- Nugal atau menanam padi ladang atau ume adalah tradisi yang masih bertahan pada masyarakat Suku Musi di Tempirai, Kecamatan Penukal Utara, Kabupaten Penukal Abab Lematang Ilir, Sumatera Selatan.
- Nugal menjadi ajang silahturahmi keluarga dan warga Tempirai.
- Sebagai kedaulatan pangan, tradisi nugal harus dipertahankan. Tradisi ini menjadi bagian dari konsep diversifikasi pertanian, dan ada gagasan tentang keragaman hayati, serta mempertahankan benih lokal padi.
- Diperkirakan, padi sudah dikenal atau dikonsumsi sebagian masyarakat Sumatera Selatan sejak masa Kedatuan Sriwijaya.
Sekitar pukul enam pagi, Kamis (23/10/2025), belasan warga, orang dewasa dan anak-anak, berkumpul di sebuah kebun yang dikelola Robinson di Talang Lebung Jauh, Desa Tempirai, Kecamatan Penukal Utara, Kabupaten PALI (Penukal Abab Lematang Ilir), Sumatera Selatan. Mereka datang menggunakan sepeda motor yang menempuh perjalanan sekitar 45 menit dari desa, melalui jalan setapak di tengah hutan semak dan kebun.
Mereka berkumpul untuk melakukan nugal. Yakni, menanam padi di ladang atau ume. Saat nugal, mereka dibagi dua kelompok. Kelompok pertama membawa batang kayu yang ujungnya lancip, berfungsi melubangi tanah. Kelompok ini berada di depan, yang umumnya dilakukan laki-laki. Kelompok kedua, yang membawa bibit padi, umumnya beranggotakan perempuan. Perannya, memasukan bibit ke lubang.
Sebelum nugal, dilakukan prosesi ngundak bene, yaitu tradisi mencampurkan bibit padi dengan madu, irisan jeruk nipis, dan sedikit nasi. Sebelum dicampur atau diaduk, ketiga bahan tersebut didoakan oleh kewong atau pawang padi.
Pagi itu, yang menjadi kewong adalah Rumni (60), sementara yang mengaduk bibit padi dengan irisan jeruk nipis dan nasi adalah Asrina (40), istri Robinson.
“Jenis padi yang kami tanam adalah padi lokal, namanya padi seni,” kata Asrina.

Yuk, segera follow WhatsApp Channel Mongabay Indonesia dan dapatkan berita terbaru setiap harinya.
Ladang yang dijadikan lokasi nugal bukan lahan yang selamanya diperuntukkan menanam padi. Tapi, berupa perkebunan karet yang diremajakan. Nugal menjadi tanaman sela.
“Kami menanam padi sekitar tiga tahun di ladang ini, sebelum pohon karet besar. Hasil padinya bukan dijual, tapi untuk kebutuhan pangan, termasuk berbagi dengan keluarga atau tetangga yang turut membantu nugal,” kata Asrina.
Mereka yang ikut nugal di ladang Robinson dan Asrina bukan hanya yang menetap di Tempirai, juga dari Palembang. “Saat kecil dulu, saya hampir setiap tahun ikut nugal. Tapi sudah belasan tahun tidak lagi, sebab merantau. Hari ini, senang sekali ikut nugal di kebun saudara,” kata Azizah (48), yang sudah belasan tahun menetap di Palembang.
Selain padi, Asrina dan Robinson juga menanam pisang dan sayuran. “Sebelum karet menghasilkan, kami menanam semua kebutuhan pangan sehari-hari, dan mungkin menjadi pendapatan kalau hasil dari sayuran dan pisang berlebih,” jelasnya.
Sebelum nugal, dilakukan pembersihan lahan. Jika peremajaan kebun karet, maka setelah pohon karet tua ditebang, dilakukan pembakaran. Pembakaran ini dilakukan bertahap dan diatur sedemikian rupa, sehingga api tidak membesar dan membakar lahan sekitar. Agar dapat diawasi, pembakaran lahan dilakukan siang hari.

