Mongabay.co.id

Sadar Dilindungi, Warga Serahkan Kukang dan Kangkareng Hitam

Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Kalimantan Barat menyatakan kesadaran masyarakat untuk tidak memelihara satwa dilindungi sudah meningkat. Mengawali 2016, BKSDA menerima tiga satwa dilindungi dari masyarakat.

“Warga menyerahkan satu individu kukang kalimantan (Nycticebus menagensis) dan satu  kangkareng hitam (Anthracoceros malayanus), pada 5 Januari 2016 kemarin,” tukas Kepala BKSDA Kalimantan Barat, Sustyo Iriyono. Kukang diserahkan Novizar Hartady, didampingi oleh wartawan Tribun Pontianak. Novizar mengatakan, kawannya yang memberi kukang tersebut yang didapat di hutan Putusibau, Kabupaten Kapuas Hulu.

“Hewan ini sudah dipelihara temannya sejak kecil dan baru dirawat Novizar satu bulan. Kukang tersebut, sudah jinak, diperkirakan waktu untuk rehabilitasi untuk hidup di habitat aslinya,” ujar Sustyo.

Sementara itu, pada 7 Desember 2016, BKSDA juga mendapatkan tambahan satu kukang dari anggota kepolisian. Kukang tersebut, kata Sustyo, didapat di sekitar Tayang, Kabupaten Sanggau, yang tidak sengaja tertabrak oleh Iptu Marbun, petugas kepolisian tersebut. Sebelum diserahkan, kukang sudah dirawat dua minggu. “Saat ini, kedua kukang telah diserahkan ke Yayasan Inisiasi Alam Rehabilitasi Indonesia (YIARI) Kalimantan Barat.”

Sementara itu, kangkareng hitam milik warga di Jalan Dr. Sudarso Pontianak, diserahkan sehari sebelumnya. Keberadaan burung yang masuk keluarga Bucerotidae ini hasil tindak lanjut laporan warga. M Sahro Santoso, si pemilik mengatakan, menemukan burung tersebut jatuh dari pohon. “Saat itu hujan lebat, burung tersebut jatuh mengenai pagar kampus Kebidanan,” ujar Sahro.

Dia melihat kondisi burung itu lemah, tampak sakit. Sahro pun memutuskan untuk memelihara. Setelah dua hari dirawat, kondisinya membaik. Menyadari burung tersebut jenis satwa dilindungi, Sahro melapor ke ketua rukun tetangga (RT) setempat. “Ketua RT yang kemudian melaporkan ke BKSDA agar burung tersebut dievakuasi,” katanya.

Sustyo mengatakan, dari analisa di lapangan bisa disimpulkan, kangkareng hitam yang ditemukan tersebut berasal dari peliharaan warga yang lepas. Burung ini mempunyai habitat di hutan Kabupaten Kapuas Hulu. Daya jelajahnya tidak memungkinkan sampai ke Kota Pontianak. “Yang lebih menguatkan lagi, burung tersebut langsung memberi respon ketika diberi makan, layaknya binatang peliharaan,” kata Sustyo. Khusus untuk penanganan kangkareng ini, BKSDA Kalimantan Barat sedianya akan melepasliarkan di habitat aslinya, Kabupaten Kapuas Hulu.

BKSDA Kalimantan Barat mengapresiasi itikad baik warga yang menyerahkan satwa dilindungi kepada pihak berwenang. Ini artinya warga mulai memahami pentingnya satwa-satwa dilindungi berada di habitat aslinya. Tak hanya itu, warga juga menyadari, memelihara satwa dilindungi tidak serta-merta membantu hewan tersebut lepas dari kepuhanan. “Lingkungan pemeliharaan yang terbatas, membuat siklus hidup satwa tersebut terputus. Padahal di habitat aslinya, hewan bisa berkembang biak dengan lingkungan ideal.”

Kangkareng hitam yang diserahkan warga. Foto: Aseanty Pahlevi

Albert Tjiu, Program Manager WWF Kalimantan Barat menyatakan, kinerja BKSDA Kalimantan Barat setahun terakhir cukup baik. “Kinerja dilihat dari meningkatnya sisi penanganan kasus penyerahan satwa dilindungi.”

Menurut Albert, hal ini harus dikawal dan ditingkatkan, mengingat wilayah jangkauan kerjanya yang luas di Kalimantan Barat. Salah satu strategi yang diusung oleh BKSDA adalah meningkatkan intensitas kerja sama dengan mitra konservasi secara formal, sehingga capaian dan dampak konservasi bisa lebih luas.

Terkait dengan pemahaman masyarakat, kata Albert, dari pengalaman kerja WWF, sosialisasi intensif penting dilakukan. “Sebagai contoh, Desa A, kalau sudah mendapatkan sosialisasi terkait satwa di lindungi, pemahaman warganya jadi lebih baik. Namun, desa-desa lain yang berdampingan, jika tidak disentuh langsung biasanya masih berargumen mereka belum paham aturan terkait satwa dilindungi.”

Kedepan, kita harapkan kesadaran masyarakat meningkat sehingga tidak memelihara maupun memburu satwa yang dilindungi UU. “Punahnya satwa liar yang merupakan bagian dari ekosistem akibat memperniagakannya adalah kerugian besar bagi keragaman hayati kita,” tandas Albert.

Exit mobile version