Mongabay.co.id

Komnas HAM: RUU Perkelapasawitan Jangan sampai Bikin Kekacauan Baru

DPR-RI tampaknya ‘bersemangat’ terus melaju mengusung Rancangan Undang-undang Perkelapasawitan masuk bahasan meskipun banyak kalangan mempertanyakan urgensi penyusunan UU ini. Penyusunan UU ini, salah satu ingin mengatur kebun-kebun sawit ilegal dinilai berpotensi bikin kekacauan baru.

Komisioner Komnas HAM, Nur Kholis mengingatkan penyusunan UU harus berhati-hati terlebih menyangkut sawit yang punya permasalahan kompleks.

“Saya menyarankan…Saya sih gak keberatan, silakan saja inisiatif ini. Tolong yang akan diatur apa? Nah, apanya itu tak hanya bisa dilihat general. Apalagi UU sawit. Itu gila aja. Berat banged,” katanya kepada Mongabay, pekan lalu di Jakarta.

Dia mengingatkan, harus berhati-hati dalam merumuskan RUU Perkelapasawitan, terlebih mau melegalkan kebun-kebun sawit ilegal. Jangan sampai aturan ini malah membunuh inisiatif-inisiatif yang sudah ada.

 

Baca juga: Susun UU Perkelapasawitan untuk Solusi Kebun Sawit Ilegal?

 

Kholis mencontohkan, kasus kebun sawit di Taman Nasional Tesso Nilo, setidaknya sudah ada empat skenario penyelesaian, antara lain sawit kadung tumbuh boleh hidup sampai satu masa tanam—ini sejalan dengan Peraturan Pemerintah No 104 Tahun 2015, soal tata cara perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan. Atau insiatif-inisiatif  lain.

“Maksud  saya,  kondisi-kondisi itu tak bisa di-bypass, dipotong begitu saja dalam sebuah pengaturan. Kalau mau menyusun UU Perkelapasawitan, harus dilihat case by caseGak bisa dibuat general. Kasus beda. Itu baru satu kasus, solusi empat.”

Kasus lain,  seperti kebun sawit di hak guna usaha (HGU) yang sudah habis tetapi belum ada perpanjangan atau kasus-kasus lain, “Saya kira ada banyak persoalan yang harus digali terlebih dahulu oleh tim naskah akademik.”

Belum lagi, katanya, masalah seputar perkelapasawitan tak gampang. Bukan hanya bicara bisnis, kerusakan lingkungan tetapi konflik-konflik sosial banyak terjadi di sekitar kebun sawit. Bahkan, katanya, kalau mau mengatur sawit lewat UU, justru yang harus menjadi fokus soal konflik.

 

Baca juga: Ada UU Perkebunan, Sebenarnya Mau Atur Apalagi RUU Perkelapasawitan

 

Sekali lagi dia menekankan, tak bisa mengeneralisir persoalan-persoalan lapangan dan menyederhanakan masalah dengan satu UU.

“UU dibuat untuk  dapat selesaikan masalah. Kalau penerbitan UU kemudian ditegakkan dan tambah masalah baru,  kita mengulangi tradisi-tradisi lama. Membuat UU, bukan (hasilkan) ketertiban malah buat kekacauan baru.”

 

Kebun sawit dan gedung perusahaan sawit yang dibangun di dalam kawasan Suaka Margasatwa Bangkiriang. Apakah upaya melegalkan hal-hal seperti ini yang akan diatur UU Perkelapasawitan? Foto: Etal Douw

 

Aksi membersihkan pelanggaran?

Andi Muttaqien, dari Elsam, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat juga berpandangan serupa. Dia mengatakan, kalau melihat keseluruhan isi RUU ini, 80% sudah diatur UU lain, seperti UU Perkebunan, UU Perdagangan, UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH), sampai UU Kehutanan. “Jadi memang gak ada spesifikasi dalam RUU ini.”

Keyakinan dia makin kuat, RUU ini untuk memutihkan pelanggaran perkebunan sawit yang selama ini di kawasan hutan. “Kalau demikian niatnya harus dikritisi. DPR seharusnya maksimalkan fungsi pengawasan.”

