- Kebakaran hutan dan lahan (karhutla) masih jadi mimpi buruk tahunan. Analisis citra satelit Yayasan Madani Berkelanjutan dan Pantau Gambut menunjukkan, jumlah area terbakar dan titik panas (hotspot) masih berada di atas lahan yang memiliki perizinan, baik Hak Guna Usaha (HGU) maupun Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH).
- Fadli Ahmad Naufal, Geographic Information System (GIS) Specialist Yayasan Madani Berkelanjutan menjelaskan, sekitar 212 ribu hektar atau 97% area terbakar merupakan lokasi baru, tanpa pengulangan terbakar dalam periode tahun 2025.
- Putra Saptian, Juru Kampanye Pantau Gambut menegaskan, cuaca panas ekstrem bukan penyebab satu-satunya karhutla. Dia justru melihat aktivitas eksploitatif korporasi banyak mendorong karhutla di lahan gambut.
- Juma Maulana, peneliti GIS Pantau Gambut, mengatakan, pada Juni-Juli terjadi kenaikan titik panas secara signifikan di Kesatuan Hidrologis Gambut (KHG). Kebakaran lahan gambut terjadi akibat kesengajaan aktivitas korporasi. Menurutnya, banyak alih fungsi lahan gambut karena pemerintah memberikan izin konsesi pada perusahaan.
Kebakaran hutan dan lahan (karhutla) masih jadi mimpi buruk tahunan. Analisis citra satelit Yayasan Madani Berkelanjutan dan Pantau Gambut menunjukkan, area terbakar dan titik panas (hotspot) masih berada di atas lahan yang memiliki perizinan, baik hak guna usaha (HGU) maupun perizinan berusaha pemanfaatan hutan (PBPH).
Sepanjang Januari-Agustus, sedikitnya 218.000 hektar area indikatif terbakar (AIT). Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat penyumbang terbanyak, mencapai 23.000 hektar AIT. Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur, 14.000 hektar, dan Landak, Kalbar, 12.000 hektar.
Fadli Ahmad Naufal, Geographic Information System (GIS) Specialist Yayasan Madani Berkelanjutan menjelaskan, sekitar 212.000 hektar atau 97% area terbakar merupakan lokasi baru, tanpa pengulangan terbakar dalam periode 2025.
Dia bilang, mayoritas area terbakar sekitar 42% atau 89.300 hektar di konsesi HGU sawit, migas, minerba, dan PBPH. Lewat pemetaan area terbakar berbasis citra satelit dan analisis spasial, di konsesi meningkat tajam, sebesar 3.300 hektar pada Juni, naik jadi 42.000 hektar pada Juli, dan turun jadi 39.000 hektar Agustus.
Area terbakar terbesar di konsesi sawit, mencapai 36.021 hektar. Kenaikan pun signifikan, dri 13.219 hektar pada juli menjadi 20.906 hektar dalam Agustus.
“Kontributor terbesar kebakaran saat ini (2025) itu kebanyakan dari izin sawit,” katanya dalam konferensi pers di Jakarta Selatan, September lalu.
Kebakaran juga terjadi pada ekosistem gambut. Pantau Gambut mengidentifikasi 9.336 titik api di area HGU dan PBPH pada periode sama.
Juma Maulana, peneliti GIS Pantau Gambut, mengatakan, pada Juni-Juli terjadi kenaikan titik panas secara signifikan di kesatuan hidrologis gambut (KHG).
Juni, sebanyak 2.321 titik panas, meningkat menjadi 13.608 pada Juli, lalu turun jadi 2.840 titik di Agustus. “Lima kali kenaikannya dari Juni, ya. Tapi, turun lagi di Agustus,” katanya.
Sepanjang Juli, Pantau Gambut mencatat 23.657 hektar KHG terbakar. Terluas di Riau, sekitar 12.219,382 hektar, dan Kalbar 6.412,704 hektar.
“Itu 56% terjadi di izin HGU sawit dan PBPH. Ini memang dua izin yang selalu kami pantau karena memang itu banyak sekali berada di atas lahan gambut.”
Analisis Pantau Gambut, dari 13,43 juta luasan KHG di Indonesia, sekitar 5,2 juta hektar jadi konsesi di sektor kehutanan dan perkebunan. Kemudian, 8.23 juta hektar KHG menjadi wilayah usaha non berizin.
Bukan sekadar cuaca
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat, karhutla terjadi di 12 kabupaten/kota di Riau dengan luasan lahan terbakar tertinggi di Kampar dan Bengkalis seluas 100 hektar.
Raja Juli Antoni, Menteri Kehutanan (Menhut), mengatakan, cuaca ekstrem menjadi salah satu faktor utama penyebab karhutla pada periode itu. Data BMKG, katanya, menunjukkan 10 hari terakhir terjadi panas ekstrem dan badai Wipha di Filipina, yang menimbulkan cuaca kering dan mudah terbakar.
