Mongabay.co.id

Perintah Luhut ke Susi: Hentikan Penenggelaman, Pulihkan Ekspor Perikanan

Opsi penenggelaman kapal untuk memberi efek jera pada pelaku perikanan ilegal di perairan laut Indonesia, sebaiknya tidak dilakukan lagi oleh Pemerintah Indonesia. Opsi tersebut dinilai sudah tidak relevan lagi dan hanya membuang sumber daya kapal yang sangat bermanfaat. Demikian diungkapkan Menteri Koordinator Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan.

Penenggelaman kapal ikan asing (KIA) yang melakukan aktivitas illegal, unreported, unregulated fishing (IUUF) itu, biasanya dilaksanakan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan. Kegiatan tersebut sudah berjalan selama tiga tahun, atau tepatnya sejak Susi Pudjiastuti menjabat sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan pada paruh akhir 2014.

Menurut Luhut di Jakarta, Selasa (9/1/2018), penenggelaman kapal dalam tiga tahun terakhir menjadi simbol kesuksesan Pemerintah Indonesia dalam mengawal dan menjaga laut Nusantara. Aksi tersebut juga berhasil membuat takut dan memberi efek jera kepada para pemilik kapal ataupun negara asal kapal tersebut.

“Tetapi, aksi tersebut sudah cukup. Tidak perlu dilanjutkan lagi,” ucap dia.

baca : Pemusnahan Kapal Asing Pencuri Ikan Harus Terus Dilakukan, Kenapa?

 

Penenggelaman kapal asing

 

Luhut memberi alasan kenapa penenggelaman sebaiknya dihentikan mulai 2018 ini. Menurut dia, sumber daya kapal yang berukuran besar, akan bisa memberi manfaat banyak jika tetap dipertahankan dan tidak ditenggelamkan. Kapal tersebut, bisa saja digunakan untuk kebutuhan nelayan yang jumlahnya sangat banyak untuk mencari ikan.

“Bisa saja itu dipulihkan nama kapalnya. Terus dibuat identitas baru dan kemudian diserahkan ke nelayan. Teknisnya itu KKP yang lebih paham,” jelas dia.

Kata Luhut, kapal yang disita karena melakukan aktivitas IUUF, sangat potensial untuk dialihfungsikan menjadi kapal nelayan melalui koperasi nelayan. Proses peralihan tersebut, tentu saja harus dilakukan dengan prosedur yang benar dan tepat. Dengan demikian, sambung dia, nelayan yang sebelumnya tidak memiliki kapal, akan mendapatkan bantuan kapal dari Pemerintah.

Alih fungsi tersebut, dijelaskan Luhut, sudah diatur dalam Undang-Undang No. 45/2009 tentang Perikanan pasal 76A dan 76C. Dalam pasal 76A disebutkan, benda dan atau alat yang digunakan dalam dan atau dihasilkan dari tindak pidana perikanan, dapat dirampas untuk negara atau dimusnahkan setelah mendapat persetujuan ketua pengadilan negeri.

Sementara, lanjut dia, dalam Pasal 76C ayat 5, disebutkan bahwa benda dan atau alat yang dirampas dari hasil tindak pidana perikanan yang berupa kapal perikanan dapat diserahkan kepada kelompok usaha bersama nelayan dan atau koperasi perikanan.

baca : Bolehkah Kapal Asing yang Sudah Ditangkap, Dilelang?

Dengan aturan tersebut, Luhut menilai, kapal yang disita Negara karena melakukan pelanggaran hukum, bisa dimanfaatkan untuk kepentingan orang banyak. Untuk itu, dia meminta kepada KKP untuk menghentikan aksi penenggelaman kapal dan mengalihfungsikan untuk pemanfaatan kebutuhan kapal nelayan kecil saja.

“Tetapi, kalaupun itu diserahkan kepada nelayan, maka penyerahannya hatrus dilakukan melalui pengawasan yang kuat oleh Pemerintah. Dengan demikian, kapal tersebut akan diterima tepat sasaran oleh nelayan kecil yang membutuhkannya, dan bukan oleh pihak lain,” tandas dia.

