Mongabay.co.id

Menanti Aksi Cepat dan Serius Merestorasi Gambut Demi Penyelamatan Iklim

Pagi itu, saya melintasi jalan layang di kawasan gambut Tumbang Nusa, Pulang Pisau, Kalimantan Tengah. Saya melihat satu sekatan kanal bikinan TNI, September lalu, jebol. Tampak beberapa kayu tersisa, bergoyang terkena arus. Bekas sekat nyaris tak tampak, terendam air.

Pengerjaan kanal bersekat ini sejak awal memang menuai protes. Ia  dinilai tak menjawab masalah gambut kering yang coba dibasahi kembali dengan sekat kanal hingga bisa mencegah kebakaran. Pegiat lingkungan protes, karena di Tumbang Nusa ini, membuat kanal baru, lalu disekat. Bukan, kanal-kanal yang sudah, disekat.

Dari sekat yang masih utuh, terlihat, sekat dibuat rata, lalu bagian atas ditutup papan. “Sekat kanal seperti itu, kalau kena arus deras, ya kalau tak hancur, jebol,” kata Yuyun Indradi, Forest Political Campaigner Greenpeace di Indonesia, di Pulang Pisau, awal Desember lalu.

Upaya membasahi kembali gambut-gambut kering dengan sekat kanal, memang disuarakan berbagai kalangan dari organisasi masyarakat sipil sampai para ahli, Inisiatif membuat sekat-sekat kanal mulai dilakukan organisasi lingkungan maupun masyarakat seperti di Riau dan Kalteng. “Sekat kanal ya, bukan bikin kanal lalu disekat,” kata Riko Kurniawan, Direktur Eksekutif Walhi Riau, baru-baru ini.

Salah satu sekat kanal di Tumbang Nusa, yang masih utuh. Sekat kanal ada yang sudah jebol padahal baru dibuat beberapa bulan. Foto: Sapariah Saturi

Ya, usai kebakaran hutan dan lahan yang melalap tak kurang 2,6 jutaan hektar dan berdampak pada sekitar 43 juta penduduk di Indonesia, –belum lagi di negeri tetangga–, pemerintah Indonesia mencanangkan restorasi lahan gambut rusak. Aturan soal inipun sedang disusun. Salah satu yang disebut-sebut sebagai langkah restorasi ini sekat kanal.

Sekat kanal efektif membasahi gambut sudah terbukti. Pada November 2014, Presiden Joko Widodo, diundang ke Desa Sungai Tohor, Riau, untuk menyaksikan inisiatif warga menyekat kanal. Awal tahun 2014, kebun sagu warga yang biasa aman dari kebakaran, mulai dilalap api. Tak ingin terulang, didampingi berbagai organisasi masyarakat sipil, seperti Walhi dan Greenpeace, sekat kanalpun dibuat.

Kemarau tahun ini, kala banyak wilayah terbakar, Abdul Manan, warga Desa Tohor, memposting foto-foto kanal-kanal di desa mereka yang penuh air berkat sekat yang dibuat. Gambut-gambutpun tetap basah hingga terhindar dari jilatan api.

Kiki Taufik, Manajer Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia mengatakan, sebenarnya Greenpeace dari awal sudah menyerukan sekat kanal untuk restorasi gambut. Pada 2007, Greenpeace pernah men-daming di Kuala Cenaku, Indragiri Hulu, Riau, di konsesi perusahaan. Pada 2009, di Meranti, Palalawan dan 2014, di Sei Tohor.

“Dari 2007 itu kita konsisten teriakkan pemerintah buat restorasi gambut, perlindungan gambut total. Tapi belum juga didengar.”

Hutan gambut yang terbakar, berdekatan dengan kebun sawit di Kabupaten Pulang Pisau, Kalteng. Foto: Sapariah Saturi

Pelahan, angin positif penyelamatan gambut mulai tampak. Pemerintah pelan-pelan mulai mendengar, diawali peraturan moratorium izin hutan dan lahan pada 2011. Kebijakan tak boleh beri baru izin di lahan gambut dan hutan primer ini berlaku dua tahun, dan masih diperpanjang hingga kini.

