- Reklamasi ilegal oleh PT Blue Steel Industries (BSI) di pesisir Kampung Tua Panau, Nongsa, Kota Batam terus berlanjut meski belum kantongi izin. Situasi itu membuat para nelayan kian kelimpungan imbas laut yang tercemar.
- Ada sekitar 240 orang di Nongsa yang andalkan pendapatannya dari menangkap ikan. Muhammad Idris, Ketua Kelompok Masyarakat Pengawasan Laut Biru Nongsa katakan, gara-gara penimbunan pesisir itu, para nelayan harus keluarkan biaya berlebih untuk menangkap ikan.
- Hendrik Hermawan, pendiri ABI mengatakan, reklamasi oleh BSI melanggar Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup serta Undang-undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Dia mendorong pengenaan sanksi pidana karena kegiatan tersebut berlangsung berulang.
- Mohammad Taopan, Kepala Biro Umum BP Batam akui bila kewenangan izin reklamasi memang sudah berada di BP Batam. Tetapi, pihaknya masih menunggu aturan teknis terkait hal tersebut.
Reklamasi ilegal oleh PT Blue Steel Industries (BSI) di pesisir Kampung Tua Panau, Nongsa, Kota Batam terus berlanjut meski belum kantongi izin. Situasi itu membuat para nelayan kian kelimpungan imbas laut yang tercemar.
Sugiyo, nelayan Nongsa mengatakan, reklamasi BSI menutup terumbu karang dengan lumpur. Dampaknya, nelayan kian sulit menangkap ikan.
“Sekarang kami harus melaut lebih jauh, otomatis modal bahan bakar jadi dua kali lipat, sedangkan hasil yang didapat justru berkurang,” katanya, Kamis (18/9/25).
Setidaknya, ada sekitar 240 orang di Nongsa yang andalkan pendapatan dari menangkap ikan. Muhammad Idris, Ketua Kelompok Masyarakat Pengawasan Laut Biru Nongsa mengatakan, gara-gara penimbunan pesisir itu, para nelayan harus keluarkan biaya berlebih untuk menangkap ikan.
“Kami sudah laporkan pencemaran laut ini kepada Dinas Kelautan dan Perikanan Kepulauan Riau. Tapi, sampai sekarang tidak ada tindak lanjut,” katanya.
Geri Semet, Ketua Pokmaswas Pandang Tak Jemu Nongsa, bilang, tindakan perusahaan yang mereklamasi tanpa memikirkan dampak yang terjadi di laut. Padahal, selain mengancam sumber pendapatan nelayan, kegiatan itu juga mencapari laut.
Reklamasi di Kampung Panau ini menjadi temuan Akar Bhumi Indonesia (ABI) sejak 2023. ABI sudah beberapa kali melaporkan reklamasi , namun kegiatan terus berlanjut dan luas reklamasi yang menimbun laut terus bertambah setiap tahunnya.

Dorong sanksi pidana
Hendrik Hermawan, pendiri ABI mengatakan, reklamasi BSI melanggar UU Nomor 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup juga UU Nomor 27/2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil.
“Seharusnya, pembangunan di pesisir mengikuti prosedur dan mengutamakan kelestarian lingkungan. Yang kami lihat, perusahaan justru abai dan merugikan masyarakat dan nelayan,” katanya.
Dia mendorong pengenaan sanksi pidana karena kegiatan tersebut berlangsung berulang.
“Jadi, seharusnya bukan lagi sanksi administrasi tetapi harus dipidana, karena sudah dilakukan berulang”.
Pada 2023, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dan Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Riau sempat menyegel reklamasi BSI. Alih-alih berhenti, reklamasi terus berlanjut hingga kini.
Hendrik pun menuding Pemerintah Kepri tak serius menangani persoalan ini.
“DLHK tidak bertanggung jawab setelah melakukan penyegelan, mestinya setelah disegel. BSI melakukan sosialisasi kepada masyarakat dan menghentikan reklamasi, tetapi mereka terus menambah daratannya,” katanya.
Soni Riyanto, Ketua ABI menjelaskan, temuan lapangan terbaru perusahaan terus mereklamasi dan hanya memasang plastik untuk menutupi sedimentasi agar tidak turun ke laut. Hal itu dia nilai tak sesuai ketentuan karena perusahaan seharusnya ada silt barricade.
