Mongabay.co.id

Menanti Moratorium Sawit, Berikut Alasan Mengapa Kebijakan Ini Urgen

”Moratorium itu tak boleh minta konsesi lagi. Tak ada lagi yang dibuka untuk menanam sawit, tambang juga sama.” “Jika dikerjakan dengan benar, produksi sawit dengan lahan sekarang pasti bisa meningkat, produksi bisa lebih dua kali.”

Begitu ungkapan Presiden Joko Widodo, pada Kamis (14/4/16), kala pencanangan Gerakan Nasional Penyelamatan Satwa dan Tumbuhan Liar di Pulau Karya, Kepulauan Seribu.

Empat bulan berlalu sudah Presiden mengungkapkan niat baik membenahi tata kelola sawit dan tambang. Rencana ini disambut Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, dengan mengevaluasi beberapa tahap perizinan sawit, dari usulan pelepasan kawasan hutan sampai izin-izin lama, termasuk perusahaan yang sudah mendapatkan konsesi tetapi belum dikelola (land banking).

“Presiden mau buat kebijakan, kami siapkan data-data. Kami lakukan evaluasi ini,” kata Dirjen Planologi dan Tata Lingkungan, KLHK, San Avri Awang, belum lama ini.

Bagi KLHK, evaluasi menyeluruh dan tuntas terhadap izin-izin perkebunan sawit sangat penting guna mewujudkan perbaikan tata kelola seperti keinginan Presiden.

“Kita mendahulukan sawit. Tinggal norma dibikin PP (Peraturan Presiden-red). Juli semoga kelar, secepatnya,” kata Siti Nurbaya Bakar, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, pekan awal Juli.

Kerja-kerja evaluasi KLHK yang ingin memperbaiki tata kelola sawit di negeri ini, tampak tak berjalan mulus, resistensi malah datang dari Kementerian Pertanian dan Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian. Mereka tak setuju land banking masuk bagian evaluasi.

”Kami evaluasi, sedang proses. Yang sudah diberikan konsesi atau pelepasan tetap jalan, tak masuk land banking,” kata Musdhalifah Machmud, Deputi Menteri Koordinator Perekonomian Bidang Pangan dan Pertanian, di Jakarta, dua pekan lalu.

Tak hanya tarik menarik internal pemerintahan, proses penyusunan aturan ini pun terkesan tertutup, tak melibatkan  kalangan masyarakat sipil.

“Presiden bilang sejak April, sampai sekarang, kami, masyarakat sipil, tak tahu perkembangan seperti apa. Proses tak terbuka, tak ada masukan masyarakat sipil,” kata Anggalia Putri, aktivis lingkungan dari Koalisi Masyarakat Sipil untuk Penyelamatan Hutan Indonesia dan Iklim Global, kala temu media di Jakarta, akhir pekan lalu.

Pembuatan kebijakan seperti ini, katanya, pertanda tata kelola buruk.

Tata kelola buruk sawit, kala ditanam di lahan gambut dengan membakar. Foto: Sapariah Saturi

Bagaimana seharusnya kebijakan moratorium sawit?

“Dalam moratorium sawit ini, mesti ada sistem terpadu, termasuk soal penolakan izin-izin izjn sawit di kawasan hutan dan lain-lain. Jadi publik  bisa ikut memonitor,” kata Anggi, sapaan akrab Anggalia.

Zenzi Suhadi,Kepala Devisi Kajian, Kebijakan, dan Pembelaan Hukum Eknas Walhi pun punya beberapa catatan penting menyangkut kebijakan ini.

Dia mengatakan, pada 2011, pemerintahan era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, juga membuat kebijakan moratorium  izin baru di hutan primer dan lahan gambut.

Kebijakan ini, sudah dua kali perpanjangan. Namun, katanya, dalam penerapan moratorium banyak celah dan kelemahan. Terbukti, ada moratorium tetapi laju deforestasi tetap tinggi.

“Artinya, penerbitan izin tetap keluar baik pusat atau daerah. Walhi mencatat, selama masa moratorium, 2011-2015, keluar izin 7,8 juta hektar di hutan Indonesia,” katanya.

Temuan lain, katanya, kekuatan moratorium dalam mengawasi perilaku perusahaan lemah hingga izin-izin banyak terbit di kawasan yang seharusnya terlindungi kebijakan ini.

