Bencana banjir, tanah longsor, kekeringan sampai kebakaran hutan dan lahan terus terjadi berulang di negeri ini. Ketika kemarau datang, kebakaran hutan dan lahan terjadi di mana. Begitu pun ketika musim penghujan, banjir dan longsor sampai badai melanda. Seperti bencana yang terjadi sejak akhir November lalu, Pulau Sumatera porak poranda. Dari Sumatera Barat, Sumatera Utara sampai Aceh, banjir bandang dan tanah longsor menyebabkan bencana parah. Banjir bandang membawa air bah beserta lumpur dengan kayu-kayu gelondongan menerjang apa yang ada di hadapan mereka. Hampir seribu orang tewas dan ratusan hilang. Ribuan rumah hancur bahkan ‘hilang’ tertimbun longsor maupun lumpur yang terbawa banjir. Berbagai infrastruktur seperti jalan dan jembatan hancur dan rusak parah. Sumatera merana. Berbagai kalangan mengingatkan, bencana ini bukan sekadar persoalan air hujan yang turun dari langit, tetapi buah kerusakan lingkungan, terlebih penghancuran hutan skala besar untuk berbagai kepentingan bisnis dan infrastruktur seperti perkebunan sawit, kebun kayu, tambang sampai proyek-proyek skala besar lainnya. Daya dukung dan daya tampung lingkungan Sumatera sudah tak sanggup lagi. Bencana ini bak pesan dari alam agar manusia bijak dalam bertindak dari proses mengeluarkan izin sampai eksploitasi alamnya. Apakah mau benar-benar sadar dengan bikin kebijakan peduli alam? Atau mau terus semaunya berlaku buruk terhadap alam dengan konsekuensi bencana lebih besar dan korban jiwa serta kerugian bakal lebih besar lagi?