- Banjir bandang menimpa Nagekeo, Nusa tenggara Timur, 8 September. Puluhan rumah tertimpa batu-batu besar seukuran mobil yang terbawa arus air karena hujan yang tidak berhenti sejak dini hari.
- Romo Arnoldus Yansen Triyono, Pastor paroki Sint. Joanne Baptista Wolosambi, yang membantu evakuasi warga, menyebut, kerusakan karena banjir bandang dan longsor sangat masif. Sehari setelah kejadian, dia lihat dua jembatan, Teodhae 1 dan 2 hancur.
- Abdul Muhari, Kepala Pusat Data, Informasi dan Komunikasi Kebencanaan BNPB, mengatakan, sedang bekerja keras mencari korban dan memperbaiki berbagai infrastruktur utama, normalisasi sungai, memperbaiki pipa, dan membuat jembatan bailey. Dua jembatan bailey akan mengganti jembatan yang ambruk sampai selesai pembangunan jembatan permanen. Catatan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) per 13 September, lima tewas dan tiga hilang karena bencana itu.
- Dwikorita Karnawati, Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), mengatakan pemicu terjadinya banjir bandang di Nagekeo, termasuk Bali, karena adanya curah yang datang lebih awal daripada kondisi normal. Pantauan iklim BMKG mencatat, sebagian wilayah Indonesia memasuki musim hujan sejak Agustus 2025, dan secara bertahap akan meluas ke sebagian besar wilayah pada periode September hingga November 2025.
Romo Arnoldus Yansen Triyono, Pastor paroki Sint. Joanne Baptista Wolosambi, Desa Sawu, Kecamatan Mauponggo, Nagekeo, Nusa Tenggara Timur (NTT), tengah berada di gerejanya di atas bukit saat banjir bandang menimpa Mauponggo, 8 September malam. Masih terang dalam ingatannya saat kilat menyala-nyala di atas langit, petir yang menyambar suatu benda di kejauhan, dan hujan yang tak kunjung berhenti sejak 02.00 WITA.
Dia dan orang-orang di Paroki bergegas ke bawah bukit saat melihat sambaran petir. Firasat mereka mengatakan telah terjadi sesuatu di bawah. Listrik pun padam malam itu.
“Saya sempat mengeluarkan mobil pick up yang ada di sini karena tahu pasti ada korban,” katanya. Jumat, 12 September.
Sesampainya di pemukiman bawah bukit, rombongan itu melihat 2-3 rumah hancur, remuk karena tanah longsor. “Tidak sampai 15 menit mungkin kejadiannya. Cepat sekali.”
Beberapa orang terlihat berusaha menyelamatkan diri ke lokasi aman. Dia dan rombongan pun membantu keluarga yang membutuhkan.
Mereka pikul warga yang tertimpa reruntuhan material, membawanya ke kampung lain bersama sanak saudaranya.
Korban jiwa tak terhindarkan. Tiga orang wafat dan empat orang hilang. Catatan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) per 13 September, lima orang tewas dan tiga hilang karena bencana itu.
Triyono bilang, kerusakan karena banjir bandang dan longsor sangat masif. Sehari setelah kejadian, dia lihat dua jembatan, Teodhae 1-2 hancur.
Jalur aliran sungai Lowokoke berubah dan melebar, yang tadinya sekitar 30 meter jadi 100 meter. Pipa-pipa air pun putus dan rusak.
“Ketika hari mulai cerah begini, kita baru bisa lihat dari sini, itu longsoran memang dari atas lereng dari hutan di Gunung Ebulobo memang.”
Saat membesuk korban, dia mendengar banyak warga yang trauma. Awalnya, kata dia, warga mengira hujan besar yang terjadi merupakan fenomena alam biasa, tapi batu-batu besar seukuran mobil menghantam rumah mereka dari atas lereng gunung ebulobo. Akibatnya, sebagian warga terpental dan terseret puing-puing runtuhan dan material longsor.
