Mongabay.co.id

Tandatangani Kesepakatan Paris, Tak Sekadar Komitmen, Indonesia Perlu Kerja Serius

Pada 22 April 2016, Indonesia bersama 171 negara di dunia menandatangani Kesepakatan Paris (Paris Agreement) di Markas Besar PBB, New York, Amerika Serikat. Siti Nurbaya, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, mewakili Presiden Joko Widodo, yang tak bisa hadir karena sedang lawatan ke beberapa negara Eropa.

Perjanjian Paris merupakan kesepakatan global dalam menghadapi perubahan iklim. Komitmen negara-negara terlihat dalam Nationally Determined Contribution (NDC) periode 2020-2030, juga aksi pra-2020. Perjanjian Paris didukung 195 negara, termasuk negara-negara kunci seperti Amerika dan Australia—kala periode pra-2015, absen.

Dalam pidato Siti mengatakan, Indonesia dapat bergabung menjadi salah satu dari 55 negara pertama ratifikasi. Indonesia menyadari, kehutanan dan pemanfaatan lahan adalah sektor paling signifikan dalam pengendalian perubahan iklim. Terutama karena kawasan hutan dengan luas mencapai 65% dari wilayah Indonesia 187 juta km persegi, tempat kaya keragaman hayati.

Indonesia, katanya, melakukan langkah-langkah konsisten dalam pengendalian perubahan iklim. Dia menyebut, Indonesia membentuk Badan Restorasi Gambut pada Januari 2016,. Indonesia melanjutkan kebijakan moratorium perizinan pada hutan primer dan lahan gambut. Presiden Indonesia baru-baru ini telah menyatakan moratorium perizinan sawit dan tambang. Pemerintah daerah, katanya, merespon positif, Gubernur Aceh memberlakukan moratorium sawit dan tambang di Ekosistem Leuser. Gubernur Kalimantan Timur juga moratorium tambang batubara.

Pengemisi besar dunia

Indonesia, salah satu negara pengemisi besar alias urutan enam dunia. Tak mudah bagi Indonesia mewujudkan komitmen penurunan emisi karbon 29% pada 2030, 41% jika ada bantuan luar, seperti tercantum dalam Intended Nationally Determined Contributions  (INDC).  Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, menyebut, Indonesia kaya gambut, lebih 20 juta hektar. Ia mestinya menjadi hikmah, karena gambut penyerap karbon kala tak dirusak.  Faktanya, berkat gambutlah, Indonesia mendongkrak produksi emisi karbon.

Pada kebakaran hutan dan lahan selama 2015 saja, meludeskan 2,6 juta hektar lebih melepas emisi karbon sangat besar. Data KLHK, pelepasan emisi karbon mencapai 1,1 Gigatton Co2 eq. Dari above ground biomass (AGB) sebesar 266.619.491 t CO2-eq dan emisi gambut 855.835.856 t CO2-eq. Belum dari sektor lain.

Analisis baru dari World Resources Institute (WRI) menunjukkan, total emisi tahunan Indonesia bisa menanjak lebih tinggi karena emisi tak terhitung dari lahan gambut kering. Gambut di Indonesia, sangat kaya karbon, hingga pengeringan hanya satu hektar gambut (membuka jalan bagi perkebunan sawit atau ekspansi perkebunan lain) dapat mengeluarkan CO2 setara membakar 6.000 galon bensin.

Data WRI yang tersedia di platform Global Forest Watch Iklim menunjukkan, terdapat 5.2 juta hektar lahan gambut telah dikeringkan di Indonesia dan Malaysia, hingga mengemisi 263 megaton (Mt) CO2 per tahun, setara emisi dari 70 pabrik batubara.

Sumber: Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan

Paris Agreement Tracker
Perjanjian Paris berlaku bila diratifikasi 55 negara yang menyumbangkan setidaknya 55% emisi gas rumah kaca. Diharapkan batas ini terpenuhi dalam waktu tak terlalu lama, melihat partisipasi dalam upacara penandatanganan perjanjian tinggi. Sebanyak 171 negara menandatangani, dan 13 negara, terutama negara berkembang kepulauan kecil mendepositkan instrumen ratifikasi. Negara-negara tingkat emisi tinggi seperti Amerika Serikat, Tiongkok, Uni Eropa, Rusia, Jepang, dan India juga tanda tangan.

