Mongabay.co.id

Angin Surga Beralih ke Energi Terbarukan Kala Pengembangan Masih Bertumpu Batubara

Pemerintah mulai gencar menyebut-nyebut Indonesia memasuki proses peralihan energi fosil ke terbarukan demi menurunkan pelepasan emisi karbon. Target  pemenuhan energi terbarukan sampai 2025, sebesar 23%. Seakan ingin menguatkan niatan, Presiden Joko Widodo pun berencana menghentikan sementara (moratorium) izin batubara. Batubara, merupakan salah satu sumber energi fosil andalan negeri ini.

Niatan baik itu kontras dengan rencana pembangunan pembangkit listrik pemerintah. Alih-alih menutup pembangkit listrik bersumber batubara, program pemerintah malah membangun lebih banyak lagi pembangkit energi kotor ini. Lewat proyek pembangkit listrik 35.000 megawatt, sekitar 60% lebih masih bergantung dari batubara. Belum lagi ditambah pembangkit listrik 10.000 megawatt program Fask Track I dan II era pemerintahan lalu yang sempat mangkrak dan lanjut kembali setelah ada Peraturan Presiden Nomor 4 Tahun 2016 tentang Percepatan Pembangunan Infrastruktur Ketenagalistrikan.

Longgena Ginting, Kepala Greenpeace di Indonesia mengingatkan, pemerintah harus serius beralih dari energi kotor ke terbarukan.  “Penting bicara peralihan energi kotor ke terbarukan. Karena ini bicara soal atmosfir, air, udara terancam. Sangat rentan,” katanya di Jakarta, dalam konferensi pers Koalisi Break Free bersama Jatam dan Walhi, Senin (9/5/16).

Dampak yang ditimbulkan batubara, antara kondisi saat ini dan perkiraan masa depan kala pembangkit batubara proyek 35.000 mW terealisasi. Sumber: Greenpeace

Dalam kondisi krisis ekologi seperti ini, katanya, sudah tak banyak kemewahan waktu berlama-lama mengotori bumi dengan emisi karbon, salah satu dari batubara. Untuk itu, emisi karbon harus segera diturunkan, secepat dan seambisius mungkin.

Hendrik Siregar, Koordinator Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) menilai, kala kebijakan energi nasional yang masih bertumpu kepada batubara seperti itu, akan sulit beralih ke terbarukan. Jadi niatan-niatan energi terbarukan, termasuk kebijakan moratorium izin tambang, bisa jadi hanya angin surga.

“Karena dalam kebijakan energi nasional, ketergantungan fosil tinggi. Walaupun dialihkan dalam kontek campuran tetap aja fosil, batubara dan gas, tetap ada fosil,” katanya.

Dia melihat ketidaksinkronan antara kebijakan dengan pernyataan (komitmen). “Ironis, target penurunan emisi 29% pada 2030. Jadi gak nyambung dan tak relevan, ketika proyek-proyek berbasis fosil, bongkar hutan dan industri basis lahan masih andalan,” ujar dia.

Hendrik mencontohkan, tahun lalu Wakil Presiden Jusuf Kalla, pernah menyatakan, batubara itu kotor tetapi murah. “Ini pernyataan melawan logika. Murah jadi pertimbangan tapi tak peduli persoalan itu timbulkan petaka atau tidak,” katanya.

Sumber: Greenpeace

Era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, Wapres JK, ada pembangunan pembangkit listrik dikenal dengan program Fast Track I dan II. Kala jadi Wapres era Jokowi, ada proyek pembangkit listrik lebih besar dengan dominan sumber batubara.

“Jadi ini lebih kepada kepentingan siapa yang berbicara ketika ada keperluan listrik. Siapa yang punya kepentingan besar terhadap proyek-proyek batubara ini?”

