawarkan solusi ramah lingkungan yang bisa diterapkan di peternakan, termasuk di negara tropis seperti Indonesia, untuk mengurangi kerugian ekonomi, menjaga kesehatan ternak, dan menekan penggunaan bahan kimia.
Sebuah tim peneliti Jepang menemukan cara yang tidak biasa namun efektif untuk membantu sapi terbebas dari gangguan lalat penghisap darah. Dengan mengecat tubuh sapi hitam menggunakan garis-garis putih menyerupai zebra, jumlah lalat yang hinggap berkurang drastis. Eksperimen sederhana ini kemudian mendapat pengakuan internasional ketika mereka dianugerahi Ig Nobel 2025 kategori biologi, sebuah penghargaan satir yang meniru Nobel dan diberikan setiap tahun untuk penelitian yang terdengar bercanda tetapi pada akhirnya membuat orang berpikir.
Bagi dunia peternakan, lalat penghisap darah bukanlah masalah sepele. Hewan kecil ini bisa menimbulkan stres, mengurangi kenyamanan sapi, serta menjadi vektor penyakit berbahaya. Ketika lalat menyerang dalam jumlah banyak, produktivitas sapi menurun dan beban ekonomi peternak meningkat. Studi di Amerika Serikat memperkirakan kerugian akibat serangan lalat pada industri sapi mencapai lebih dari 2,2 miliar dolar AS setiap tahun, angka yang menggambarkan betapa seriusnya dampak dari hama berukuran kecil ini.
Akibat gangguan lalat, sapi lebih banyak menghabiskan energi untuk mengibas ekor, menghentakkan kaki, atau menggoyang kepala ketimbang makan dan merumput. Perilaku ini berujung pada penurunan berat badan, berkurangnya produksi susu, hingga terganggunya kemampuan reproduksi. Bahkan daya tahan tubuh sapi bisa melemah jika stres berlangsung dalam jangka panjang. Dengan kata lain, kehadiran lalat bisa memengaruhi hampir semua aspek kesejahteraan dan produktivitas ternak.
Untuk mengatasinya, insektisida telah lama menjadi senjata utama peternak. Namun, solusi ini menimbulkan persoalan baru. Residu bahan kimia bisa mencemari tanah dan air, sementara serangga lambat laun bisa menjadi kebal. Insektisida juga berpotensi menimbulkan risiko kesehatan pada hewan maupun manusia. Kondisi ini mendorong peneliti mencari cara alternatif yang lebih ramah lingkungan, murah, dan tetap efektif. Penelitian Kojima dan timnya menjadi salah satu contoh bagaimana ide sederhana bisa menjawab tantangan yang kompleks.
Ide Garis Zebra yang Menginspirasi Eksperimen Lapangan
Pertanyaan tentang fungsi garis zebra sudah lama menjadi bahan perdebatan di dunia biologi. Ada yang berpendapat garis itu membantu zebra mengenali sesamanya, ada pula yang mengaitkannya dengan kemampuan menyamarkan diri dari predator. Namun, semakin banyak penelitian menunjukkan bahwa pola hitam putih justru punya fungsi praktis lain: menghalangi lalat dan serangga penghisap darah untuk menempel. Garis-garis itu diduga menciptakan ilusi visual yang membingungkan mata serangga, sehingga mereka kesulitan menentukan tempat mendarat.

Gagasan ini kemudian menarik perhatian Tomoki Kojima, peneliti dari Organisasi Penelitian Pertanian dan Pangan Nasional Jepang. Ia mulai serius mempertimbangkan hipotesis zebra setelah seorang peternak Wagyu berkonsultasi kepadanya tentang masalah lalat yang sulit diatasi tanpa insektisida. Alih-alih kembali pada solusi kimia, Kojima mencoba pendekatan sederhana yang bisa diuji langsung di lapangan: mengecat sapi hitam dengan garis-garis putih berbasis air.
Eksperimen awal dirancang sesederhana mungkin agar hasilnya jelas. Satu sapi dicat dengan garis putih menyerupai zebra, satu sapi dicat dengan garis hitam sebagai kontrol untuk memastikan efeknya bukan karena bau cat, sementara satu sapi lain dibiarkan tanpa cat. Proses pengecatan tidak memakan banyak waktu, hanya sekitar lima menit per ekor. Selama beberapa hari berturut-turut, tim mengamati jumlah lalat yang hinggap, sekaligus mencatat perilaku sapi saat berusaha mengusir serangga.

