Mongabay.co.id

Sungai dan Lahan Warga Barito Timur Tercemar Limbah Tambang Batubara, Respon Pemda Mengecewakan

Kala berbagai upaya penyelesaian tak berhasil baik, Alfrid, berusaha mendapatkan berbagai dokumen perusahaan. Sayangnya, tak mendapat tanggapan positif instansi pemerintah Bartim. Akhirnya, dia mengajukan gugatan melakui KIP Kalteng.

Lahan pertanian Alfrid sekitar dua hektar rusak parah. Warga Desa Danau, Kecamatan Awang, Barito Timur, Kalimantan Tengah ini menduga kerusakan lahan karena tercemar limbah perusahaan batubara, PT Bangun Nusantara Jaya Makmur (BNJM) dan PT Wings Sejati. Dia berusaha mencari keadilan. Alfrid melapor ke Badan Lingkungan Hidup Daerah (BLHD), Dinas Pertambangan dan Energi (Distamben), DPRD hingga Bupati Barito Timur. Sayangnya, hingga kini tak ada penyelesaian berarti.

Diapun ingin memastikan izin usaha, Analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal), sampai izin pembuangan limbah cair, perusahaan-perusahaan ini. Bukan urusan mudah mendapatkan berbagai dokumen itu, akhirnya dia memilih mengajukan sengketa informasi ke Komisi Informasi Publik (KIP) Kalteng.

“Ladang saya jarak hanya 100 meter dari Sungai Benuang. Di sungai itu limbah datang dari perusahaan menuju DAS Paku. Limbah langsung ke ladang saya. Akibatnya, 2015-2016, saya gagal panen karena limbah Wings Sejati dan BNJM,“ katanya di Palangkaraya, Minggu (25/9/16).

Dia mengatakan, ladang rusak parah karena tertimbun lumpur kental menyerupai semen. Sebelumnya, lahan itu buat menanam padi, sayur-mayur, buah-buahan dan karet. Pada Juni lalu, dia sudah menghubungi perusahaan tetapi pengamanan ketat kepolisian dan TNI di lokasi pertambangan.

“Saya tak bisa masuk ke camp induk karena dicegah sama TNI, tak boleh masuk. Saya terpaksa pulang,” katanya.

Setelah sampai di rumah, dia berdiskusi dengan keponakan, Boy, kebetulan aktivis dari Indonesian Centre for Environmental Law (ICEL). “Boy menyarankan kalau bisa buat pengaduan. Saya buat pengaduan mulai 30 Mei 2016 dengan keluhan ke DPRD Bartim,” katanya.

Pada 9 Juni 2016, diadakan mediasi di DPRD Bartim. Hasil mediasi, keeseokan hari keluar rekomendasi. Isi rekomendasi, antara lain meminta Bupati Bartim melalui dinas teknis terkait seperti Dinas Pertanian, Perikanan dan Peternakan, Distamben dan BLHD turun lapangan, meninjau Sungai Paku dan Sungai Benuang. Selain itu menyarankan ada pertemuan antara masyarakat, manajemen BNJM, Wings Sejati difasilitasi oleh kecamatan.

Rekomendasi itu juga meminta BLHD menganalisa dampak lingkungan terkait dugaan pencemaran oleh dua perusahaan itu. Juga meminta peninjauan kembali pertambangan dan reklamasi di seluruh perusahaan pertambangan di Bartim. Dewan meminta dana CSR untuk masyarakat sekitar tambang. Kingga kini, rekomendasi tak jalan.

“Pada 14 Juni 2016, saya mengadu ke Bupati Bartim. Tak dapat tanggapan serius. DPRD Bartim sudah keluarkan rekomendasi, namun pemda tak menanggapi,” katanya.