Selain itu, katanya, ada ancaman impor mengintai kala proyek pembangkit batubara ini berjalan. Dengan keperluan sekitar 70 ton batubara per tahun, dia tak yakin, cadangan batubara Indonesia—dari perkiraan tersisa hampir 31 miliar ton—bisa bertahan dalam 30 tahun (masa hidup satu pembangkit batubara). Artinya, kata Hendrik, kala pembangunan pembangkit energi batubara dipaksakan, cadangan batubara dalam negeri habis, pembangkit masih aktif, maka akan impor.

“Walaupun potensi sampai misal 100 tahun tetapi ada percepatan penggunaan lewat PLTU, maka akan ada percepatan eskploitasi. Akan ada pembukaan lahan baru.”

Pemerintah, katanya,  seakan tak memikirkan jangka panjang kala membuat program ini. “Hanya pikirkan jangka pendek sekali, ya target pemerintah penuhi rasio elektrifikasi. Itu yang dikejar.”  Belum lagi dalam pendistribusian rasio elektrifikasi, katanya, lagi-lagi dominasi Pulau Jawa. “Sekitar 20.000  MW dibangun di Jawa. Dalam konteks keadilan, tak terwujud. Ini sebenarnya jauh dari konteks memenuhi kebutuhan energi nasional,” ujar dia.

Program pembangunan pembangkit batubara ini seakan menjadi napas baru bagi pebisnis batubara yang belakangan tertekan dengan anjloknya harga di pasaran. Belakangan ini, banyak perusahaan menunda produksi. Keadaan sulit ini, katanya, kemungkinan jadi peluang bagi perusahaan besar buat mengakuisisi pebisnis kecil.

“Kalau dilihat dalam relasi ini, tak ada kontek pemenuhan kelistrikan nasional. Tapi bagaimana menjaga, penyelamatan kepentingan produksi perusahaan-perusahaan itu. Proyek 35.000 MW ini angin surga menyelamatkan mereka,” katanya.

Sumber: PT PLN

Hendrik juga melihat perbedaan antara kebijakan energi nasional (KEN) dan target pemerintah. KEN menyebutkan, elektrifikasi sampai 95% pada 2025, sedang target pemerintah 2019. “Jangan sampai ini hanya lips service seakan-akan serius kejar target padahal kepentingan di belakangnya yang lebih kuat,  kepentingan pebisnis batubara.”

Dampak terabaikan

Penggunaan batubara memunculkan banyak masalah, dari kerusakan lingkungan, sosial, ekonomi sampai mengancam keselamatan manusia. Sayangnya, beragam dampak buruk ini kurang jadi pertimbangan pemerintah hingga batubara terus menjadi pilihan.

Khalisah Khalid dari Walhi Nasional mengatakan, energi kotor tak hanya merusak lingkungan juga memberikan dampak sosial dan ekonomi. Selama ini, dua situasi tak pas selalu disandingkan: kalau lepaskan diri dari batubara akan menghambat pembangunan ekonomi. Jargon-jargon palsu ini dibuat agar posisi batubara tak terganggu.

Padahal, katanya, kondisi terjadi sebaliknya, kala terjebak dalam batubara maka beragam kerugian di depan mata, dari sisi lingkungan, keselamatan manusia sampai aspek ekonomi.

Pemerintah, hanya melihat batubara dari sisi hitungan-hitungan produksi, tanpa pernah membaca kerugian ekonomi. Dia mencontohkan, bencana ekologi seperti banjir di Samarinda, Kalimantan Timur—kota sentra produksi batubara di Indonesia. Belum lagi, korban 24 anak tewas di lubang tambang batubara, pencemaran udara dan air dan banyak lagi.

Negara, katanya,  tak melihat kerugian ekonomi besar karena biaya lingkungan dibebankan ke warga negara. “Itu bukti semrawut masif industri batubara. Masa depan anak-anak terancam industri kotor. Tak dianggap nilai yang diperhitungkan pemerintah. Biaya lingkungan juga tak dhitung karena dialihkan ke warga negara. Yang dihitung ekonomi saja, hingga timbulkan ketidakadilan,” katanya seraya menambahkan, pertambangan batubara juga sarat korupsi.