“Ini memang ada panas ekstrem 10 hari terakhir ditambah lagi ada badai Wipha yang melanda Filipina, sehingga pembentukan awan susah dan kemudian sangat kering dan maka itu mudah terbakar,” ujar Raja di Antara.
Namun, Pantau Gambut dan Yayasan Madani Berkelanjutan membantah klaim itu. Putra Saptian, Juru Kampanye Pantau Gambut menegaskan, cuaca panas ekstrem bukan penyebab satu-satunya karhutla.
Dia justru melihat aktivitas eksploitatif korporasi banyak mendorong karhutla di lahan gambut.
“Pernyataan Menteri Kehutanan tentang cuaca ekstrem merupakan ungkapan keliru. Pernyataan ini seakan membenarkan praktik salah yang dilakukan oleh korporasi atas aktivitas mereka yang berada di area KHG.”
Argumen Raja, hanya dalih pemerintah untuk melepaskan tanggung jawab. Alih-alih bertindak tegas kepada pelaku konsesi, pemerintah justru menyalahkan kondisi alam sebagai biang kerok karhutla.
Menurut Putra, klaim Menteri Kehutanan makin tidak relevan ketika jumlah kebakaran di tahun 2025 justru lebih tinggi ketimbang 2023, tahun Indonesia mengalami El Nino.
Madani Berkelanjutan mencatat, 99.099 hektar terbakar pada Juli 2025, hampir dua kali dari Juli 2023 dengan luasan 53.973 hektar. Padahal BMKG menyebut, tahun 2025 merupakan periode kemarau basah di Indonesia.
Lebih parah lagi, Pantau Gambut menemukan adanya 3.157 titik panas di KHG pada Juli 2023, yang kemudian melonjak hingga empat kali lipat atau setara 13.608 titik panas pada Juli 2025.
Aktivitas merusak korporasi
Juma memastikan karhutla pada 2025 terjadi bukan karena faktor iklim. Dia bilang, El-Nino prediksinya terjadi tahun 2027. Anomali perubahan baru mulai terasa pada 2026.
Dia menduga, kebakaran lahan gambut terjadi akibat kesengajaan aktivitas korporasi. Menurutnya, banyak alih fungsi lahan gambut karena pemerintah memberikan izin konsesi pada perusahaan.
Pantau Gambut mencatat, sepanjang Januari-Agustus 2025, 170.000 hektar tutupan pohon lahan gambut hilang. Terbanyak di Kalimantan dan Sumatera.
Temuan mereka, perusahaan menebang hutan gambut, lalu kanalisasi sepanjang 281.253 kilometer. Masing-masing berada di Sumatera, sepanjang 174.208,71 kilometer, Kalimantan 105.878 kilometer, dan Papua 1166,80 kilometer.
Panjang kanal yang setara dengan 120 kali bolak-balik Tol Trans Jawa ini mayoritas di konsesi HGU dan hutan tanaman industri (HTI) dengan luasan masing-masing 3.993.626 hektar dan 2.547.356 hektar.
Kanalisasi perusahaan, kata Juma, untuk mengeringkan lahan gambut yang basah. Air yang terkandung di dalam lahan gambut itu kemudian mengalir ke kanal.
“Menyebabkan lahan gambut menjadi sangat kering. Ketika kering, itu akan sangat mudah terbakar.”
Di lahan non-gambut, alih fungsi hutan alam menjadi perkebunan monokultur jadi biang kerok kebakaran lahan. Fadli mengatakan, data menunjukkan 90% kebakaran terjadi di lahan tutupan non-hutan.
“Ketika hutan ditebang menjadi non-tutupan hutan alam itu rentan. Kalau lahan mineral diganggu juga tutupannya itu menjadi berisiko rentan untuk terbakar,” ujarnya.
Temuan Yayasan Madani Berkelanjutan menunjukkan, karakteristik kebakaran di Indonesia bukan terjadi di hutan dengan tutupan alam, justru di lahan non-hutan.
Dia bilang justru hutan alam jarang terbakar. Sebab, karakteristik hutan Indonesia merupakan hutan hujan tropis dengan tingkat kelembaban tinggi.
“Sebetulnya kalau hutan yang terjaga itu menjadi resilien terhadap api. Kalau di Amerika Serikat itu hutan pinus pun bisa terbakar.”
Sadam Richwanudin, tim hukum Madani Berkelanjutan menegaskan, pemerintah harus bersikap tegas terhadap perusahaan pemegang konsesi yang areanya terbakar.
Dia mendorong aparat lakukan penegakan hukum terhadap perusahaan tersebut. “Kami mendorong penegak hukum terus menindak para perusahaan yang di areanya terdapat karhutla.”
Apalagi, katanya, Indonesia sudah memiliki prinsip strict liability yang membuat perusahaan harus bertanggung jawab pada area konsesinya.

*****