- Musisi dan Seniman menggelar pagelaran Dari Warga untuk Sumatra. Mereka menggelar konser dan melelang barang, hasilnya mereka donasikan untuk membantu korban banjir dan longsor di Sumatra.
- Dalam Kesempatan tersebut, musisi dan seniman juga mendorong pemerintah tetapkan bencana nasional. Karena korban tidak bisa lagi menunggu penanganan yang lambat.
- Khalisah Khalid, Public Engagement and Actions Manager Greenpeace Indonesia, menilai aturan tersebut mempunyai keterbatasan. Sebab, mengatur penetapan bencana nasional bisa dilakukan jika pemerintah daerah menyatakan tidak sanggup lagi menangani bencana tersebut.
- Usman Hamid, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, menilai, pembakaran dan pembabatan hutan yang mencemari dan merusak lingkungan di Sumatra adalah bentuk kejahatan ekosida yang tidak hanya menghancurkan keanekaragaman hayati, tetapi mengancam kehidupan masyarakat lokal dan global terutama dari krisis iklim.
“Coba kau lihat pohon-pohon yang berjatuhan. Hidup ditanami keuntungan mematikan…,”
Begitu kutipan lirik lagu yang Teddy Adhitya bawakan di M Bloc, Jakarta Selatan, dalam pagelaran Konser dari Warga untuk Sumatera, Rabu (10/12/25). Sebanyak sembilan band/musisi hadir dalam acara itu. Mereka bersolidaritas atas bencana di Sumatera dan mendesak pemerintah tetapkan status bencana nasional di daerah ini.
Selain Teddy, ada juga Black Horses, Egi Virgiawan, Negatifa, Rumah Sakit, So Called Wrap, Syifasativa, Usman and The Blackstones feat. Gugun & Blues Shelter, dan Yacko.
Dalam konser juga ada lelang barang dan karya seni dari Hindia, Swellow, Barasuara, The Brandals, Jimi Multhazam, Arian13, Diela Maharani, Komikazer, White Shoes and the Couples Company, dan Indische Party. Semua hasil dari acara ini mereka donasikan untuk bencana di Sumatera.
Di panggung, Teddy mengungkapkan, banjir parah di Aceh, Sumatera Utara dan Sumatera Barat, Indonesia itu bukanlah bencana alam melainkan karena lingkungan rusak, seperti terjadi deforestasi.
Puluhan bahkan ratusan ribu orang terdampak bencana itu. Data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) per 18 Desember, 1.059 orang meninggal, 192 hilang, dan 7.000 jiwa terluka. Belum lagi mereka yang mengungsi.
Eka Annash, vokalis The Brandals, mengatakan, semua bisa berkontribusi dengan cara masing-masing dalam acara “Warga untuk Sumatera.”
Musisi bisa dengan bernyanyi, seniman dengan melelang karya mereka.
Sebab, mereka tidak tahu kapan pemerintah akan bertindak serius. “Rembukan semuanya, jadilah acara ini. Cuma dalam waktu seminggu masalah persiapannya,” katanya.
Menurut dia, bencana Sumatera merupakan akumulasi dari sekian banyak keteledoran dan ketidakpedulian pemerintah dalam mengelola sumber daya alam. Pemerintah, katanya, membiarkan oligarki merusak lingkungan.
“Yang dipikirin cuma profit, keuntungannya, itu pun cuma segelintir orang aja. Jadi, ya, blundernya sekarang, nih, baru terasa.”
Bencana ini, memperlihatkan dengan telanjang bukti kejahatan lingkungan. Gelondongan kayu dari tebangan pohon yang tersapu banjir bahkan memiliki penomoran di badannya.
Masyarakat, sudah tidak bisa lagi dibohongi. Bencana ini merupakan hasil kongsi perusahaan perusak dengan pemerintah. Sebab, pemerintahlah yang memberikan izin perusahaan untuk membabat hutan.
Dia mengimbau pemerintah segera berbenah. Termasuk, mengevaluasi izin-izin perusahaan perusak lingkungan dan memberikan sanksi hukum, hingga menetapkan status bencana nasional di Sumatera.
Bukti sudah terang. Rekomendasi masyarakat sipil dan akademisi pun melimpah. Pemerintah, baginya hanya perlu menunjukkan itikad baik.
“Udah banyak anggota keluarga yang jadi korban. Pasti mereka dendam dong sama pemerintahan? Gua khawatir, sih, itu berujungnya jadi people’s revolt.”
Yuk, segera follow WhatsApp Channel Mongabay Indonesia dan dapatkan artikel terbaru setiap harinya.