Dia meminta, komitmen dalam konferensi iklim (COP-21) Paris, bukan hanya pencitraan politik internasional. “Yang terpenting, melihat kepentingan penyelamatan bangsa dan generasi mendatang. Indonesia mesti cepat keluar dari jebakan industri kotor batubara.”

Sumber: PT PLN

Bisakah bertumpu energi terbarukan?

Tak bisa dipungkiri Indonesia dalam krisis listrik tetapi bukan berarti harus terus bertumpu sumber dari energi fosil. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral menyatakan, Indonesia memiliki sumber energi terbarukan begitu besar seperti mini (micro) hydro sebesar 450 MW, niomass 50 Giga Watt, energi surya 4,80 kWh per meter persegi per hari, energi angin 3-6 m per detik.  Jadi, peluang Indonesia lepas dari energi fosil itu besar. “Penting bagaimana desak pemerintah dan ubah kebijakan energi nasional jadi energi terbarukan,” ucap Hendrik.

Menurut dia, peralihan energi fosil ke terbarukan, memang tak bisa sekaligus, harus bertahap karena instalasi sudah didominasi fosil. Apalagi, katanya, Indonesia, sedang menghadapi krisis listrik sedemikian parah. Terpenting, katanya, pemerintah punya kebijakan jelas, misal, mulai tahun berapa harus mematikan (shut down) pembangkit batubara.

“Bertahap. Kan memang tak mungkin ekstrim.  Kebijakan itu yang kita dorong kuat agar pemerintah punya komitmen buat akhiri.  Bahwa nanti rencana shut down, lima tahun atau 10 tahun kemudian, itu seharusnya ada dalam road map.”

Dia mencontohkan, Amerika Serikat yang akan menutup 200 PLTU mereka dalam beberapa tahun mendatang. “Kita lihat, Amerika Serikat pun tak tahun ini, tapi mereka sudah nyatakan mau tutup. Atau Portugal, jelas, pada 2030 mereka sudah zero coal.  Itu yang semestinya ada (di Indonesia).”

Perkiraan cadangan tersisa dengan asumsi produksi naik 1% per tahun, cadangan tetap 31,36 miliar ton. Sumber: KESDM

Dalam kebijakan energi nasional, katanya, belum ada kejelasan kapan Indonesia bakal lepas dari batubara. “Di kebijakan itu, tahun sekian batubara, tahun sekian mix batubara gas, tahun sekian tinggal sekian. Yang kita harapkan, kalo bicara peralihan, punya road map, tahun sekalian gak energi fosil lagi. Ini tak ada.”

Hendrik mengingatkan, dalam pengembangan energi terbarukanpun tak perlu memaksakan pengembangan energi yang tak sesuai karakter wilayah, misal, Sumba, Nusa Tenggara Barat (NTT), banyak padang savana didorong energi angin dan lain-lain.

Perubahan moral

Din Syamsuddin, Ketua Komite Pengarah Indonesia Bergerak Selamatkan Bumi (Siaga Bumi) mengatakan, Indonesia perlu ada paradigma perubahan moral dengan mengubah pandangan pembangunan  nasional berorientasi berkelanjutan bermakna dan memanusiakan manusia. “Toh pembangunan untuk manusia dan seluruh manusia, bukan buat segelintir orang. Apa guna pertumbuhan ekonomi tinggi dan eksploitasi alam serta timbulkan kerugian sosial dan ekonomi. Eksploitasi tak orientasi pembangunan kelanjutan sisakan kerusakan bagi generasi penerus,” ucap Din.

