Mongabay.co.id

PP Baru Perubahan Kawasan Hutan Angin Segar bagi Investasi Keterlanjuran

Pada 28 Desember 2015, Presiden Joko Widodo, menandatangani Peraturan Pemerintah No 104 Tahun 2015, soal tata cara perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan. Dalam kebijakan baru ini, Pasal 51 khusus mengatur soal investasi keterlanjuran,  antara lain, perusahaan bisa mengajukan pelepasan atau tukar menukar kawasan hutan. Kalaupun kebun berada di kawasan konservasi atau lindung, tetap mendapatkan kesempatan melanjutkan usaha selama satu daur tanaman pokok.

Dalam pertimbangan menyebutkan, PP ini ada untuk memberikan kemudahan dan penyederhanaan proses perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan serta menyelesaikan masalah yang belum selesai dalam aturan lama (Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 2010 tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan diubah dengan PP Nomor 60 Tahun 2012).

Adapun dua poin dalam Pasal 51 PP ini khusus mengatur investasi keterlanjuran. Poin pertama, menyebutkan, kegiatan usaha perkebunan dengan izin “terlanjur terbit” oleh pemerintah daerah di kawasan hutan produksi dikonversi, atau hutan produksi tetap dan hutan produksi terbatas dalam waktu paling lama satu tahun sejak PP ini berlaku dapat mengajukan permohonan pelepasan atau tukar menukar kawasan hutan kepada menteri.

Izin terlanjur adalah berdasarkan rencana tata ruang wilayah provinsi atau kabupaten/kota dengan peraturan daerah sebelum berlaku UU Penataan Ruang dan berdasarkan tata ruang yang berlaku tetap sesuai tata ruang sebelumnya namun berdasarkan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan merupakan kawasan hutan produksi dapat dikonversi, atau hutan produksi tetap dan hutan produksi terbatas .

Kedua, kala izin usaha perkebunan yang ‘terlanjur terbit’ oleh pemerintah daerah masuk areal menurut peta kawasan hutan terakhir merupakan kawasan hutan fungsi konservasi atau lindung, diberikan kesempatan melanjutkan usaha selama satu daur tanaman pokok.

Perubahan peruntukan syaratkan KLHS

Dalam perubahan peruntukan kawasan hutan wilayah provinsi agak berbeda. Dalam PP baru ini, ada mensyaratkan gubernur memberikan KLHS kepada menteri kala perubahan peruntukan berpotensi menimbulkan risiko lingkungan.

Tahapannya, dibahas dalam Pasal 29-33, menyebutkan, gubernur mengajukan usul kepada menteri yang terintegrasi dalam revisi rencana tata ruang provinsi. Menteri melakukan telaah teknis. Berdasarkan hasil telaahan teknis, menteri membentuk tim terpadu. Lalu, tim terpadu menyampaikan hasil penelitian dan rekomendasi perubahan peruntukan kawasan hutan kepada menteri.

Dari hasil penelitian dan rekomendasi tim terpadu, menteri menerbitkan keputusan perubahan peruntukan untuk sebagian atau seluruh kawasan hutan yang diusulkan.

Jika dalam hasil penelitian tim terpadu menunjukkan usulan perubahan peruntukan kawasan hutan berpotensi menimbulkan dampak atau risiko lingkungan, gubernur wajib menyampaikan kajian lingkungan hidup strategis (KLHS) kepada menteri melalui tim terpadu.

Jika hasil KLHS menunjukkan kelayakan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup, menteri menerbitkan keputusan perubahan peruntukan kawasan hutan berdasarkan hasil penelitian dan rekomendasi tim terpadu. Kala, hasil KLHS menunjukkan ketidaklayakan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup, menteri menolak usulan.

Kala, penelitian tim terpadu menunjukkan perubahan peruntukan kawasan hutan dapat berdampak penting dan cakupan luas serta bernilai strategis, menteri menyampaikan hasil penelitian tim terpadu kepada DPR untuk mendapatkan persetujuan.

Soal perubahan peruntukan alih fungsi kawasan hutan, tampak tak jauh beda dengn aturan sebelumnya. (lihat tautan aturan). Untuk perubahan fungsi kawasan hutan, dengan pengajuan usulan kepada menteri, baik oleh gubernur untuk hutan lindung dan produksi serta pengelola kawasan hutan konservasi. Setelah itu, menteri membentuk tim terpadu. Dari hasil penelitian tim terpadu, menteri bisa memutuskan menerima atau menolak perubahan fungsi kawasan hutan itu.

Sanksi administratifpun tak jauh beda, hanya pengaturan lebih ringkas. Dalam Pasal 49, disebutkan, pemegang persetujuan prinsip tukar menukar kawasan hutan yang melanggar ketentuan diberi sanksi administratif berupa peringatan tertulis oleh menteri.

Peringatan tertulis paling banyak tiga kali. Pemegang persetujuan prinsip wajib menindaklanjuti peringatan tertulis dalam waktu 30 hari kerja sejak tanggal peringatan tertulis diberikan. Jika, tak menindaklanjuti peringatan tertulis sesuai ketentuan, menteri membatalkan persetujuan prinsip tukar menukar kawasan hutan atau mencabut keputusan pelepasan kawasan hutan.

PP ini juga mengatur ketentuan peralihan beberapa hal soal tukar menukar dan pelepasan kawasan. Pertama, permohonan tukar menukar kawasan hutan produksi tetap dan hutan produksi terbatas yang belum memperoleh persetujuan prinsip, diproses sesuai PP ini.

Kedua, permohonan pelepasan kawasan hutan yang telah memperoleh persetujuan prinsip, dapat diterbitkan keputusan pelepasan kawasan hutan dengan kewajiban dalam aturan ini. Ketiga, permohonan pelepasan kawasan hutan yang diajukan sebelum PP ini mulai berlaku dan belum memperoleh persetujuan prinsip, wajib mengajukan permohonan kembali sesuai ketentuan ini.

Keempat, permohonan perubahan peruntukan atau fungsi kawasan hutan provinsi, yang belum memperoleh keputusan menteri diproses sesuai PP ini. Kelima, pemegang persetujuan prinsip tukar menukar kawasan hutan untuk pembangunan waduk dan bendungan, diproses melalui izin pinjam pakai. Untuk lahan pengganti tetap wajib diserahkan kepada menteri.

PP Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan 2015

PP Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan 2010

PP Perubahan Peruntukan dan Fungsi Kawasan Hutan 2012

Exit mobile version