- Curah hujan di Jakarta yang mengandung mikroplastik mengancam kesehatan penduduknya. Meski perlu kajian lebih lanjut, tapi ancaman kesehatan yang serius membuat fenomena ini butuh perhatian khusus.
- Peneliti BRIN Muhammad Reza Cordova, menyebut Beberapa di antaranya berasal dari serat sintetis pakaian, debu kendaraan dan ban, sisa pembakaran sampah plastik, serta degradasi plastik di ruang terbuka.
- Mikroplastik yang terbawa ke udara dan mengontaminasi air hujan buruk bagi kesehatan dan lingkungan. Menurut Reza, mikroplastik di udara memiliki karakteristik sponge bearing, mudah menyerap zat lain di sekitarnya. Artinya, partikel mikroplastik dapat menjadi media pembawa polutan lain, bahkan mikroorganisme atau virus, yang kemudian terhirup manusia.
- Kontaminasi mikroplastik di air hujan tidak hanya terjadi di Jakarta. BRIN tengah melakukan studi lanjutan di 18 kota. Penelitian ini akan berlangsung sampai Juli 2026. Hasil temuan sementara menunjukkan seluruh sampel udara mengandung mikroplastik.
Curah hujan di Jakarta yang mengandung mikroplastik mengancam kesehatan penduduknya. Meski perlu kajian lebih lanjut, tetapi ancaman kesehatan yang serius membuat fenomena ini butuh perhatian khusus.
Sebelumnya, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) mengungkap air hujan di Jakarta mengandung partikel mikroplastik berbahaya mulai dari 3–40 partikel/m² per hari. Partikel itu terbentuk dari degradasi limbah plastik yang melayang di udara akibat aktivitas manusia di perkotaan.
Muhammad Reza Cordova, peneliti BRIN menyebut, antara lain berasal dari serat sintetis pakaian, debu kendaraan dan ban, sisa pembakaran sampah plastik, serta degradasi plastik di ruang terbuka.
Mikroplastik yang mereka temukan berbentuk serat sintetis dan fragmen kecil plastik, terutama polimer seperti poliester, nilon, polietilena, polipropilena, hingga polibutadiena dari ban kendaraan.
Ia terangkat ke udara melalui debu jalanan, asap pembakaran, dan aktivitas industri. Mikroplastik kemudian terbawa angin dan turun kembali bersama hujan.
“Proses ini dikenal dengan istilah atmospheric microplastic deposition,” katanya.
Di kawasan pesisir, rata-rata sekitar 15 partikel mikroplastik per meter persegi per hari mereka temukan pada sampel hujan.
Hal ini terjadi lantaran sampah plastik yang sampai di laut, pecahannya dapat naik ke langit terbawa oleh angin dan turun lagi ke bumi lewat hujan.
Menurut dia, gaya hidup urban modern menjadi salah satu penyebab utama meningkatnya mikroplastik di atmosfer. Penggunaan plastik masih masif, sementara manajemen pengelolaan sampahnya belum ideal.
“Sebagian dibakar terbuka atau terbawa air hujan ke sungai,” katanya.
Penggunaan kendaraan pribadi juga masih tinggi. Dengan populasi lebih dari 10 juta jiwa, kendaraan pribadi mencapai 20 juta.

Ancaman bagi kesehatan
Mikroplastik yang terbawa ke udara dan mengontaminasi air hujan buruk bagi kesehatan dan lingkungan. Menurut Reza, mikroplastik di udara memiliki karakteristik sponge bearing, mudah menyerap zat lain di sekitarnya. Artinya, partikel mikroplastik dapat menjadi media pembawa polutan lain, bahkan mikroorganisme atau virus, yang kemudian terhirup manusia.
Masih butuh kajian lebih lanjut terkait dampaknya terhadap tubuh manusia, namun, katanya, ada indikasi kemungkinan timbul iritasi atau peradangan.
Jika ukurannya semakin kecil, di bawah 50 mikron, bahkan seukuran partikel debu atau bakteri, maka mikroplastik berpotensi masuk ke peredaran darah.
“Dari situ bisa menuju organ vital seperti jantung.”
Rahmat Aji Pramono, Kepala Seksi Kesehatan Lingkungan P2P Dinas Kesehatan Jakarta, menilai, temuan ini harus menjadi perhatian karena berdampak serius pada kesehatan. Gangguan pernapasan ringan seperti influenza jadi dampak paling umum.
Ketika mikroplastik masuk melalui saluran pernapasan, partikel-partikel kecil ini dapat menyebabkan peradangan atau luka-luka kecil di sepanjang saluran itu.
“Dalam jangka panjang, kondisi ini bisa berkembang menjadi gangguan pernapasan kronis, seperti asma atau penyakit paru lainnya.”
Di saluran pencernaan, mikroplastik dapat menimbulkan peradangan yang lambat namun terus-menerus.
Efek kesehatan dari mikroplastik muncul dalam jangka panjang, bahkan bisa memakan waktu bertahun-tahun hingga puluhan tahun.
Dia bilang mikroplastik dapat menjadi faktor risiko tambahan bagi seseorang yang sudah memiliki penyakit bawaan, misalnya diabetes mellitus.
“Jika paparan mikroplastik ditambah dengan faktor-faktor tersebut, risiko terjadinya penyakit kardiovaskular bisa meningkat secara signifikan.”
Pemerintah Jakarta melalui Dinas Lingkungan Hidup memandang temuan ini sebagai pengingat penting isu polusi plastik sudah memasuki fase yang kompleks dan membutuhkan kerja bersama.
Asep Kuswanto, Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Jakarta, mengklaim, akan terus bekerjasama dengan berbagai lembaga penelitian, akademisi, dan media untuk mengurangi tingkat pencemaran, termasuk dari mikroplastik, sekaligus memperkuat pendidikan lingkungan di masyarakat.
Dia menyebut, DLH Jakarta sejak 2022 telah melakukan pemantauan konsentrasi mikroplastik di perairan Teluk Jakarta dan Kepulauan Seribu.
Pada 2024, DLH Jakarta juga memantau di perairan sungai bekerja sama dengan lembaga penelitian dari IPB, Resilience Development Initiative (RDI), dan ITB yang dituangkan dalam Kepgub Jakarta No. 322/2022 tentang Tim Penelitian, Pengawasan, dan Penegakan Hukum dalam Penyelenggaraan, Perlindungan, dan Pengelolaan Mutu Air dan Mutu Laut.
Pengamatan dilakukan di lebih dari 60 titik pemantauan setiap tahun. Hasil pantauan menemukan kelimpahan mikroplastik di perairan Teluk Jakarta dan sungai yaitu antara 9.891–12.489 partikel/m³.
DLH sedang memperkuat kolaborasi dengan BRIN, Kementerian Lingkungan Hidup, dan perguruan tinggi untuk memperdalam riset dan pemantauan lanjutan, termasuk pada kualitas air hujan.
“Kebijakan pengurangan plastik sekali pakai juga akan terus diperkuat, bersama kampanye gaya hidup minim plastik di tingkat rumah tangga dan komunitas.”

