Mongabay.co.id

Soal Kesepakatan Paris, Apa Kata AMAN dan Walhi?

Pertemuan para pihak membahas perubahan iklim (Conference of Parties) 21 di Paris, membuahkan kesepakatan Paris (Paris Agreement) pada 12 Desember 2015.  Ia akan menjadi protokol baru, menggantikan Protokol Kyoto. Kalangan organisasi masyarakat sipil buka suara menanggapi hasil perundingan ini. Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) menilai ada kemajuan penting dalam perundingan ini dengan memasukkan peran penting hutan terhadap mitigasi perubahan iklim. Sayangnya, pelibatan masyarakat adat—turun menurun menjaga hutan–, masih kurang dianggap dalam mitigasi perubahan iklim.

“Sebagai penjaga ekosistem hutan dan lahan hambut,  tadinya saya berharap, pengakuan perlindungan dan perhormatan atas hak-hak masyarakat adat sebagai HAM akan sangat kuat. Ternyata, harapan saya tidak tercapai dengan Paris Agreement. Perjuangan masih harus berlanjut di perundingan berikutnya,” Abdon Nababan, Sekretaris Jenderal AMAN kepada Mongabay.

Meskipun begitu, AMAN, katanya, mengapresiasi di bagian preambul ada upaya pengarusutamaan HAM, termasuk hak masyarakat adat, dalam penanganan perubahan iklim global. Seharusnya, ucap Abdon, kerangka kerja HAM ini diterjemahkan dan tercantum dalam pasal-pasal implementasi. Hal itu tak terjadi.

AMAN, dan organisasi masyarakat adat lain dari seluruh dunia, katanya, sangat kecewa karena hak-hak masyarakat adat yang awalnya disebutkan dalam draf teks bagian operasional, yakni, Pasal 2.2, justru malah dihilangkan.

“Hak-hak masyarakat adat hanya muncul di bagian teks operasional terkait adaptasi, untuk mitigasi justru tidak ada.”

Dia menilai, posisi hak-hak masyarakat adat mengalami pelemahan karena rumusan pengakuan, perlindungan dan penghormatan hak-hak masyarakat adat bagian teks operasional mitigasi tak ada. Kondisi ini, katanya, membuka peluang upaya-upaya mitigasi perubahan iklim oleh pihak swasta (korporasi) yang melanggar HAM. Terutama, mereka yang beroperasi di wilayah-wilayah adat dengan kandungan karbon tinggi.

Untuk itu, kata Abdon, AMAN berharap kekhawatiran masyarakat adat ini tidak terjadi di Indonesia. Menurut dia, dalam pidato Presiden Joko Widodo, pada COP 21 itu berkomitmen dalam menurunkan emisi 29% atau sampai 41% dengan bantuan internasional, akan melibatkan masyarakat, termasuk masyarakat adat. Namun, katanya, pidato Presiden yang belum menjadi kebijakan masih mungkin dalam pelaksanaan berbeda.

“Mestinya (dengan komitmen ini) pelanggaran HAM masyarakat adat tidak terjadi di Indonesia. Kekurangan dokumen itu (Paris Agreement) bisa diperbaiki dalam kerja sama nyata. Pemerintah bisa bergotong royong dengan masyarakat adat.”

Hutan adat Pekasa, di Kecamatan Lunyuk, Sumbawa, NTB, yang berada di ketinggian tampak lebat dan berawan kala sore hari. Warga adat, hanya membuka lahan di tempat khusus pemukiman dan pertanian. Sedang hutan larangan tak mereka ganggu gugat karena memang sebagai penyangga hidup mereka. Foto: Sapariah Saturi

Tak jamin perbaikan iklim

Walhi juga menilai kesepakatan baru di Paris untuk penanganan perubahan iklim pada 12 Desember 2015, setelah molor sehari dari jadwal sebelumnya tak menjamin perbika iklim.

Dalam siaran pers bersama, Friend of the Earth International dan Walhi menyebutkan, kesepakatan ini menguntungkan negara kaya dan tak memperbaiki nasib rakyat.