Perusahaan tambang di Bartim, diduga penyebab pencemaran air sungai dan lahan. Warga kesulitan sumber air, dan lahan tani pun rusak. Foto: Hendar

Merasa tak kunjung mendapatkan respon berarti, dia mengajukan permohonan informasi dokumen kepada BLHD untuk menganalisa Amdal, izin lingkungan, serta izin pembuangan limbah cair. Upaya inipuntak direspon baik. Kepada Distamben, dia mau memperoleh IUP dan bukti penempatan dana jaminan reklamasi pasca tambang.

“Saya memasukkan keberatan informasi 29 juni 2016 karena mereka tak memberikan tanggapan. BLHD malah mengatakan, tak bisa memberikan dokumen karena khawatir disalahgunakan. Juga mempengaruhi saya dengan mengatakan saya ini guru, sebagai PNS tak boleh ikut campur urusan ini. Saya memang PNS tapi saya tak pernah meninggalkan tugas dan kewajiban saya sebagai guru ketika mengurus soal ini,” katanya.

Akhirnya, dia mengajukan gugatan sengketa informasi kepada Komisi Informasi Publik (KIP) Kalteng. Sidang perdana sengketa informasi ini pada Senin, (25/9/16).

Alfrid merasa perlu mendapatkan dokumen-dokumen itu untuk memastikan tindakan perusahaan. Menurut dia, pencemaran itu merugikan banyak pihak. Ladang tercemar berat bukan hanya miliknya. Ada sekitar 15 hektar milik tetangga mengalami hal serupa.

“Banyak gagal panen, di pinggir lahan saya juga rusak. Dulu,  sebelum ada pertambangan, air sungai aman konsumsi. Untuk keperluan lain seperti mandi dan mencuci. Sekarang setelah, kami tak ada pilihan lain. Meski tercemar, tetap pakai air sungai. Untuk mandi meski menimbulkan gatal-gatal,” ujar dia.

Mardiana, aktivis Perempuan Adat Bartim mengatakan, pencemaran dampak perusahaan tambang juga berimbas pada beberapa desa lain, seperti Desa Amparibura, Lalap, Bahalang, Bentot, Gunung Karasik, Janaman Sihui, Amparihawa, Patu betu, Putu Tabuluh, Tampa, Ipumea dan Wuran.

“Kalau ada warga keberatan dengan limbah ke halaman rumah sampai ke teras, masuk sumur, kolam karet, diintimidasi. Beberapa waktu lalu, ada satu orang dipukul empat anggota polisi. Disana jika masyarakat berani menyuarakan keberatan selalu berhadapan dengan petugas polisi dan tentara,” katanya.

Menanggapi ini, Manajer Advokasi dan Kampanye Walhi Kalteng Aryo Nugroho berharap, jika gugatan sengketa informasi dikabulkan bisa mengetahui daya tampung dan dukung lingkungan sampai ingga layak atau tidak. Kalau tak sesuai, perusahaan seharusnya tak bisa beroperasi.

“Berkaitan dengan IPAL, untuk memulihkan limbah sebelum dibuang ke sungai, berdasarkan cerita masyarakat, juga tak ada,” katanya.

Pemerintah dan aparat hukum terutama dinas terkait harus segera mendalami persoalan ini, jangan sampai terlambat,  ketika sudah ada korban baru ribut.

“Dengan ada persoalan ini seharusnya BLH tanggap dan cepat. Ini masalah serius. Kalau berbicara soal limbah tambang memang tak sedikit menimbulkan korban. Terakhir di Gunung Mas, ada bekas tambang tak direklamasi, jadi wisata Danau Biru, ada yang meninggal disana. Jangan sampai warga jadi korban,” ucap Aryo.

Aryo mengingatkan, polisi maupun TNI tak berlebihan dalam mengamankan wilayah privat perusahaan.

“Kalau dia masih merasa dir penegak hukum, wajib melindungi warga. Bukan sebaliknya.”

Menurut dia, masyarakat harus mendapatkan  jaminan lingkungan sehat. “Sekarang lahan dan ladang masyarakat menjadi korban. Air sudah tak layak, merusak kesehatan dan mata pencaharian. Ini bencana ekologis serius, tak bisa disepelekan,” ujar dia.

Exit mobile version