Di Penukal, khususnya di Tempirai, membakar lahan dibantu seorang pawang atau dukun api. Fungsi dukun api mencegah kebakaran meluas atau tidak terkendali. Dalam pelaksanaannya, dukun api melakukan ritual dan menentukan hari baik untuk membakar. Hari yang bebas dari angin kencang yang dapat membuat api tidak terkendali.
“Tradisi nunggal sudah dijalankan masyarakat Penukal di Tempirai selama ratusan tahun. Menanam maupun memanen dilakukan gotong royong, baik bersama anggota keluarga maupun para tetangga. Trdaisi ini membangun silahturahmi dan sikap saling membantu,” ujar Abdul Rahman Musa (75), tokoh adat masyarakat Penukal, Jumat (24/10/2025).
Dulu, jelas Rahman, setiap keluarga di Tempirai memiliki ladang yang ditanam padi setiap tahun. Tanaman selanya berupa sayuran dan pisang. Tapi saat ini banyak ladang dijadikan kebun karet, sehingga hanya ditanam padi dalam beberapa tahun. “Syukurnya setiap tahun masih ada tradisi nugal,” katanya.
Secara adat, masyarakat Tempirai mengakses daratan dan air. Air menjadi lokasi mencari ikan. Ikan sebagai sumber pangan dan sumber ekonomi. Daratan juga juga dijadikan sumber pangan dan obat-obatan dengan membangun ume dan jongot (agroforestri), sementara kebun karet sebagai sumber ekonomi.
“Tapi banyak kebun karet, ume, jongot, termasuk pula rawa yang hilang, berubah menjadi lokasi permukiman dan perkebunan sawit,” kata Rahman.

Luas wilayah Tempirai yang terbagi empat desa, yakni Desa Tempirai, Desa Tempirai Timur, Desa Tempirai Utara, dan Desa Tempirai Selatan, mencapai 13.904 hektar. Sebagian besar wilayah ini berupa lahan basah; sungai, rawa, dan gambut. Hanya sebagian kecil berupa daratan atau talang.
Tempirai yang merupakan wilayah permukiman terdepan di Sungai Penukal, anak Sungai Musi, diperkirakan sudah didiami masyarakat sejak era Kedatuan Sriwijaya. Perkiraan ini, dikarenakan permukiman Tempirai tidak jauh dari percandian Bumiayu di Tanah Abang. Percandian yang ada antara abad ke-9-12 Masehi atau di masa Kedatuan Sriwijaya.
“Selain itu, bentuk permukiman Tempirai melingkar dengan ratusan rumah panggung, menurut kami permukiman ini dikembangkan oleh bangsa Austronesia sejak masa pra sejarah. Permukiman melingkar yang masih bertahan di Sumatera Selatan hanya ada di Penukal, khususnya Tempirai, sebagai permukiman tertua,” kata Abri, daya desa (penggerak pemajuan kebudayaan) Tempirai, yang ditunjuk Kementerian Kebudayaan Republik Indonesia sejak 2024.

Diversifikasi pertanian
Yulian Junaidi, akademisi dan peneliti dari Universitas Sriwijaya, mengatakan tradisi padi ladang merupakan tradisi yang berkembang di Indonesia, khususnya di Sumatera dan Kalimantan. Di Sumatera Selatan, tradisi ini masih dijalankan masyarakat Suku Musi, yang hidup di Kabupaten Musi Banyuasin (Muba) dan Kabupaten PALI.
Selain terus berkurangnya lahan, minat masyarakat menanam padi ladang mulai berkurang, dikarenakan produktivitasnya lebih rendah dibandingkan padi yang ditanam di sawah.
Tapi, sebagai kedaulatan pangan, tradisi nugal harus dipertahankan atau dilestarikan. “Tradisi ini menjadi bagian dari konsep diversifikasi pertanian, dan ada gagasan di dalamnya tentang keragaman hayati, bukan monokultur,” katanya.
Selain itu, jelas Yulian, tradisi nugal atau padi ladang ini sebagai upaya mempertahankan benih lokal padi, plasma nuftah yang perlu dilindungi.

Suku Musi yang menetap di Kabupaten PALI dan Kabupaten Muba mengenal beragam jenis padi lokal, yang umumnya ditanam di talang. Misalnya padi pulut (beras ketan), padi kumpal bawah, padi puyuh, padi kure, padi alus, padi abang (beras merah), padi puring, padi telok ikan, padi arang (beras hitam), padi serai putih, padi seni, padi ketumbar, padi ketan, padi ketan hitam, padi arang, padi paing kancil, padi kumpai, dan padi selasi.
Berdasarkan buku “Morfologi dan Molekuler Padi Lokal Sumatera Selatan” yang ditulis Laila Hanum dan kawan-kawan (2018), disebutkan di sejumlah wilayah Sumatera Selatan tercatat sekitar 27 varietas padi lokal.
Retno Purwanti, arkeolog dari BRIN (Badan Riset dan Inovasi Nasional) yang banyak melakukan penelitian tentang Kedatuan Sriwijaya, menjelaskan padi atau beras sudah ditanam dan dikonsumsi masyarakat di Sumatera Selatan di masa Kedatuan Sriwijaya.
Bedasarkan penelitian yang dilakukannya bersama para arkeolog di kompleks Percandian Bumiayu pada 1993, 1996 dan 2000-an, ditemukan sekam padi pada batu bata yang digunakan untuk Percandian Bumiayu (Hindu-Buddha).
*****