Dalam draf RUU Perkelapasawitan, setidaknya ada beberapa penekanan, seperti profesionalitas dari hulu ke hilir, dan lahan sawit ilegal. Menjawab hal-hal itu, katanya, sebenarnya bisa dengan maksimalkan UU Perkebunan.

Kalau ingin menyelesaikan persoalan seperti keterlanjuran pelanggaran kebun sawit di kawasan hutan, katanya, tak dengan UU sektoral seperti ini.

“Itu gak mungkin selesaikan masalah. Karena UU Kehutanan tetap demikian, UU PPLH tetap demikian, UU Agraria, tetap. Mau selesaikan masalah UU Perkelapasawitan yang derajatnya sama? Itu gak bakalan tercapai.”

Ada juga beralasan,  UU ini untuk menyelesaikan multitafsir berbagai ketentuan dalam UU Perkebunan. Penyelesaian dengan UU baru justru aneh.  “Justru kalau diatur dengan UU selevel akan ciptakan ketidakteraturan atau multitafsir yang baru. Gak bisa itu,” katanya.

Persoalan konflik pertanahan dalam industri perkelapasawitan ini tinggi. Ia tak akan selesai dengan RUU sektoral seperti UU Perkelapasawitan ini. UU ini, katanya, malah bisa melanggengkan konflik karena memutihkan pelanggaran yang saat ini terjadi.

“RUU ini tricky banged. Perlindungan lingkungan di sektor lain, ternyata RUU ini muncul untuk menerobos atau melegalkan pelanggaran-pelanggaran hukum yang terlanjur terjadi.”

Kalau DPR ngotot bikin UU ini, ucap Andi,  justru bisa menciptakan masalah baru.

Bukan saja isi RUU Perkelapasawitan yang bermasalah, proses penyusunan pun tak melibatkan partisipasi publik.

“Kementan sebagai pelaku teknis, dari perkebunan saja tak dilibatkan penuh. Mereka bilang sendiri. Artinya apa? Kita pertanyakan, kalau pelaku teknis saja gak dilbatkan penuh, apalagi masyarakat sebagai pemantau luar,” katanya.

Dia mendesak DPR, kalau ternyata subtansi RUU tak ada perubahan dan tak ada fokus jelas, lebih baik setop. Dia menyarankan, DPR minta Kementan sebagai pelaku teknis, untuk buat aturan-aturan turunan dari UU Perkebunan.  “Apa yang  mau diperkuat. Itu sudah ada mandatnya. Entah melalui PP (peraturan pemerintah-red) atau aturan lain.”

Suara dari Kementerian Pertanian juga senada soal tak perlu pengaturan sawit lewat UU. Midiati dari Direktorat Perkebunan, Kementerian Pertanian, mengatakan, perkebunan sawit masyarakat maupun perusahaan memang ada tanam di kawasan terlarang, seperti di hutan maupun lahan gambut dalam.

Meskipun begitu, katanya, mencari solusi sawit lahan ilegal bukan dengan membuat UU baru. Banyak jalan bisa ditempuh, antara lain, dengan meningkatkan koordinasi antara Kementan dan kementerian yang mengurus lahan.

“Istilahnya koordinasi lintas kementerian.  Bahwa memang ada masalah dalam perusahaan sawit di kawasan. Ini perlu langkah-langkah. Bukan dengan menyusun UU.”

UU Perkebunan sendiri, katanya, masih perlu konsisten dalam pelaksanaannya.

Upaya lain, kata Midiati, dengan mengoptimalkan UU Perkebunan. Saat ini saja, katanya, belum semua aturan turunan UU Perkebunan keluar. Jadi, soal kebun-kebun ilegal ini bisa saja diatur dalam peraturan pemerintah atau aturan turunan itu.

“UU Perkebunan sudah banyak mengatur. Ada PP belum dibikin. Kan (sawit ilegal) bisa lewat PP. Apa yang mau diatur masukkan saja dalam PP.”

RUU Perkelapasawitan, katanya, perlu dikritisi. “Apa memang ada hal-hal lain yang diatur dalam UU Perkelapasawitan ini?”

 

 

Exit mobile version