Hasil yang muncul konsisten. Sapi bergaris zebra menarik 50 persen lebih sedikit lalat dibanding sapi polos maupun sapi bercat hitam. Selain itu, sapi dengan pola zebra terlihat lebih tenang. Mereka jarang mengibas ekor, menggoyang kepala, atau menghentak kaki. Indikator ini menunjukkan berkurangnya rasa tidak nyaman akibat gigitan serangga.
Kojima menduga garis kontras memecah siluet tubuh sapi sehingga lalat tidak bisa memperkirakan jarak dengan baik. Mekanisme persisnya masih perlu penelitian lebih lanjut, tetapi temuan ini menguatkan teori bahwa garis zebra berevolusi sebagai bentuk perlindungan dari serangga penghisap darah. Dengan kata lain, apa yang bekerja di alam liar juga bisa diterapkan pada hewan ternak.
Penelitian Sederhana yang Tampil di Panggung Ig Nobel
Hasil eksperimen ini dipublikasikan pada 2019 di jurnal PLOS ONE. Namun, baru setelah riset tersebut diangkat dalam ajang Ig Nobel 2025 publik dunia memberi perhatian lebih. Ig Nobel adalah penghargaan satir yang lahir pada 1991, diselenggarakan oleh Annals of Improbable Research. Tujuannya sederhana: merayakan penelitian yang terdengar konyol, membuat orang tertawa, tetapi akhirnya mendorong pemikiran serius. Acara ini rutin digelar beberapa minggu sebelum Nobel asli diumumkan.
Kojima sendiri tampil dengan kemeja bermotif zebra. Dua rekannya, Kazato Oishi dari Universitas Kyoto dan Sei Sato dari Pusat Penelitian Ternak Aichi, membawa papan bergambar lalat untuk “menyerangnya” di atas panggung. Dengan tenang Kojima membuka jaketnya dan memperlihatkan kemeja bergaris, adegan yang langsung disambut tawa penonton. “Ketika saya melakukan eksperimen ini, saya berharap akan memenangkan Ig Nobel. Ini impian saya. Sungguh tidak bisa dipercaya,” ujarnya di hadapan audiens.

Namun, di balik adegan humor itu, Kojima mengingatkan bahwa penerapan hasil penelitian tidak semudah yang dibayangkan. Mengecat sapi satu per satu jelas sulit dilakukan di peternakan berskala besar. Karena itu, timnya dan para petani mulai mencari alternatif. Salah satunya dilakukan di Prefektur Yamagata, dengan cara memutihkan bulu sapi agar pola zebra bertahan lebih lama. Beberapa peternak yang awalnya skeptis mengaku terkejut karena sapinya benar-benar terbebas dari lalat. Bahkan kekhawatiran bahwa sapi bercorak aneh akan ditolak kawanan ternyata tidak terjadi.
Dengan jembatan ini, terlihat jelas bagaimana sebuah ide sederhana, lahir dari rasa ingin tahu, bisa berubah menjadi riset lapangan yang diakui dunia. Dari hipotesis tentang zebra di savana Afrika, muncullah solusi potensial untuk masalah yang selama ini membebani peternak sapi modern.
Meski berbalut satir dan humor, penelitian Kojima membawa pesan serius. Lalat bukan hanya masalah kenyamanan, melainkan ancaman ekonomi yang besar. Ketergantungan pada insektisida sudah menimbulkan banyak dampak negatif. Maka, pendekatan kreatif yang meniru mekanisme alami patut dipertimbangkan.
Di negara tropis seperti Indonesia, di mana populasi lalat tinggi dan kerugian akibat penyakit ternak signifikan, metode ini bisa sangat relevan. Cat atau pemutihan bulu sapi relatif aman, murah, dan ramah lingkungan. Jika penelitian lebih lanjut membuktikan efektivitasnya di iklim tropis, teknik ini bisa membantu peternak mengurangi ketergantungan pada bahan kimia.