Dipti Bathnagar, Koordinator Keadilan Iklim dan Energi, Friends of the Erath International mengatakan, bagi politisi, ini kesepakatan adil dan ambisius. Justru sebaliknya. Kesepakatan ini, katanya, pasti gagal dan masyarakat sedang ditipu.

Seharusnya, masyarakat terdampak dan rentan perubahan iklim mendapat hal lebih baik dari kesepakatan ini. “Mereka paling merasakan dampak terburuk dari kegagalan politisi dalam mengambil tindakan,” katanya.

Melalui janji-janji dan taktik intimidasi, katanya, negara-negara maju telah mendorong kesepakatan yang sangat buruk. Negara maju, khusus Amerika Serikat dan Uni Eropa mestinya membagi tanggung jawab adil (fair share) dalam menurunkan emisi, memberikan pendanaan dan dukungan alih tekhnologi bagi negara-negara berkembang dalam membantu mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Sayangnya, di Paris, negara-negara kaya berupaya membongkar konvensi perubahan iklim untuk memastikan kepentingan mereka sendiri.

Kurniawan Sabar, Manajer Kampanye Walhi Nasional (Friends of the Earth Indonesia) menyatakan, bagi Indonesia, kesepakatan Paris akan memberikan dampak signifikan bagi masyarakat dan keberlanjutan lingkungan. Kesepakatan iklim ini, katanya, tak memberikan jaminan perubahan sistem pengelolaan sumber daya alam di Indonesia. “Jadi lingkungan dan masyarakat Indonesia yang rentan terdampak perubahan iklim akan berada dalam kondisi makin mengkhawatirkan.”

Sikap pemerintah Indonesia, kata Kurniawan, sangat pragmatis dan tak memainkan peran strategis dalam negosiasi di Paris. Hal ini, meletakkan Indonesia sebagai negara pengikut kesepakatan dan kepentingan negara maju. Pemerintah Indonesia, lebih mementingkan dukungan program bagian mekanisme pasar yang dibangun negara-negara maju dalam negosiasi di Paris.

Dia mengatakan, kala pengelolaan hutan, pesisir dan laut, dan energi Indonesia masih jadi bagian skema pasar, maka tak bisa berharap perbaikan sistem pengelolaan sumber daya alam lebih maju.

Dukungan dari kesepakatan Paris, pun, katanya, tak berarti dan tak berhasil tanpa perbaikan tata kelola hutan dan gambut, pesisir laut, menghentikan penggunaan energi kotor batubara. “Juga menghentikan kejahatan korporasi dalam pengelolaan sumber daya alam.”

Wimar Witoelar, pendiri Yayasan Perspektif Baru, juga anggota Dewan Pengarah Perubahan Iklim mengatakan, konsep COP kali ini berbeda dengan sebelumnya. “Bukan tawaran negara maju untuk diikuti tetapi semua dasar dari INDC (Intended Nationally Determined Contributions) masing-masing negara,” katanya.

Dalam perundingan itu, secara internasional, kata Wimar, Indonesia, cukup dihargai dan dianggap sebagai good international citizenship. Presiden juga dinilai bisa bekerja bersama masyarakat sipil.

Dia melihat masalah Indonesia, ada di dalam negeri, misal, kepercayaan kepada pemerintah. Masalah internal ini bisa menghambat langkah-langkah pemerintah dalam mewujudkan komitmen mengatasi perubahan iklim. “Itu yang kita khawatirkan. Masalah itu bisa menyita tenaga dan perhatian Presiden. Kondisi domestik harus rapi untuk manfaatkan modal internasional yang ada. Kalau tidak terkikis,” katanya.

Untuk itu, katanya, pemerintah (Presiden) harus secepat mungkin mendapat kepercayaan warga, sebelum kepercayaan internasional pudar. “Hal-hal yang kalau kita lihat sehar-hari, baik karena gerakan politk negatif, atau salah presepsi, kalau lama akan jadi masalah internasional juga.”

Kalau ingin melihat dokumen kesepakatan Paris, bisa klik di sini.

ir Terjun Benang Kelambu yang berada di HKm Desa Aik Berik. Ini salah satu hutan yang dikelola masyarakat sekitar. Ia menjadi salah satu sumber air bersih di Lombok Tengah. Foto: Sapariah Saturi
Exit mobile version