 

Kapal FV Viking yang terbukti melakukan illegal fishing dan telah dicari oleh Interpol, ditenggelamkan di di Pantai Timur Pangandaran, Kabupaten Pangandaran, Jawa Barat pada Senin (14/03/2016). Foto : Humas KKP/Mongabay Indonesia

 

Dipilihnya opsi tersebut, kata Luhut, tidak lain karena dia melihat saat ini di Indonesia banyak sekali nelayan yang melaut tapi tidak memiliki kapal sendiri. Dengan kata lain, dia ingin melihat nelayan kecil tumbuh dan berkembang menjadi nelayan besar melalui kepemilikan kapal secara bersama melalui koperasi nelayan.

Selain bisa dimanfaatkan untuk kebutuhan nelayan, Luhut menyebut, aksi penenggelaman kapal sebaiknya dihentikan, karena aktivitas tersebut bisa mengganggu ekosistem yang ada di bawah air. Hal itu, karena kapal yang masih utuh akan ditenggelamkan dan dibiarkan hingga mengalami kerusakan.

“Itu adalah perintah. Jadi tidak ada lagi penenggelaman-penenggelaman. Itu sudah disampaikan kepada Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti, tapi tidak ada respon,” ungkap dia.

baca : Menteri Susi: 400 Kapal Kabur Masuk Daftar Interpol

Terpisah, Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti memberikan tanggapannya melalui akun sosial media KKP. Menurut dia, jika memang ada keberatan tentang penenggelaman kapal, dia meminta keberatan itu disampaikan langsung ke Presiden Joko Widodo.

“Jadi, kalau ada yang berkeberatan atau merasa itu tidak pantas, tentunya harus membuat satu usulan kepada Presiden untuk memerintahkan Menterinya mengubah Undang-Undang Perikanan tadi, di mana ada pasal penenggelaman, menjadi tidak ada,” kata dia, Selasa.

Susi mengatakan, penenggelaman kapal yang dilakukan KKP dalam tiga tahun ini sudah diatur dalam UU No. 45/2009. Dari semua kapal yang sudah ditenggelamkan, 90 persen di antaranya adalah kapal yang sudah melalui hasil keputusan dari pengadilan negeri atau perikanan.

 

Penenggelaman 15 kapal asing pencuri ikan yang dilakukan di perairan Pulau Lemukutan, Kabupaten Bengkayang, Kalimantan Barat, 18 Agustus 2015. Foto: Aseanty Pahlevi/Mongabay Indonesia

 

Fokus Ekspor

Selain menginstruksikan untuk menghentikan aktivitas penenggelaman kapal, Luhut Binsar Pandjaitan juga meminta KKP untuk kembali fokus pada aktivitas ekspor. Pada 2018 ini, dia ingin ekspor kembali berjaya seperti beberapa tahun sebelumnya yang pernah dialami Indonesia. Kata dia, untuk meningkatkan ekspor, maka diperlukan peningkatan produksi sektor perikanan dan kelautan.

“Saya itu ikut menginiasi dan mengusulkan penenggelaman (kapal) saat masih menjabat sebagai kepala staf Presiden. Saya mendorong itu. Tapi sekarang, setelah tiga tahun, masa begitu terus. Apa langkah berikutnya?” ujar dia.

Menurut Luhut, yang penting untuk dilakukan saat ini adalah bagaimana mengembalikan ekspor dan peningkatan produksi perikanan di dalam negeri. Sehingga, pelaku usaha yang ada dalam sektor perikanan dan kelautan bisa kembali pulih kondisinya.

Luhut mengatakan, pada kondisi sekarang dimana produksi ikan melimpah, tapi ternyata fakta di lapangan menjelaskan bahwa pabrik ikan banyak yang tutup. Penyebabnya, karena pasokan bahan baku ikan untuk kebutuhan pabrik-pabrik tersebut sudah tidak ada semenjak kebijakan yang dibuat KKP tiga tahun lalu diberlakukan.

“Ini bisa terjadi seperti itu, kenapa? Ekspor juga turun terus, itu kenapa? Sekarang kita fokus saja pada tugasnya masing-masing. Bagaimana memulihkan itu semua seperti sedia kala. Sekarang kita fokus bagaimana meningkatkan produksi supaya ekspor kita meningkat,” ungkap dia.