“Kalau  izin terbit, bukan izin yang batal tapi kawasan malah dikeluarkan dari moratorium.”

Dengan pengalaman lalu, kata Zendi, kala ingin membuat kebijakan serupa, seperti moratorium sawit,  maka penghentian sementara harus bermakna mempertahankan tutupan hutan.

Untuk itu, dalam mempersiapkan moratorium sawit, katanya, ada hal perlu tekanan kepada KLHK, seperti moratorium bersifat jedah tebang. “Meski sudah ada izin, kala moratorium, gak boleh naik ke produksi. Selama ini, kelemahan moratorium, kalau ada izin prinsip, keluar dari moratorium,” ujar dia.

Zenzi menilai, KLHK cukup progresif dalam kaitan moratorium ini karena berencana mengevaluasi perizinan sawit menyeluruh. “Pemerintah mulai temukan sendi-sendi korporasi akali kebijakan di Indonesia. Contoh, mekanisme pelepasan kawasan hutan baik parsial maupun akumulatif. Ini jadi target masuk moratorium.”

Koalisi, katanya, mendorong rumusan moratorium baru, betul-betul dapat menghentikan proses ekspansi perkebunan sawit.

Saat ini, katanya, pengajuan pelepasan kawasan hutan perusahaan bergerak ke timur.

Dengan moratorium ini, kata Zenzi, semestinya, proses kerusakan tak masuk wilayah baru.

Dia mencontohkan, di pulau-pulau kecil seperti Gane, Bacan, Maluku Utara, malah keluar izin belasan ribu hektar kebun sawit milik PT Korindo.

“Ketika pulau kecil jadi sawit, sumber air masyarakat dari mana lagi? Tak bisa terjawab oleh pemerintah di Jakarta. Perilaku perusahaan di pulau-pulau kecil, wilayah land clearing, buat bunuh pertanian dan perkebunan masyarakat di hilir. Sumber air hilang.”

“Moratorium harus total. Kalau tidak, bisa dipastikan lima tahun ke depan, timur akan krisis air dan pangan. Ada rawa dan pulau kecil, pangan dan air itu vital.”

Sebagian konsesi lahan PT PEAK masuk dalam kawasan moratorium hutan.

Dia heran, kala masalah yang ditimbulkan sawit di lahan gambut belum usai, izin sawit sudah diberikan di wilayah rentan lain. “Kerusakan eksositem gambut sudah kelabakan. Malah ke timur, kawasan rawa, pulau kecil dan karst.”

Poin lain, katanya, moratorium itu bukan hanya berhenti tanpa ada hal positif diterima pemerintah, swasta dan masyarakat.  Artinya, ucap Zenzi, masa moratorium diisi pemerintah, misal mengembalikan daya dukung dan daya tampung lingkungan. Jadi, ketika moratorium berakhir, bisa menilai kemampuan lingkungan.  “Kalau mau eksploitasi seberapa boleh?”

Meskipun, kalau dari organisasi masyarakat sipil, katanya, eksploitasi tak boleh lagi. “Bagusnya, penghentian total pada penerbitan izin.”

Kebun sawit sudah 15 juta hektar lebih

Maryo Saputra Sanuddin, Devisi Kampanye Sawit Watch ikut bicara. Bagi Sawit Watch, saat ini momentum baik buat memoratorium sawit karena kebun tanaman ini sudah begitu luas dengan beragam masalah turutan dari  kerusakan lingkungan sampai konflik sosial.

Data Sawit Watch menyebutkan, per 2015, luas kebun sawit di Indonesia sudah mencapai 15, 9 juta hektar.

“Ini akan terus bertambah tiap tahun, tren sekitar 500.000 hektar tiap tahun. Perusahaan besar bergerak ke timur Indonesia, seperti Sulawesi, Papua dan pulau kecil di Maluku,” katanya.

Sawit Watch melihat, dengan moratorium, pemerintah jangan hanya mengeluarkan kebijakan tanpa kekuatan apa-apa. Dia mengacu moratorium yang masih berlangsung.

“Fakta di lapangan luasan hutan makin kurang. Moratorium baru, jangan sekadar komitmen tetapi riil di lapangan.”