Menurut dia, reklamasi oleh BSI itu telah merusak pesisir Nongsa dan membuat para nelayan makin terjepit. “Kini nelayan Kampung Panau merasa terjepit oleh kerusakan dan bingung mencari nafkah.”
Perhitungan Soni, ada sekitar delapan hektar hutan mangrove masuk dalam peta nasional terdampak reklamasi BSI ini. Dengan vegetasi yang beragam dari Rhizophora, Sonneratia, Xylocarpus, Avicennia dan Bruguiera.
“Jika memang kawasan reklamasi berstatus APL (areal penggunaan lain), tetapi mangrove yang ada tidak boleh diabaikan,” katanya.
ABI akan melaporkan dugaan kerusakan lingkungan ini kepada Kementerian Lingkungan Hidup untuk pengecekan lapangan dan penegakan hukum.
Makin massif
Selain Nongsa, reklamasi juga terjadi di Pesisir Pulau Setokok, Kota Batam. Mongabay berkunjung ke kawasan ini pada 30 Agustus lalu mendapati hamparan pesisir yang mulai ditimbun material untuk menambah daratan. Air laut yang semula terlihat jernih pun berubah menjadi keruh.
Selain reklamasi, di pulau juga sedang dilakukan pematangan lahan untuk pembangunan pembangkit listrik skala besar.
Reklamasi ini juga tepat berada di sebelah keramba lobster Balai Perikanan Budi Daya Laut Batam yang dikunjungi Wakil Presiden Gibran Rakabuming dalam acara panen perdana lobster, pada 10 September lalu.
Para nelayan di sekitar reklamasi melaporkan penghasilan terus turun karena terdampak proyek ini. Sony menilai, melihat dampaknya, proyek-proyek reklamasi itu tanpa dilengkapi dokumen PKKPRL dan Amdal yang memadai.
Beberapa kali Mongabay mencoba konfirmasi ke perusahaan BSI. Namun, pihak keamanan perusahaan meminta nomor wartawan Mongabay untuk memberikan pernyataan. Namun, hingga saat ini pernyataan itu tidak pernah diberikan.
Pada awal Februari 2025, Hendri Kepala Dinas Lingkungan Hidup Provinsi Kepri membenarkan BSI belum mengantongi izin Amdal. Sehingga pihaknya melakukan penyegelan. Meskipun perusahaan membantah tidak adanya penyegelan di perusahaan mereka.
Mongabay mencoba mengkonfirmasi ulang kepada Hendri terkait reklamasi BSI dan Pulau Setokok itu melalui pesan WhatsApp, Jumat (26/9/2025). Namun, sampai berita ini diturunkan Hendri belum menjawab.

Sudah berlangsung lama
Semuel Rundupadang, Kepala Pangkalan Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) Batam menyebut bila izin reklamasi di Kota Batam sudah menjadi kewenangan Badan Pengusahaan (BP) Batam. “Kalau terkait Izin Reklamasi, saat ini kewenangan mengeluarkan Izin ada di BP Batam sesuai amanat PP 25 tahun 2025,” jelasnya. Kewenangan tersebut mencakup keseluruhan pulau yang jadi otoritas BP Batam. ”Termasuk izin PKKPRL kewenangan ada di BP Batam.”
Saat dikonfirmasi Mohammad Taopan, Kepala Biro Umum BP Batam akui bila kewenangan izin reklamasi memang sudah berada di BP Batam. Tetapi, pihaknya masih menunggu aturan teknis terkait hal tersebut.
Soal izin reklamasi di Pulau Setokok, menurutnya reklamasi di kawasan itu sudah berlangsung lama. Kemungkinan, izinnya masih berada di lembaga sebelumnya yaitu PSDKP KKP.
Dia akan melakukan pemeriksaan ke internal BP Batam yaitu bagian lahan terkait izin reklamasi di Pulau Setokok tersebut. Taopan meminta nomor koordinat lokasi reklamasi. “Kalau memang reklamasi sudah berjalan BP Batam juga kan kroscek ke lembaga yang memberikan izin sebelumnya,” katanya.
*****