Warga, katanya, belum pernah merasakan bencana serupa. Kalau hujan lebat, air yang mengalir biasanya tetap bening. Mereka pun biasanya sudah bisa memprediksi ketinggian air kalau ada banjir.
“Semua batu yang ada di kali ini itu semua dari gunung karena batunya itu besar-besar seperti mobil itu,” ucap Triyono.
Warga, katanya, saat ini butuh bantuan air karena jaringan perpipaan yang hancur dan mesin yang hanyut. “Kita bisa usahakan yang lain. Yang utama adalah air.”
Cari korban dan perbaikan infrastruktur
Abdul Muhari, Kepala Pusat Data, Informasi dan Komunikasi Kebencanaan BNPB, mengatakan, sedang bekerja keras mencari korban dan memperbaiki berbagai infrastruktur utama, normalisasi sungai, memperbaiki pipa, dan membuat jembatan bailey. Dua jembatan bailey akan mengganti jembatan yang ambruk sampai selesai pembangunan jembatan permanen.
Aam, sapaan akrabnya, menyebut 219 personel terjun ke lokasi membantu korban dan mencari yang hilang. Mereka juga menggunakan drone thermal untuk mencari jasad yang hilang, karena akses medan yang sulit, bahkan untuk alat berat.
“Listrik yang mati sudah pulih. Meski di beberapa tempat perlu penggantian tiang dan sedang dikerjakan PLN, tapi secara umum 95% sudah pulih,” katanya, Sabtu (13/9/25).
BNPB mencatat, 400 meter saluran air rusak karena banjir. Lokasi pembangunannya akan mengikuti saran warga, karena mereka yang tahu lokasi.
Dia bilang, banjir bandang dan longsor di Nagekeo mirip dengan Siklon Seroja pada tahun 2021 dan Siklon Flores pada Tahun 1973 yang memakan banyak korban di NTT. Batu-batu besar turun dari gunung, memakan banyak korban nyawa dan menghancurkan kawasan pemukiman dan infrastruktur umum.
“Pada saat itu korban jiwanya itu 1523 orang, saat itu 1973 itu, dan Kompas menyebutkan di berita itu kerugian ekonominya itu pada saat itu 1973 Kompas edisi 1973 itu 2,8 miliar saat itu.”
Menurutnya, bencana seperti ini berulang. Dia yakin bencana besar hari ini juga terjadi di masa lalu. Ia semacam siklus, terjadi secara berulang.
Banjir bandang yang terjadi di Nagekeo, selain korban jiwa, juga mengakibatkan 57 orang mengungsi. Mereka evakuasi mandiri, mengungsi ke rumah sanak saudara. Aam bilang, banjir bandang ini tidak menghantam daerah pemukiman yang padat.
“Total rumah rusak yang terdampak langsung itu sekitar, ya, maksimal hitungan sementara tim kita di lapangan itu sekitar 60 unit,” tegasnya.

Fenomena atmosfer
Dwikorita Karnawati, Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), mengatakan pemicu terjadinya banjir bandang di Nagekeo, termasuk Bali, karena ada curah hujan datang lebih awal daripada kondisi normal.
Pantauan iklim BMKG mencatat, sebagian wilayah Indonesia memasuki musim hujan sejak Agustus 2025, dan secara bertahap akan meluas ke sebagian besar wilayah pada periode September hingga November 2025.
“Dibandingkan dengan rerata klimatologis 1991–2020, awal musim hujan tahun ini cenderung maju di sebagian besar wilayah Indonesia,” katanya dalam keterangan pers, 12 September.
Dia prediksi, musim hujan berlangsung dari Agustus 2025 hingga April 2026, dengan puncak hujan yang bervariasi, sebagian besar terjadi pada November–Desember 2025 di Sumatera dan Kalimantan, serta Januari–Februari 2026 di Jawa, Sulawesi, Maluku, dan Papua.