Dengan moratorium sawit ini, semestinya, menjadi momen pemerintah buat mengevaluasi dan mengaudit perusahaan-perusahaan di Indonesia termasuk, 229 perusahaan ‘investasi keterlanjuran’ yang mengajukan alih fungsi kawasan hutan. Dia meminta pemerintah tegas menindak para pelanggar.

Zenzi juga tak setuju kalau pemerintah memaklumi investasi keterlanjuran. “Sama saja membiarkan kejahatan lebih panjang dari periode pemerintahan.”

Kalau perusahaan ‘investasi keterlanjuran’ diberi ruang pengampunan, katanya, bagaimana tanggung jawab terhadap kerusakan lingkungan.

“Kalau dibiarkan, pengusaha dalam kawasan hutan berarti tak ada pemulihan. Buat apa hukum dibuat, kalau gak ada konsekuensi terhadap pelanggaran,” ujar dia.

 

 

Perbaiki tata kelola sekaligus produktivitas sawit

Mansuetus Darto, Ketua Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) menyoroti soal produktivitas kebun sawit di Indonesia, yang rendah. Dengan ada moratorium sawit, katanya, menjadi momentum pemerintah membenahi tata kelola hingga produktivitas kebun sawit meningkat.

Dia mengatakan, sebenarnya, Kementerian Pertanian, punya panduan produktivitas kebun sawit di Indonesia, sejak enam tahun lalu, yakni, 36 ton per hektar per tahun dengan perbandingan 25% rendemen sawit (perbandingan jumlah antara minyak sawit kasar yang diproduksi dalam setiap kilogram tandan buah segar).

Fakta di Indonesia, katanya, pada level para pihak baik perusahaan negara, swasta dan petani sawit, produktivitas jauh lebih rendah. Perusahaan baik negara maupun swasta, produksi tak sampai 36 ton, hanya antara 19-24 ton per hektar per tahun.

Sedang petani, lahan sawit yang ada, produksi antara 12-14 ton per hektar per tahun. “Ada kesenjangan sangat besar dari acuan.”

Sektor swasta, katanya, paling tidak harus bisa menggenjot produktivitas per tahun 10 ton dari yang sudah ada. Terlebih petani, perlu tingkatkan produktivitas dan rendeman. “Rendeman petani tak sampai 25%, hanya 20-21%, kualitas buruk,” ucap Darto.

Peningkatan produktivitas, katanya, harus dikejar dan moratorium bisa menjadi jalan. “Saya lihat moratorium, bagi perusahaan bisa fokus peningkatan kerja, tanpa ekspansi. Tanpa ekspansi, tetap ada pendapatan dengan tingkatkan produktivitas.”

Sedang petani, katanya, harus dibantu dalam meningkatkan produktivitas. “Kalau produktivitas rendah pasti income rendah,” ujar dia.

Darto juga ingin membantah pendapat-pendapat yang berseliweran termasuk surat Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit (GAPKI) kepada Presiden yang menyatakan, kalau moratorium bisa mengganggu pertumbuhan ekonomi dan menyengsarakan petani.

SPKS, katanya, mengkaji, bahwa pembenahan tata kelola persawitan bakal membawa perbaikan bagi pertumbuhan ekonomi termasuk petani.

“Kami lihat, kalau ekspansi terus, ini nasib petani soal produktivitas bagaimana? Kebijakan amburadul kapan dibereskan?”

Belum lagi, katanya,  koordinasi antar kementerian/lembaga pemerintah masih lemah.

SPKS menilai, ekspansi bukan malah memberikan kontribusi dan nilai ekonomis bagi masyarakat, malah bikin sawit Indonesia makin buram. Posisi tawar, kata Darto, makin rendah kala ekspansi dengan tebang hutan, maupun di lahan gambut atau melanggar hak-hak masyarakat.

Apalagi, katanya, di negara-negara seperti Amerika Latin dan Asia juga mengembangkan sawit. “Kalau kita tak berkelanjutan, itu tak memperkuat sawit Indonesia.”

Sawit Indonesia, katanya, kalau mau kuat, hentikan ekspansi, dan benahi yang ada. “Perbaiki tata kelola. Ini akan lebih dihargai. Kalau kita bikin banyak kesalahan maka akan banyak yang gak mau beli.” (Kontribusi informasi: Lusia Arumingtyas)

Print
Exit mobile version