- Banjir yang melanda Aceh membuat kerusakan parah. Bencana ini bukan semata akibat hujan deras. Rusaknya hutan merupakan salah satu penyebabnya.
- Menjaga hutan Leuser sangat penting untuk keberlangsungan hidup masyarakat Aceh, sekaligus mencegah terjadinya bencana.
- Kabupaten Aceh Tamiang, Aceh Timur, Aceh Tengah, Bener Meriah, Aceh Utara, dan Bireuen, merupakan wilayah paling terdampak, terutama akibat kombinasi banjir bandang dan tanah longsor.
- Koalisi Masyarakat Sipil Peduli Bencana menyoroti lambannya penanganan banjir dan longsor yang melanda 18 kabupaten/kota di Aceh.
Muhammad Ali (70) tak bisa menyembunyikan kesedihannya. Rumahnya di Meureudu, Kabupaten Pidie Jaya, Aceh, terendam banjir, Rabu malam (26/11/2025). Dia mengaku belum pernah menyaksikan banjir sedahsyat itu di kampungnya.
Sungai Meureudu tak sanggup menahan limpasan air hujan yang datang bersama tumpukan kayu dari hulu.
“Mungkin, kampung kami tidak separah daerah lain. Tapi bagi kami, ini musibah besar. Banjir yang biasanya setinggi pinggang, kini menghancurkan rumah, memutus jembatan, dan membawa lumpur tebal,” ujarnya, Senin (2/12/2025).

Dia sempat menyaksikan persawahan di Desa Dayah Kruet, Kecamatan Meurah Dua, tertutup lumpur sekitar 1,5 meter. Hal paling membuatnya gelisah adalah tumpukan kayu yang terbawa arus.
“Tidak mungkin kayu itu tumbang sendiri. Banyak potongan yang rapi dan diameternya besar. Saya yakin, ini bukan peristiwa alam semata,” katanya.
Yuk, segera follow WhatsApp Channel Mongabay Indonesia dan dapatkan berita terbaru setiap harinya.

Sulaiman Abdullah (67), warga Idi Rayeuk, Kabupaten Aceh Timur, belum pernah melihat kota ini terendam banjir.
“Sungai Idi pernah meluap, tapi tidak sampai merusak. Kali ini jalan hancur, pertokoan terendam,” ungkapnya, Jumat (5/12/2025).
Dia melihat, bencana ini bukan semata akibat hujan deras. Rusaknya hutan merupakan salah satu penyebabnya. Aceh Timur telah lama mengalami kerusakan hutan, jauh sebelum masa konflik.
“Saya tidak sekolah tinggi, tapi saya tahu hutan itu penting untuk menahan air. Kerusakan di hulu, membuat warga di dataran rendah menjadi korban.”

Rudi Putra, Founder Forum Konservasi Leuser (FKL), menegaskan bahwa bencana ini mengingatkan kembali pentingnya melindungi KEL (Kawasan Ekosistem Leuser).
“Inilah alasan kenapa Leuser harus diselamatkan, agar warga tidak menderita. Tidak menjadi korban bencana tersebut,” terangnya, di Aceh Tamiang, Jumat (5/12/2025).
Menjaga Leuser sangat penting untuk keberlangsungan hidup masyarakat Aceh, sekaligus mencegah terjadinya bencana.
“Saya mengajak semua pihak untuk memulihkan lingkungan setelah peristiwa ini,” ujarnya.

Data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), hingga Sabtu (6/12/2025), pukul 21.00 WIB, menunjukkan banjir dan longsor yang melanda Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat, telah merenggut nyawa 916 jiwa. Sebanyak 274 orang hilang, dan 4.200 orang terluka.
Khusus Aceh, jumlah korban meninggal mencapai 346 orang, 174 orang hilang, dan yang mengungsi 775.342 jiwa. Kabupaten Aceh Tamiang, Aceh Timur, Aceh Tengah, Bener Meriah, Aceh Utara, dan Bireuen, merupakan wilayah paling terdampak, terutama akibat kombinasi banjir bandang dan tanah longsor.
Jalur darat menuju Kabupaten Bener Meriah dan Aceh Tengah belum bisa dilalui. Seluruh akses jalan rusak parah, jembatan putus, dan banyak desa terisolasi.

Penanganan lamban
Koalisi Masyarakat Sipil Peduli Bencana menyoroti lambannya penanganan banjir dan longsor yang melanda 18 kabupaten/kota di Aceh. Koalisi yang terdiri MaTA, LBH Banda Aceh, AJI Banda Aceh, YKPI, ICAIOS, dan KontraS Aceh menyebut banyak korban belum tertolong.
“Sebagian masyarakat dinyatakan hilang, sementara yang lain kekurangan pangan karena suplai logistik tidak sampai,” ujar Alfian, perwakilan koalisi, Jumat (5/12/2025).

Minimnya akses jalan, pasokan logistik yang tidak mencukupi, dan keterbatasan anggaran daerah memperburuk situasi. Hampir seluruh kecamatan di wilayah terdampak mengalami kerusakan, sehingga warga kesulitan menjalani kehidupan normal.
Koalisi juga menilai, keputusan Pemerintah Pusat yang belum menetapkan status Darurat Bencana Nasional sebagai bentuk rendahnya perhatian terhadap korban di Aceh.
Mereka mendesak, Pemerintah Aceh melakukan refocusing APBA, mengalihkan anggaran yang tidak mendesak untuk penanganan bencana, dan mempercepat respons di lapangan. Distribusi bantuan harus dibebaskan dari hambatan birokrasi dan prioritaskan kelompok rentan.

Banyak warga terisolir
Penilaian serupa disampaikan lembaga Katahati Institute. Mereka menyoroti lambannya distribusi bantuan dan ketidakmerataan pasokan logistik.
“Jangan sampai bantuan menumpuk di beberapa tempat, sementara wilayah lain tak terjamah,” ujar Andra Mashuri, Manager Katahati Institute, Jumat (5/12/2025).

Beberapa daerah di dataran tinggi Gayo, yaitu Kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah, wilayah yang paling parah dihantam banjir dan longsor, masih kekurangan bahan pokok makanan.
“Perangkat desa tidak mungkin menjemput makanan ke posko ketika wilayahnya terisolir, ditambah bahan bakar kendaraan yang tidak ada. Kami khawatir, masyarakat kelaparan,” jelasnya.

Katahati berupaya mengirim bantuan ke Samar Kilang, Kecamatan Syiah Utama, Bener Meriah, namun akses melalui udara juga sangat sulit.
“Tim kami beberapa kali menahan air mata, saat menerima laporan warga yang sangat membutuhkan makanan,” ujarnya.

Dikutip dari Humas Aceh, Muzakir Manaf, Gubernur Aceh, meminta seluruh jajaran pemerintah dan instansi terkait mempercepat distribusi kebutuhan pokok dan penanganan akses ke wilayah terisolir.
Gubernur menekankan, pengiriman sembako harus ditingkatkan terutama ke Kabupaten Aceh Taming, Aceh Utara, dan Aceh Timur. Akses menuju sejumlah kecamatan di tiga daerah itu hanya dapat ditembus melalui jalur udara.
“Distribusi logistik harus tepat sasaran. Jangan tertimbun di lokasi tertentu,” jelasnya, Jumat (5/12/2025).
Gubernur meminta, BNPB memprioritaskan pengiriman tenda dan air bersih secepat mungkin.
“Diharapkan, semua berjalan baik,” ujarnya.
*****