Diela Maharanie, salah satu seniman yang melelang karya ilustrasinya untuk korban banjir Sumatera, juga sepakat kerusakan lingkungan yang menyebabkan bencana.
Karya berjudul “No Future Without Nature” yang dia lelang merupakan kolaborasi dengan Bimo Dwipoalam. Ilustrasinya menggambarkan situasi saat ini, deforestasi gila-gilaan yang berdampak pada manusia dan hewan-hewan.
“Kita merespons apa yang terjadi sih sebenarnya. The least thing I can do sebagai seniman, ya, berkarya untuk membantu sesama,” katanya.
Dia prihatin melihat pohon-pohon yang dulu ada, kini musnah. Nomor-nomor pada gelondongan kayu yang terbawa banjir menunjukkan hasil deforestasi yang sengaja.
“Kita udah enggak bisa dibohong-bohongin lagi, lah, oleh pemerintah. Maksudnya pohon-pohon yang ini tuh hasil potong dan ada nomor-nomornya itu tuh bukan tumbang alami.”
Sumatera, katanya, sudah menyumbang banyak hal pada Indonesia. Namun, ketika bencana terjadi di pulau tersebut, respons pemerintah tidak serius.
Dia miris mendengar pernyataan-pernyataan pemerintah yang nirempati. Penanganan bencananya pun lambat.
“Karena birokrasi kan terlalu berbelit-belit, apa-apa itu kayak lama. Kita nggak bisa ngandelin pemerintah!”

Tetapkan bencana nasional!
Para musisi dan seniman yang dalam pagelaran ‘Warga untuk Sumatra’ itu sepakat mendesak penetapan status bencana nasional terhadap tragedi yang terjadi di Sumatera.
“Pemerintah harus mengutamakan keselamatan rakyatnya di atas kepentingan proyek dan program yang selama ini mendapat banyak alokasi anggaran,” ujar Ferdian Yazid, Manager of Natural Resources and Economic Governance Transparency International Indonesia.
Mekanisme penetapan status bencana termaktub dalam Undang-undang 24/2007 tentang Penanggulangan Bencana. Termasuk kemungkinkan penetapan oleh Presiden.
Pasal 7 ayat (2) dalam UU tersebut memang mengatakan pemerintah daerah berkewajiban melaksanakan penanggulangan bencana di wilayahnya. Namun, ayat selanjutnya menyatakan “Apabila pemerintah daerah tidak mampu, maka pemerintah pusat mengambil alih penyelenggaraan penanggulangan bencana”.

Khalisah Khalid, Public Engagement and Actions Manager Greenpeace Indonesia, menilai aturan itu mempunyai keterbatasan. Sebab, mengatur penetapan bencana nasional bisa dilakukan jika pemerintah daerah menyatakan tidak sanggup lagi menangani bencana tersebut.
Aturan ini, katanya, tidak bisa jadi dalih pemerintah pusat untuk tidak menetapkan status bencana nasional di Sumatera.
“Harusnya presiden sebenarnya atau pemerintah pusat melihat aspek-aspek lain,” ucapnya.
Alin, panggilan akrabnya, menyebut pemerintah daerah secara terang benderang sudah kewalahan tangani bencana ini. Korban meninggal, luka-luka, dan mengungsi sudah tidak bisa lagi terhitung jari. Kemudian, akses logistik juga terputus.
Satu-satunya yang memiliki perangkat mumpuni hanya pemerintah pusat.
“Instrumen yang dimiliki oleh alat-alat negara, itu bisa diturunkan ketika status bencana nasional itu dikeluarkan.”
Dia curiga, ada ketakutan pemerintah menetapkan banjir dan longsor sumatera sebagai bencana nasional. Karena bisa menguak fakta di balik bencana ini, yaitu penghancuran lingkungan yang masif.
Status bencana nasional memungkinkan pihak internasional masuk. Terutama jurnalis internasional. Maka, kejahatan lingkungan termasuk aktor-aktornya yang menjadi penyebab bencana Sumatera akan terekspos.
Karena itu, dia ingatkan pemerintah meninjau kembali izin-izin perusahaan yang terbukti berkontribusi pada bencana ini. Juga, menegakkan hukum terhadap perusahaan tersebut.
Mereka yang terbukti merusak lingkungan harus kena denda. Uangnya bisa pemerintah salurkan untuk pemulihan.
Pemerintah bahkan bisa menggugat langsung para perusak lingkungan itu.
“Status bencana nasional ini tidak mengurangi kewajiban korporasi yang melakukan kejahatan lingkungan untuk bertanggung jawab.”
Sisi lain, dia juga mendorong pemerintah tidak ragu mengalihkan aggaran program lain, seperti Makan Bergizi Gratis (MBG) untuk penanggulangan bencana di Sumatera.

Ekosida
Usman Hamid, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, menilai, pembakaran dan pembabatan hutan yang mencemari dan merusak lingkungan di Sumatera adalah bentuk kejahatan ekosida yang tidak hanya menghancurkan keanekaragaman hayati, tetapi mengancam kehidupan masyarakat lokal dan global terutama dari krisis iklim.
“Ini adalah kejahatan terhadap alam, satwa, dan kemanusiaan yang harus dihentikan segera. Stop deforestasi.”
Alin sepakat. Dia pun dorong penetapan situasi ini sebagai pelanggaran HAM berat. Sebab, hampir semua unsurnya terpenuhi.
Salah satunya, sistematik, yakni, dengan pola tertentu, terencana, atau melibatkan aparatur negara dan regulasi. Selain itu, memenuhi juga unsur meluas (widespread) atau korban banyak dan terjadi di sejumlah lokasi.
Hal ini mengacu pada Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.
“Semua unsur ini kita anggap bisa memenuhi unsur sebagai sebuah kejahatan ekosida.”

*****