Tidak hanya Jakarta
Kontaminasi mikroplastik di air hujan tidak hanya terjadi di Jakarta. BRIN tengah studi lanjutan di 18 kota. Penelitian ini akan berlangsung sampai Juli 2026. Hasil temuan sementara menunjukkan seluruh sampel udara mengandung mikroplastik.
Faktor penyebabnya kemungkinan tak jauh beda dengan Jakarta. Bahkan, bisa jadi lebih buruk.
Karena, mengacu manajemen sampah, Jakarta sudah 95% mengangkut dan mengumpulkan sampah dari sumbernya. Sementara di Bogor, Depok, Bekasi, Banten, dan Purwakarta, tingkat pengumpulan sampah masih rendah, bahkan di bawah 50%.
“Akibatnya, banyak masyarakat yang masih membakar sampah secara terbuka, dan praktik ini membuat mikroplastik serta zat berbahaya seperti dioksin terlepas ke udara,” ucap Reza, seraya bilang temuan ini jadi sinyal penting mengubah gaya hidup.
Dwi Atmoko, Fungsional Madya Pengamat Meteorologi dan Geofisika BMKG, menjelaskan, mikroplastik masuk kategori bagian dari aerosol dalam sistem atmosfer. Aerosol adalah partikel padat atau cair yang tersuspensi di udara.
Sumber aerosol sangat beragam, ada yang alami maupun akibat aktivitas manusia. Sumber alami, misalnya, debu vulkanik, percikan ombak laut, dan degradasi batuan atau bahan organik.
Sedangkan sumber buatan manusia berasal dari pembakaran bahan bakar fosil, asap kendaraan, pembakaran sampah terbuka, maupun penggunaan produk bertekanan seperti parfum atau spray.
“Semua itu melepaskan partikel-partikel halus ke atmosfer.”
Karena ukurannya sangat kecil, partikel aerosol termasuk mikroplastik dapat bergerak mengikuti arah dan pola angin. Untuk itu, sumber mikroplastik yang naik ke atas langit bisa berasal dari wilayah berbeda.
Pergerakannya vertikal maupun horizontal, tergantung kondisi atmosfer. Secara umum, aerosol berpindah melalui dua proses utama, deposisi kering (dry deposition) dan deposisi basah (wet deposition).
Deposisi kering yaitu partikel jatuh ke permukaan bumi karena pengaruh gravitasi, terutama saat angin lemah atau udara tenang. Partikel-partikel ini akan menempel di permukaan daun, bangunan, air, atau tanah.
Sementara deposisi basah yaitu partikel di atmosfer menjadi inti kondensasi pembentukan awan, lalu ikut turun ke bumi melalui air hujan.
Dengan begitu, air hujan dapat membawa partikel aerosol, termasuk mikroplastik, turun ke permukaan.
Hasil pengamatan satelit Cloud-Aerosol Lidar and Infrared Pathfinder Satellite Observation (CALIPSO) menunjukkan aerosol dapat mencapai ketinggian hingga 15 kilometer di atmosfer.
Pada ketinggian itu, kata Dwi, tidak semua partikel bisa ikut turun bersama hujan. Namun, saat kondisi atmosfer tenang, partikel-partikel itu akan kembali jatuh ke bumi akibat gaya gravitasi.
“Saat sudah berada di permukaan, partikel ini dapat masuk ke badan air seperti sungai dan laut, yang kemudian menjadi sumber baru mikroplastik di lingkungan perairan.”

*****