Untuk itu, katanya, kekerasan negara– (negara abai, tak peduli manusia, warga negara sendiri)—jangan merajalela, terutama lewat kebijakan yang tak mendukung manusia dan lingkungan hidup. Kondisi makin parah, kala kekerasan negara terjadi ditimpali kekerasan perusahaan. Apalagi kalau ada persengkongkolan antara kekerasan perusahaan dan negara yang akan berujung kerusakan hebat. “Perlu perlurusan arah pembangunan nasional dengan kebijakan ramah lingkungan, dan ramah manusia. Baik lewat UU atau produk hukum dan kebijakan lain di bawah, sampai peraturan-peraturan daerah.”

Koalisi Break Free, berturut-turut dari kiri ke kanan, Mike Marginal, Ray Rangkuti, Din Syansuddin, Longgena Gintung, Khalisah Khalid, Hendrik Siregar, Melanie Subono dan Hindun Mulaika. Foto: Sapariah Saturi

Gerakan bebas batubara

Gerakan Break Free inisiasi oleh Walhi, Jatam, dan Greenpeace merupakan gerakan lepas dari batubara. Ia kampanye global di enam benua seluruh dunia. Break Free sebuah tuntutan komitmen para pemimpin dunia di konferensi iklim untuk memerangi perubahan iklim dengan meninggalkan batubara dan memanfaatkan energi terbarukan. Di Bunderan HI Jakarta, pada 11 Mei 2016, Koalisi Break Free mengajak siapa saja yang ingin mendukung gerakan ini untuk hadir.

Dengan aksi ini, kata Hendrik, berharap bisa mengajak masyarakat istirahat menggunakan energi fosil dan bisa mengubah kebijakan nasional. “Kebijakan jangan asal kepentingan dan statistik semata.” 

Badan Energi Internasional (IEA) menyatakan, bahan bakar batubara menyumbang 44% dari total emisi CO2 global. Laporan Greenpeace soal dampak buruk batubara menyebutkan, energi fosil ini sumber terbesar emisi gas gas rumah kaca (green house gas), yang memicu perubahan iklim. Batubara dari pembakaran PLTU memancarkan polutan seperti NOx dan SO3, kontributor utama dalam pembentukan hujan asam dan polusi PM2 (berbahaya bagi kesehatan). PLTU batubara juga memancarkan bahan kimia berbahaya dan mematikan seperti merkuri dan arsen. 

“Guna membatasi pemanasan global di bawah dua derajat, perlu segera setop energi fosil. Koalisi ingin dorong itu jadi gerakan sosial, peralihan energi kotor ke terbarukan,” kata Longgena.

Mike, dari Marginal Band juga mendukung gerakan lepas batubara ini. Jangan sampai, katanya, kehidupan generasi muda terancam dampak bersandar pada penggunaan batubara.

Dukungan juga datang dari aktivis lingkungan dan penyanyi Melanie Subono. Dia ngeri dengan beragam kebijakan pemerintah seakan jarang memikirkan rakyat. “Saya sampai percaya, pemerintah punya program pengurangan warga negara. Mulai dari semen sampai batubara. Jarang manusia jadi bahan pertimbangan untuk dipikirkan.”

Ray Rangkuti, aktivis sosial juga mendesak pemerintah segera lepas dari energi kotor. Dia menilai, pemerintah saat ini belum ada perubahan paradigma pembangunan karena masih bertumpu pada sumber daya alam.

“Kita masih pada segmen, di mana sumber daya alam sebagai alat buat hidup. Saat dunia mulai meninggalkan sektor ini, bicara buat penuhi sumber-sumber energi baru. Rezim ini belum kelihatan berangkat ke sana,” katanya. Dia meniai, kesulitan bergerak meninggalkan energi fosil, seperti batubara, karena terkait program 35.000 MW.

Sebenarnya, bersungguh-sungguhkah pemerintah ingin beralih ke energi terbarukan?

Kolam tambang batubara di Samarinda, yang merenggut nyawa salah satu anak. Foto: Jatam Kaltim
Sumber: KESDM
Exit mobile version