Dari 699 Zona Musim (ZOM) di Indonesia, 79 ZOM akan memasuki musim hujan pada September 2025, 149 ZOM memasuki musim hujan pada Oktober, dan 105 ZOM akan mengalami musim hujan pada November.
Menurut prediksi, ZOM terakhir inilah yang terjadi pada sebagian besar Nusa Tenggara Barat dan NTT, Sulawesi bagian tengah dan tenggara, sebagian Maluku, sebagian Papua Barat, serta sebagian Papua.
Dia menegaskan, dinamika atmosfer saat ini cukup kompleks dan berkontribusi pada peningkatan risiko bencana hidrometeorologi di berbagai daerah. Fenomena itu memicu potensi hujan lebat dan angin kencang yang mengakibatkan banjir, longsor, dan gelombang tinggi.
Faktor-faktor yang memicu kondisi ini, menurutnya, merupakan Fase Dipole Mode Index (DMI) negatif dan anomali Outgoing Longwave Radiation (OLR) bernilai negatif yang mendukung pembentukan awan hujan. Aktivitas Madden–Julian Oscillation (MJO), gelombang Kelvin, Rossby ekuator, serta gelombang atmosfer frekuensi rendah yang sedang aktif memperkuat kondisi ini.
Selain itu, siklon tropis 93S di Samudra Hindia barat Bengkulu juga menciptakan konvergensi dan konfluensi angin, pola siklonik di Kalimantan Utara yang memperbesar peluang terjadinya hujan memperkuat kondisi ini.
Kompleksitas dinamika atmosfer ini, membuat BMKG sejak 5 September 2025 melakukan pembaruan kondisi cuaca menjadi per jam, melalui sistem nowcasting pada saat hujan ekstrem mulai terjadi. Periode 9-10 September saja, mereka telah menerbitkan 11 kali pembaruan peringatan dini cuaca ekstrem untuk wilayah Bali.
“Dengan kesiapsiagaan dan mitigasi yang baik, kita bisa meminimalkan risiko bencana akibat cuaca ekstrem yang masih akan berlangsung dalam beberapa hari ke depan.”
Ardhasena Sopaheluwakan, Deputi Bidang Klimatologi BMKG, menjelaskan, faktor global dan regional turut memengaruhi dinamika musim hujan tahun ini. Fenomena El Niño–Southern Oscillation (ENSO) berada dalam kondisi netral pada Agustus 2025, sehingga tidak ada pengaruh signifikan dari Samudra Pasifik.
Sisi lain, Indian Ocean Dipole (IOD) tercatat dalam kondisi negatif, ini menandakan adanya suplai tambahan uap air dari Samudra Hindia ke wilayah Indonesia, terutama daerah Indonesia bagian barat.
“Suhu muka laut di perairan sekitar Indonesia lebih hangat (+0,42) dari rata-rata klimatologis, sehingga memicu pembentukan awan hujan lebih intensif. ENSO netral diprediksikan bertahan hingga akhir 2025, sementara IOD negatif diperkirakan berlangsung hingga November 2025,” katanya lewat keterangan pers 12 September.
Helny Yofin Mega Milla, Prakirawan Cuaca Stasiun Meteorologi BMKG Eltari Kupang, menyebut, terkait berbagai fenomena atmosfer cuaca yang mengakibatkan musibah seperti Siklon Flores 1973, Siklon Seroja 2021, dan Banjir Bandang di Nagekeo tahun ini, memiliki faktor pemicu yang berbeda, meskipun polanya sama.
“Misalnya, kejadian Seroja dipicu oleh siklon tropis, sedangkan banjir bandang bisa disebabkan karena kombinasi gelombang rossby + monsun + topografi lokal. Jadi bisa dikatakan ada kesamaan dalam faktor pemicu utama (hujan ekstrem), tapi tidak berarti siklus bencana terulang secara identik,” katanya dalam wawancara tertulis dengan Mongabay. Jumat (19/9/25).

*****