Namun, dalam perjalanan beberapa tahun ini, ternyata moratorium tak sepenuhnya melindungi gambut. Izin-izin di lapangan tetap keluar dengan berbagai dalih.

Alhasil, tak ada perbaikan dalam tata kelola. Kebakaran terus berulang tiap tahun sampai kini.

Yuyun menambahkan, sebenarnya setelah moratorium, era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, juga telah menandatangani Peraturan Peraturan Presiden (PP) tentang Perlindungan dan Pengelolaan Gambut. Salah satu mandat dalam aturan itu, pemerintah akan membuat peta hidrologi gambut—yang akan mementukan mana gambut fungsi budidaya dan perlindungan. “Sampai sekarang peta belum jelas. Belum ada referensi yang valid dan resmi dari pemerintah, mana seharusnya wilayah dilindungi, mana boleh diusahakan,” katanya.

Bekas hutan gambut yang terbakar di Taman Nasional Sebangau. Foto: Sapariah Saturi

Meskipun begitu, katanya, seruan Greenpeace jelas, kalau perlindungan gambut tu menyeluruh. “Karena gambut itu satu bentang alam yang gak bisa dipisah-pisah. Ibarat sepon, kalau bagian pinggir dikeringkan, dari tengah air akan ngalir ke tempat yang dikeringkan itu.”

Pada pidato pembukaan di Conference of Parties (COP)21 Paris, 30 November lalu, Presiden Joko Widodo berkomitmen menghentikan kebakaran hutan dan lahan,  yang telah mendrongkrak Indonesia, menjadi negara pengemisi terbesar dalam beberapa bulan. Jokowi menjelaskan, langkah-langkah perbaikan antara lain, tata kelola hutan dan lahan. Presiden juga menyebut, segera membentuk Badan Restorasi Gambut.

“Komitmen ini tak akan jalan kalau tak ada perlindungan permanen lahan gambut,” kata Kiki. Untuk mencegah kebakaran, katanya, pemerintah perlu membuat kebijakan komprehensif yang kuat mencakup hutan dan lahan gambut.

“Kita lihat implementasi pidato Jokowi di Paris untuk perbaikan lahan gambut,” katanya.

Dia mendengar Rancangan Peraturan Presiden tentang Satuan Tugas Restorasi Ekosistem Gambut, bakal segera ditandatangani. “ Berharap pemerintah pusat dan daerah serta semua lapisan bertanggung jawab dalam restorasi gambut ini,” ujar dia.

Pepohonan hutan yang mengering terbakar di lahan gambut Kecamatan Sebangau, Pulang Pisau, Kalteng. Foto: Sapariah Saturi

***

Panas terik menyengat, siang itu. Suhu udara, mencapai 51 derajat celcius! Tampak warga sibuk bekerja. Ada yang membawa karung. Ada yang mengangkat potongan kayu. Kayu-kayu tertancap rapat dengan bagian tengah dipotong hingga meyerupai huruf V.

Mereka ini sedang membuat sekat di kanal yang membelah lahan gambut Taman Nasional Sebangau, sebelah timur, masuk wilayah Desa Paduran, Kecamatan Sebangau, Kabupaten Pulang Pisau, Kalimantan Tengah.

Kanal sekunder lebar sekitar 10 meter ini ada sejak 1996, bagian dari proyek pembukaan lahan gambut satu juta hektar untuk sawah era Presiden Soeharto. Sekat kanal ini mulai dibangun 25 November 2015. Tujuannya, membasahi gambut guna mencegah kebakaran  berulang.

Aksi bersama, Greenpeace, Cimtrop Universitas Palangkaraya, Save Our Borneo (SOB) dan masyarakat, bersamaan, di Paris, tengah berlangsung pertemuan para pihak membahas perubahan iklim dunia yang dihadiri Presiden Jokowi.