Bagaimana memantau kemajuan negara-negara dalam meratifikasi Perjanjian Paris? WRI baru-baru ini meluncurkan Paris Agreement Tracker. Ia sebuah platform interaktif yang memungkinkan untuk memantau kemajuan negara-negara dalam meratifikasi Perjanjian Paris.

Dengan tools ini, juga bisa mengatur kombinasi sendiri tentang negara mana yang dapat segera membuat Perjanjian Paris berlaku. Seperti Indonesia, berkontribusi pada 1.49% emisi global hingga perlu paling sedikit 55% emisi agar Perjanjian Paris berlaku.

Perlu upaya serius dan aksi nyata

Fabby Tumiwa, Direktur Eksekutif dari Institute for Essential Service Reform (IESR) mengatakan, dengan mengadopsi Paris Agreement, Indonesia memposisikan diri sebagai bagian gerakan global mengatasi perubahan iklim. “Ini berarti transformasi pembangunan rendah karbon di Indonesia harus berlangsung cepat dan masif, harus tercermin dalam rencana dan implementasi pembangunan Indonesia mulai saat ini,” katanya, dalam rilis kepada media.

Salah satu butir kesepakatan Paris Agreement, membatasi kenaikan temperatur global di bawah dua derajat dan berusaha mencapai 1,5 derajat. Sejumlah kajian ilmiah menunjukkan mencapai target ini, emisi global harus mencapai puncak sebelum 2030, lalu turun dan mencapai situasi karbon netral setelah 2050.

“Artinya setelah 2050, emisi gas rumah kaca dikeluarkan dan diserap haruslah nol. Adopsi Paris Agreement langkah awal penting untuk transformasi pembangunan Indonesia berkelanjutan dan berkeadilan. Ini perlu komitmen nyata dan konsistensi pemerintah,” katanya.

Bagi Indonesia—negara peringkat 10 besar pengemisi dunia, katanya, perlu upaya ambisius menurunkan emisi bersama dengan negara-negara lain. Analisis IESR menunjukkan, guna mendukung target Paris Agreement, komitmen INDC Indonesia sesungguhnya masih belum memadai. Setidaknya, emisi gas rumah kaca (GRK) harus turun 30-35% lebih banyak dari yang sudah dijanjikan dalam INDC.

Emisi sektor lahan dan hutan serta energi (transportasi dan pembangkit listrik) merupakan penyumbang utama emisi GRK Indonesia sekarang hingga 2030. Dalam INDC, kata Fabby, kontribusi penurunan terbesar oleh aksi mitigasi sektor lahan. Jika Indonesia ingin lebih ambisius, katanya, emisi sektor energi dari pembangkit listrik dan transportasi perlu turun lebih dalam.

Emisi sektor energi harus turun 40%-45% dari skenario business as usual (BAU) sektor energi INDC atau setara dengan 0.6 GtCO2e pada 2030. Untuk mencapai ini, katanya, bauran energi terbarukan harus lebih 30% dan separuh kapasitas pembangkit listrik teknologi energi terbarukan pada 2030. “Target konservasi dan efisiensi energi harus di Kebijakan Energi Nasional harus tercapai, bahkan dilipatgandakan,” ucap Fabby.

Menurut dia, untuk menghasilkan penurunan emisi ambisius, perlu mengoptimalkan peran aktor-aktor non-pemerintah, seperti bisnis, organisasi masyarakat sipil, pemerintah daerah, dan komunitas. Pemerintah, katanya, tak dapat bekerja sendiri aksi mitigasi ambisius dengan mengandalkan proyek-proyek pemerintah.

“Keterlibatan aktor non-negara sesuatu yang tak dapat ditawar jika ingin mencegah kenaikan temperatur di bawah 2°C.”

