Mongabay.co.id

Abdon: Akomodir Peta Wilayah Adat

ALIANSI Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) meminta pemerintah mengakomodasi pemetaan kawasan masyarakat adat dan diberikan ruang khusus dalam tata ruang. Begitu juga dalam penyusunan peta indikatif penundaan izin baru (PIPIB) yang kini masuk revisi ketiga.

Sekretaris Jenderal AMAN, Abdon Nababan mengatakan,  sampai saat ini, pemetaan partisipatif  di wiayah adat sudah mencapai 3,4 juta hektare. “Ini ada 425 wilayah adat, rata-rata 10.100 hektare per wilayah adat,” katanya dalam Lokakarya Menuju Pemutakhiran PIPIB Revisi III di Jakarta, Selasa(4/9/12).

Dia berharap, pemetaan partisipasif wilayah adat ini bisa diperhitungkan dalam pembahasan PIPIB ke depan.  Dia mencontohkan, di Ketapang, Kalimantan Barat, masyarakat adat memiliki konsep tata ruang yang mengintegrasikan ekosistem hutan dan ladang. Mereka sudah memetakan kawasan sesuai fungsi masing-masing, ada ladang, pemukiman, hutan dan lain-lain.

Konflik masyarakat adat dan perusahaan. Masyarakat Muara Tae di Kaltim, menghentikan buldozer perusahaan yang beroperasi di wilayah adat. Foto: Margaretha Seting Beraan, AMAN Kaltim

“Kami usulkan jadi spesial. Seluruh wilayah adat yang sudah punya sistem, harus masuk tata ruang, yang punya peraturan khusus. Ini sistem yang kaya. Masyarakat adat yang sudah memetakan wilayah adat, sediakan ruang untuk registrasi.”

Masyarakat adat, sudah membangun peradapan sejak silam, jadi sudah ada sistem nilai (kearifan lokal). “Mereka miliki kelembagaan adat, itu satu paket, kalau alam berubah, semua berubah, dampak ke mereka.”

Sayangnya, selama ini sistem yang dimiliki masyarakat adat seakan diabaikan pemerintah. Padahal, masyarakat adat ini adalah komunitas yang hidup bersama alam. Mereka tergantung dari tanah, wilayah dan sumber daya alam. “Jadi, kalau bicara tentang REDD, high carbon dan lain-lain, masyarakat adat ada di situ.” “Kalau ditanya siapa yang paling kuat motif untuk jaga alam? Ya mereka (masyarakat adat),” ucap Abdon.

Saat ini, ada program Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation (REDD). Idealnya, masyarakat adat dilibatkan di sana. Namun, realitas di lapangan masyarakat adat menghadapi masalah besar. “Konsesi masuk, HPH masuk. Yang terjadi, makin kaya suatu daerah, makin miskin masyarakat adat. Tikus yang mati di lumbung padi.”

Begitu juga masalah sistem hukum. Hukum adat, kata Abdon, kalah dengan hukum negara. Pada akhirnya, izin-izin yang masuk itu, ditopang negara.  “Negara yang akan menjaga izin-izin yang mereka berikan, dengan aparat keamanannya. Masyarakat adat protes dikriminalisasi. Mereka jadi penjahat di tempat sendiri.”

Kerusakan lingkungan pun terus terjadi. Masyarakat adat yang hidup di habitat itu,  menjadi korban akibat perbuatan orang lain. “Masyarakat adat tak bisa lari, kalau pengusaha bisa lari kalau ada perubahan alam. Panas mereka bisa pakai AC. Yang dapat konsesi tidak susah, tapi masyarakat adat tak bisa lari ke mana-mana. Mereka jadi korban,” ujar dia.

Yang terjadi saat ini,  kata Abdon, akses terbuka. Hak menguasasi negara besar, hutan adat menjadi hutan negara. Namun, kapasitas pemerintah (Kementerian Kehutanan) lemah. “Mereka berkuasa tapi lemah. Yang terjadi di nusantara ini tragedi open access, illegal logging, illegal mining, tak mampu dikendalikan, yang berizin dan tidak jalan terus, banyak yang tak berizin. Pertarungan ini, masyarakat adat jadi orang asing di tempat sendiri.”

Saat ini, wilayah adat yang tumpang tindih dengan kawasan hutan seluas 2,6 juta hektare. Lalu, tumpang tindih wilayah adat dan PIPIB seluas 1,68 juta hektare. Luas  total peta wilayah adat  6,69 juta hektare.

Galangan Masukan PIPIB Revisi Ketiga

Sementara itu, Tim Kerja Monitoring Moratorium dari Satuan Tugas Persiapan Kelembagaan REDD+ Indonesia (Satgas REDD+) menggalang masukan dari masyarakat luas demi menyempurnakan revisi ketiga PIPIB yang keluar November mendatang. Lokakarya dua hari di Jakarta pada 4-5 September 2012, diadakan.

Sekitar 80 orang berpartisipasi dari berbagai pihak, seperti Kementerian Kehutanan, BIG (Badan Informasi Geospasial), lembaga donor, lembaga-lembaga non pemerintah nasional dan internasional, seperti Greenpeace, Walhi, organisasi-organisasi intergovernmental, akademisi dan badan-badan riset, para ahli, dan swasta.

“Workshop ini menegaskan pentingnya kerja sama berbagai badan pemerintah guna perbaikan tata kelola kawasan hutan dan lahan gambut,” kata Kepala Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4) dan Ketua Satuan Tugas Persiapan Kelembagaan REDD+, Kuntoro Mangkusubroto.

Kepemilikan kuat dari semua pihak terhadap hasil akhir PIPIB, prasyarat penting bagi tata kelola perizinan pemanfaatan dan penggunaan kawasan hutan yang transparan, akuntabel dan selaras.

Dia mengatakan, banyak masukan diterima Satgas REDD+ menunjukkan betapa kompleks persoalan tata kelola perizinan di kawasan hutan dan lahan gambut. Ada begitu banyak kepentingan bertubrukan akibat salah kelola di masa lalu.

Sampai saat ini, Satgas REDD+ telah mengkoordinasikan tindak lanjut dari berbagai masukan dengan semua jajaran pemerintah dan penegak hukum. Kuntoro menekankan, komitmen pemerintah terhadap proses dialog melibatkan semua pihak secara lintas sektor dengan setara.

Exit mobile version