Perlunya memulihkan ekspor, menurut Luhut, karena saat ini banyak produk kelautan dan perikanan yang bisa dimaksimalkan produksinya lebih besar lagi. Termasuk, produksi ikan Napoleon di Natuna yang jumlahnya mencapai puluhan ribu ekor dan tidak diekspor sejak beberapa tahun terakhir.

“Selain Napoleon, KKP harus fokus untuk meningkatkan aktivitas perikanan budidaya di seluruh Indonesia. Dengan demikian, volume ekspor yang ditargetkan bisa meningkat akan tercapai,” tutur dia.

Tak lupa, Luhut menambahkan, untuk mendorong volume ekspor, Pemerintah bisa mendorong pemanfaatan usaha pengiriman ikan laut segar ke berbagai negara. Menurutnya, peluang usaha tersebut sangat menjanjikan karena banyak negara peminatnya. Selain itu, pengiriman ikan segar memiiki nilai yang lebih tinggi dibandingkan dengan produk dalam kemasan kaleng.

 

Suasana pengolahan ikan di Pelabuhan Perikanan Nizam Zachman Muara Baru, Jakarta Utara pada November 2016. Foto : Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Dia mencontohkan, di Maluku Utara ada aktivitas penangkaran ikan dan di sana ada juga fasilitas bandar udara yang bisa menjadi lokasi untuk pengangkutan produk perikanannya. Agar pengirimannya semakin banyak, dia mendorong bandara di sana diperpanjang landasan pacunya dan kemudian diterbangkan ke Jepang hasil produksinya.

“Harga ikan tunanya lebih tinggi. Ini nilai tambah buat daerah kita,” sebut dia.

Didorongnya aktitas peningkatan produksi dan ekspor perikanan, menurut Luhut, karena Presiden RI Joko Widodo sudah memberi arahan saat rapat kabinet. Presiden, kata dia, ingin agar investasi di Indonesia, termasuk dalam sektor perikanan dan kelautan bisa ditingkatkan dengan memperhatikan tiga hal.

“Yakni pakai teknologi ramah lingkungan, mempekerjakan tenaga kerja lokal dan harus bisa bergerak dari hulu ke hilir, dan dilakukan transfer teknologi,” papar dia.

Koordinator Nasional Destructive Fishing Watch Indonesia Moh Abdi Suhufan menjelaskan, penurunan ekspor sepanjang 2017, bisa menjadi penanda kegagalan dari kepemimpinan KKP saat ini. Penyebabnya, karena pada saat bersamaan, stok ikan di laut Indonesia sedang mengalami peningkatan signifikan setelah pemberantasan praktik IUU Fishing berhasil dilakukan sejak 2014.

“Indikasi dan fakta menurunnya nilai dan volume ekspor perikanan yang terjadi sepanjang tahun 2017 perlu diantisipasi oleh pemerintah Indonesia,” ucapnya.

Abdi mengatakan, ada dua hal yang bisa menjadi momentum KKP untuk memacu ekspor produk perikanan. Kedua hal itu, yaitu kondisi domestik dengan peningkatan stok ikan dan kondisi eksternal dengan meningkatnya permintaan ekspor dari negara tujuan.

Akan tetapi walau terdapat dua hal momentum untuk menaikkan nilai ekspor, pada kenyataannya masih ada proses yang mengganggu kelancaran momentum tersebut, yaitu masih adanya unit pengolahan ikan dalam negeri yang mengeluhkan tentang penurunan ketersediaan bahan baku.

“Masalah perizinan kapal ikan oleh KKP perlu mendapat perhatian agar tidak menjadi hambatan pelaku usaha perikanan. KKP perlu menelusuri hal ini dengan membuat peta masalah dan solusi agar peluang peningkatan ekspor bisa segera dipenuhi oleh pelaku perikanan dalam negeri,” jelas dia.

Di luar permasalahan penurunan bahan baku, menurut Abdi Suhufan, ekspor Indonesia masih memiliki potensi besar menyusul pemberlakuan yellow card oleh Uni Eropa untuk komoditas tuna. Kartu kuning tersebut, diberikan kepada negara eksportir besar seperti Vietnam, Tiongkok, dan Filipina.

 

Exit mobile version