Mongabay.co.id

Wah! Investigasi Ungkap Pemasok Perusahaan Besar Masih Beli Sawit Ilegal

Pemasok perusahaan-perusahaan sawit besar diduga masih membeli bahan baku dari sumber-sumber ‘kotor’ karena diperoleh dari area koridor harimau Bukit Batabuh, Riau, Sumatera. Padahal, perusahaan-perusahaan ini telah berkomitmen mengurangi deforestasi dari rantai pasokan mereka.

Temuan ini terungkap dalam investigasi Eyes on The Forest berjudul Tiger in your tank, destruction of Riau’s Bukit Batabuh tiger corridor for palm oil yang dirilis Jumat (5/9/14).

Investigasi ini menelusuri asal muasal produksi tandan buah segar sawit, ternyata berasal dari kebun-kebun ilegal yang membabat hutan lindung yang menjadi koridor harimau, di Bukit Batabuh.

Bukit Batabuh terhubung dengan Cagar Alam Bukit Rimbang-Bukit Baling (Sumatera Barat) dan Taman Nasional Bukit Tigapuluh (Jambi). Lahan seluas 95.824 hektar ini habitat penting harimau Sumatera. TBS sawit dari kebun-kebun ilegal itu masuk ke pabrik-pabrik milik Agro Muko, Wilmar, Asian Agri, Darmex, Incasi Raya, Mahkota, dan Sarimas.

Setelah itu, minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) dikapalkan lewat pelabuhan milik SK Group, dengan konsumen termasuk Asian Agri/Royal Golden Eagle, Astra, Cargill, Darmex, Salim, Sarimas dan Sinar Mas.

Laporan ini mengindentifikasi, 27 kelompok yang beroperasi di koridor itu. Sebanyak 18 kelompok skala kecil dengan pendanaan sendiri, kebun mandiri dengan rata-rata sekitar delapan hektar per keluarga.  Mayoritas anggota kelompok datang dari berbagai daerah.

Ada juga kelompok berskala besar dengan minimum kebun 250 hektar didanai pemodal luar daerah dan beroperasi seperti perusahaan. Ada lagi, kebun plasma di bawah Kredit Koperasi Primer untuk Anggota dari perusahaan Sarimas Grup, PT. Tri Bakti Sarimas. Perusahaan ini menjalankan dua pabrik di dekat kawasan itu.

Survei ini memperkirakan, dari sekitar 19.000 hektar kebun sawit yang ada, sebagian sudah berbuah dan hampir 4.000 hektar baru pembersihan lahan. Sekitar 9.000 hektar semak belukar, yang diduga juga akan ditanami sawit.

“Kala tanaman sawit kecil dan yang baru ditanami nanti berproduksi, kemungkinan dalam tiga tahun ke depan,  kami perkirakan pasokan tandan buah segar illegal dari area ini akan meningkat tiga kali lipat,” sebut laporan itu.

Penelitian ini dimulai pada Januari 2014, sebulan setelah Wilmar mengumumkan kebijakan nol deforestasi yang juga berlaku bagi para pemasoknya. Sejak itu, Cargil dan Asian Agri juga berkomitmen menekan deforestasi,  sampai ke rantai pemasok mereka.

“Minyak sawit dari buah-buah ilegal yang ditanam di habitat harimau Sumatera ini mungkin dikirim sampai jauh menggunakan kapal. Mungkin saja masuk ke pabrik-pabrik perusahaan terkenal di dunia, baik di Indonesia, Malaysia dan Singapura.”

Peta koridor harimau di Bukitbatabuh. Sumber: Eyes on the Forest

Laporan itu menyebutkan, temuan ini memperlihatkan, untuk menghilangkan deforestasi dan perambahan ilegal menjadi kebun sawit merupakan tantangan berat di Indonesia. Untuk itu, Eyes on the Forest mendesak, pembeli harus melacak sumber pasokan sawit guna memastikan komitmen zero deforestasi mereka kredibel.

Temuan EoF itu memperlihatkan deforestasi dan degradasi hutan terus terjadi di Indonesia oleh berbagai penyebab, dari HTI, tambang termasuk sawit. Bahkan, Greenpeace pernah merilis laporan menyatakan deforestasi terbesar disumbang oleh pengembangan sawit

100 juta hektar hutan terdegradasi

Sementara itu, analisis terbaru secara global menemukan lebih 104 juta hektar kawasan hutan terdegradasi sejak 2000-2013. Luasan ini sama dengan tiga kali Jerman!

Ia terungkap dari hasil analisis Greenpeace GIS Laboratory, University of Maryland dan Transparent World, berkolaborasi dengan World Resources Institute dan WWF-Russia.

Mereka, menggunakan satelit dan teknologi terkini melakukan analisis global untuk menentukan lokasi dan jangkauan dari luas hutan tersisa yang masih terjaga, disebut lansekap hutan utuh (Intact Forest Landscapes/IFLs).

IFLs ini, merupakan kawasan cukup luas untuk menjaga keragaman hayati lokal dengan lokasi tak terpecah-pecah oleh penebangan, dan infrastruktur seperti jalan, tambang maupun eksplorasi minyak dan gas. IFLs juga termasuk area tak produktif dengan tutupan pohon pendek dan area tak berhutan.

Peta baru ini bisa diakses dan dianalis menggunakan tools teranyar Global Forest Watch. Ia sistem yang dinamis, pengawasan hutan online dan memberikan keleluasaan untuk memanaj hutan

Analisis mereka mengungkapkan beberapa temuan kunci, seperti sejak 2000, sekitar 8,1% IFLs telah terdegradasi. Hampir, 95% dari lansekap hutan utuh dunia itu di daerah tropis dan wilayah utara. Daerah utara itu seperti Kanada, Russia and Alaska (47%) dan hutan tropis antara lain, Amazon (25%) and Congo (9%). 

Dr. Christoph Thies, pengkampanye hutan senio Greenpeace International mengatakan, pemerintah harus mengambil langkah untuk menghentikan degradasi di kawasan IFLs. Caranya, dengan membuat lebih banyak kawasan lindung, memperkuat hak masyarakat di dalam hutan, serta upaya lain untuk melindungi hutan dengan tetap benilai ekonomi, sosial dan konservasi.

“PBB, negara pendonor, dan bank-bank juga perlu mendukung negara-negara itu melindungi IFLs. Juga inisiatif perusahaan swasta seperti Forest Stewardship Council dan berbagai organisasi sawit, kedelai, daging dan lain-lain bisa memperkuat standar mereka guna menghindari degradasi IFLs.”

Exit mobile version