Mongabay.co.id

Budidaya Rumput Laut Hancur, Ganti Rugi Perusahaan Sebatas Janji (Bagian 2)

Kapal-kapal kecil yang menarik ore nikel untuk dipindah ke kapal besar di tengah laut. Foto: Kamarudin/ Mongabay Indonesia

Petani di Kecamatan Tinanggea, Kanowe Selatan, Sulawesi Tenggara,  hampir 600 orang. Mereka yang terkena dampak pertambangan Baula Petra, sekitar 400 petani dari dua desa,  yakni Akuni dan Roraya. Budidaya rumput laut praktis alami kehancuran.

Lahan satu petani rata-rata 50x 100 meter, berisi rumput laut mati dan rusak.  “Satu bentangan tali itu panjang 100 meter, diikatkan 35 anakan berjarak lima meter. Panjang anakan tali sampai 35 depak atau 50 meter,” kata Risman, petani rumput laut.

Baca juga: Derita Petani Rumput Laut Tinanggea Setelah Tambang Nikel Datang (Bagian 1)

Jadi, katanya,  kalau dihitung panjang tali untuk semua petani hampir tiga kilometer. “Itu diikatkan rumput laut semua. Setelah ada tambang tidak ada mi sebagian, sisah sedikit sekarang,” katanya.

 

Igo memperlihatkan tali yang tidak terpakai. Tali ini untuk bertani rumput laut. Seiring dengan masuknya tambang nikel, tali-tali ini ditarik naik ke darat dan dibiarkan lapuk. Foto: Kamarudin/ Mongabay Indonesia

 

Penelitian Yokpi Englatmo di Universitas Halu Oleo Kendari, menyebutkan, kerusakan rumput laut diduga logam berat dari ore nikel di laut. Hal ini tak bisa dipungkiri karena logam berat berdampak bagi kehidupan rumput laut.

“Rumput laut ini membutuhkan kualitas air yang benar-benar bersih, terhindar dari pencemaran. Saya melihat di Roraya itu pasti karena nikel,” katanya.

Logam berat ore nikel, katanya,  bersifat racun bagi biota laut termasuk rumput laut.

Walhi Sulawesi Tenggara mengatakan, pencemaran laut karena ore nikel sebenarnya tak saja terjadi di Konawe Selatan, Konawe Utara juga terjadi. Ikan dan biota laut mati karena pencemaran logam berat ini. Sama di Tinanggea,” kata Kisran Makati, Direktur Eksekutif Walhi Sultra.

Dia bilang, pemerintah kurang memberikan perhatian terhadap masalah ini. Kajian amdal tak berjalan baik, bahkan sebagian besar perusahaan pertambangan di Sultra tak mengantongi amdal.

Sesuai kajian Dinas Lingkungan Hidup,  katanya, pertambangan harus mempunyai lokasi pemurnian air yang akan jatuh ke laut.

“Dalam dokumen amdal juga jelas, apa yang harus dilakukan perusahaan dan bagaimana menangani agar laut tidak tercemar. Petani rumput laut di Roraya jadi korban merupakan gambaran buruknya pengelolaan lingkungan perusahaan tambang,” katanya.

 

Tambang nikel PT Baula Petra Buana. Ore nikel ini kemudian dibawa ke pelabuhan khusus atau jetty. Foto: Kamarudin/ Mongabay Indonesia

 

Janji tinggal janji…

Sore hari,  di Desa Akuni, Mei 2017, berbondong-bondong masyarakat datang ke rumah H. Udin. Pria ini, pengepul panen rumput laut. Udin,  tokoh masyarakat dianggap bisa membantu atasi masalah petani.

Warga termasuk Igo, Jumadil dan Risman ikut pertemuan yang sekaligus menyusun langkah aksi protes. Mereka menuntut hak kepada Baula Petra Buana yang dianggap merusak pertanian rumput laut.

Pagi hari, suara sound system memecah keheningan warga Akuni. Sekitar 200 petani rumput laut dari Akuni dan Roraya menuju ke Baula Petra Buana. Mereka menuntut ganti rugi.

Namun, kehadiran petani dihadang puluhan satpam dan aparat kepolisian. Keributan tak terhindarkan. Satpam melarang petani masuk ke lokasi dan minta hentikan aksi.

“Kami menuntut ganti rugi, perusahaan ini merusak lahan kami,” teriak warga.

Pada Agustus 2017, Baula Petra Buana berjanji membayar ganti rugi kepada petani rumput laut. Janji tinggal janji, hingga kini tak terealisasi.

Masyarakat kesal. Mereka kembali masuk ke perusahaan dengan aksi lebih besar. Kapal milik Baula Petra Buana disandra dan satu alat besar dirusak.

Kepolisian dan pemerintah angkat bicara. Kapolres dan Bupati Konawe Selatan bertemu dengan Ketua DPRD bersama perwakilan masyarakat. Sayangnya, tetap saja tuntutan masyarakat belum terealisasi.

Kesal dengan ulah Baula Petra Buana, masyarakat melaporkan perusahaan ini ke Polda Sultra atas dugaan pencemaran lingkungan dan perusakan hasil pertanian. Walau begitu, laporan masyarakat dianggap kabur dan tak memenuhi unsur pidana.

Akhirnya, Desember 2017, sekitar 500 petani rumput laut dan masyarakat Tinanggea protes di Kantor Gubernur. Naas, warga yang sudah menderita malah dipukuli SatPol PP di kantor gubernur. Tiga mahasiswa dan petani kena pukul.

Igo, Jumadil dan Risman mendesak pemerintah mencabut izin Baula Petra Buana, hingga warga bisa bertani kembali.

“Di Roraya, itu bagus kita bertani rumput laut karena ada pertemuan air tawar dan air laut. Hasil bagus dan berat bertambah,” kata Igo.

Kala Mongabay mengkonfirmasi kasus ini, pimpinan Baula Petra Buana, Adi Askar, enggan berkomentar banyak. Dia bilang, kasus itu sengaja dibuat-buat masyarakat. Adi berdalih, perusahaan sama sekali tak melakukan kejahatan lingkungan.

“Sudahlah bro, saya malas bahas soal ini. Kami sudah tahu,  semua ada upaya cari-cari duit,” kata Adi. (Habis)

 

Warga protes menuntut ganti rugi kerusakan budidaya rumput laut mereka kepada perusahaan. Foto: Kamarudin/ Mongabay Indonesia

 

 

Exit mobile version