Sekat kanal yang dibuat di Taman Nasional Sebangau, guna mengupayakan gambut tetap basah agar kala kemarau tak terbakar. Foto: Sapariah Saturi

“Ini upaya kami agar gambut tetap basah. Jika tak di-dam, air terlalu cepat keluar ke Sungai Sebangau,” kata Haga Salmin, Koordinator Tim Serbu Api UPT Centre for International Co-Operation in Sustainable Management of Tropical Peatland (Cimtrop) Universitas Palangkaraya.

Dia mengatakan, pembangunan sekat kanal ini, sebagai langkah awal untuk menginspirasi pelaksanaan restortasi lahan gambut. Restorasi, katanya, bisa dengan berbagai cara. Antara lain sekat nala dan penghijauan.

“Ini sekat, di sekitarnya ditanami pohon. Tumbuhan jalan, perakaran bagus, jadi bisa menyatulah,” katanya. Tak jauh dari kanal, bibit lokal, bangiran, sudah disiapkan SOB.

Haga mengatakan, kemampuan pembahasan gambut setiap kenaikan 20 cm air, jangkuan sekitar 400-500 meter ke kanan kiri kanal. “Jadi, makin banyak sekat kanal yang dibangun, akan makin luas jangkauan lahan yang akan digenangi.”

Tampak dari atas hutan gambut yang terbakar di Taman Nasional Sebangau, berseberangan dengan perkebunan sawit. Foto: Aseanty Pahlevi

Pembuatan sekat selebar 27 meter ini, kata Haga, 80% organik, kecuali karung dan paku. Bahan sekat, menggunakan kayu galam dan bangiran yang tahan air (kayu yang hidup di gambut). Sekat dibuat di bagian tengah semacam huruf V. “Sekat dengan konstruksi berbentuk V supaya air tetap mengalir tetapi tidak deras,” ucap Haga.

Di eks PLG satu juta hektar, panjang kanal sekitar 4.500 kilometer. Di Blok C, Cimtrop sudah membangun 15 sekat. Idealnya, kata Haga, setiap 400 meter, ada sekat kanal.

Segera restorasi

Kini, sudah memasuki musim penghujan tetapi perkiraan, akhir Februari 2016, akan memasuki kemarau lagi. Untuk itu, Greenpeace mendesak, pemerintah segera memulai restorasi gambut jika tak ingin kebakaran serupa terulang tahun depan.

Rusmadya Maharudin, Forest Campaigner Greenpeace Indonesia mengatakan, area terbakar tahun ini berpotensi terbakar lagi tahun depan kalau tak ada penanganan segera dan serius. “Mengapa? Karena mungkin dari tingkat kekeringan gambut daerah itu. Seharusnya, di musim hujan seperti sekarang ini, sudah harus waspada, misal, dengan sekat kanal di wilayah-wilayah rentan terhadap kebakaran,” katanya.

Restorasi lahan gambut tak hanya sekat kanal, bisa juga menanam pohon. Namun Yuyun mengingatkan, tanaman yang dipakai buat restorasi mesti pohon-pohon endemik atau lokal (native species) yang memang hidup di gambut, bukan monokultur, seperti sawit atau akasia.

Kanal yang dibuat pada 1996, kala proyek eks PLG satu juta hektar. Tak kurang 4.500 km kanal membelah lahan gambut di area proyek sejuta hektar yang menjadi ‘penguras’ air gambut hingga memicu kebakaran. Foto: Sapariah Saturi
Sekat kanal dimotori Greenpeace Indonesia,” Lindungi Gambut, Selamatkan Iklim.” Foto: Aseanty Pahlevi
Bibit bangiran yang disiapkan untuk penghijauan di sekitar sekat kanal. Foto: Sapariah Saturi
Kanal yang membelah gambut hingga mengeringkan lahan penyimpan air itu. Akibatnya, lahan sekitar terbakar kala kemarau. Foto: Aseanty Pahlevi
Exit mobile version