Dia mengingatkan, agar pemerintah mulai mengidentifikasi potensi penurunan emisi aktor- aktor non-pemerintah dan mencari cara mengintegrasikan dalam komitmen Nationally Determined Contribution (NDC). Juga meminta pemerintah mulai merancang mekanisme monitoring, pelaporan dan verifikasi (MRV) untuk aktivitas mitigasi aktor-aktor non-pemerintah yang akan masuk komitmen NDC.

Siti Nurbaya, Menteri LHK, mewakili Presiden Joko Widodo, menandatangani Paris Agreement di New York, Amerika Serikat, Jumat (22/4/16). Foto: Humas KLHK

Peran penting masyarakat adat

Sebelum penandatanganan, Kamis (21/4/16), di New York, AMAN beserta perwakilan masyarakat adat dari berbagai negara, aktivis perubahan iklim dan peneliti mengadakan pertemuan membahas mengenai peran penting hutan hujan tropis dan masyarakat adat yang melindungi dalam penanganan perubahan iklim.

Dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Mina Setra, mengatakan, wilayah adat di Indonesia mengandung 20.1% karbon hutan tropis dunia. “Ini menunjukkan wilayah adat berperan besar dalam melestarikan hutan dan masyarakat adat memiliki potensi besar mengatasi perubahan iklim,” katanya, dalam rilis.

Dia mengatakan, hutan bagi masyarakat adat bukan hanya tempat tinggal juga sumber penghasilan dan identitas masyarakat . Sayangnya, hampir 80% negara terlibat dalam Perjanjian Iklim Paris tak menyebutkan masyarakat adat dalam INDC sebagai upaya mitigasi perubahan iklim. “Mengatasi perubahan iklim, tak ada lebih berharga selain melindungi masyarakat yang menjaga hutan.”

Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki komitmen khusus terhadap penanganan perubahan iklim. AMAN mendorong, kata Mina, pemerintah Indonesia mengimplementasikan Perjanjian Paris ini dengan memasukkan hak-hak masyarakat adat dalam dokumen kontribusi secara nasional NDC. AMAN mendesak, pemerintah mengeluarkan kebijakan-kebijakan terkait perlindungan dan pengakuan masyarakat.

Tantangan Indonesia
Dalam rangkaian penandatanganan perjanjian Iklim Paris, Utusan Khusus Presiden untuk Pengendalian Perubahan Iklim, Rachmat Witoelar memberikan kuliah umum di Universitas Columbia, New York, Amerika Serikat.

Rachmat menyampaikan soal tantangan para pembuat keputusan dan pejabat pemerintahan di Indonesia, dalam melaksanakan Kesepakatan Paris. Langkah pengendalian perubahan iklim, pembuat kebijakan dan pejabat di Indonesia, menghadapi beberapa tantangan antara lain, pertama, banyak sektor dalam pemerintahan, misal, pertanian, keuangan, transportasi, energi, dan kehutanan.

Kedua, tingkat pemerintahan berbeda, nasional, subnasional, lokal, sampai pedesaan. Ketiga, lapisan pemangku dari bisnis, peneliti, akademisi, lembaga swadaya masyarakat juga masyarakat. Keempat, isu perubahan iklim kompleks, misal, dinamika populasi, penyebaran penyakit, isu keadilan iklim, dan lain-lain.

Dalam pelaksanaan Kesepakatan Paris, Indonesia menghadapi berbagai tantangan. Dia mengusulkan ada beberapa langkah bisa diambil Indonesia, antara lain, meningkatkan kesadaran dan kepedulian untuk bertindak; masyarakat Indonesia perlu menyadari bahaya dampak perubahan iklim. Juga penting melakukan berbagai program massal mendukung solusi atau aksi pengendalian perubahan iklim tingkat lokal. Lalu, mendorong pembuat kebijakan dan pemerintah menjalankan komitmen kala konferensi global perubahan iklim, terutama implementasi komitmen kontribusi nasional.

Exit mobile version