Pemusnahan Kapal Asing Pencuri Ikan Harus Terus Dilakukan, Kenapa?

Sejumlah nelayan tradisional di Aceh menilai, maklumat perang Pemerintah Indonesia terhadap kapal asing pencuri ikan telah memberikan dampak positif bagi nelayan lokal.

“Kami nelayan tradisional di Aceh ingin penangkapan dan penenggelaman kapal asing pencuri ikan terus dilanjutkan. kami merasakan kebaikan dari program tersebut,” ujar Zulkarnaini, Nakhoda Kapal Tangkap Ikan di Pelabuhan Lampulo, Kota Banda Aceh, akhir pekan ini.

Zulkarnaini menuturkan, sejak kapal asing ditangkap, nelayan lokal jarang melihat kapal asing lalu lalang di perairan Aceh, baik itu di Selat Malaka, maupun Samudera Hindia. “Hasil tangkapan kami selama berlayar seminggu di laut bertambah. Ikan juga lebih mudah didapat,” ujar Zulkarnaini yang telah 32 tahun menjadi nelayan.

Kesibukan nelayan dan masyarakat yang terlihat di Lampulo, Banda Aceh, Aceh. Foto: Junaidi Hanafiah
Kesibukan nelayan dan masyarakat yang terlihat di Lampulo, Banda Aceh, Aceh. Foto: Junaidi Hanafiah

Nelayan Aceh lainnya, Samsuar menyatakan hal yang sama. Dia berharap, pemerintah terus melakukan  pemusnahan kapal asing pencuri ikan di perairan Indonesia. Umumnya kapal tersebut menggunakan alat tangkap yang bertentangan dengan hukum Indonesia. Sementara, nelayan lokal menaati aturan pemerintah dan anjuran pimpinan lembaga adat laut Aceh atau Panglima Laot.

“Kapal asing menggunakan pukat harimau, bukan hanya ikan besar yang ditangkap tapi juga kan kecil. Pukat harimau juga merusak terumbu karang. Sementara kami, hanya menangkap ikan yang naik ke permukaan. Panglima Laot melarang kami merusak karang dan membunuh bibit ikan.”

Samsuar menambahkan, nelayan lokal tidak menjual ikan kepada kapal asing di tengah laut. Semua hasil tangkapan dibawa pulang ke pelabuhan. “Biasanya, kami membawa ikan ke Pelabuhan Lampulo, Banda Aceh. Bila ada hal mendesak, kami berlabuh dan menurunkan ikan di pelabuhan lain, tapi masih di Aceh.”

Untuk menjaga ikan tetap segar, saat ini beberapa kapal yang berasal dari Pelabuhan Idi Rayeuk, Kabupaten Aceh Timur, telah membongkar ikan di laut. Tapi, ikan-ikan tersebut tetap dibawa pulang ke pelabuhan Idi Rayeuk. Ini dikarenakan, sebagian besar kapal penangkap ikan masih mengandalkan es, belum memiliki pendingin khusus.

“Untuk menghemat es, ada kapal kecil yang menjemput ikan dan menjualnya ke pelabuhan-pelabuhan. Seminggu sekali nelayan pun harus kembali ke pelabuhan karena ada aturan di Aceh, Kamis malam hingga Jumat siang, tidak boleh melaut,” tambah Zulkarnaini.

Nelayan tradisional di Aceh yang menggantungkan hidupnya mencari ikan di laut. Foto: Junaidi Hanafiah
Nelayan tradisional di Aceh yang menggantungkan hidupnya mencari ikan di laut. Foto: Junaidi Hanafiah

Terus lakukan

Beberapa waktu lalu, Pimpinan Adat Laut Aceh atau Panglima Laot Aceh, T. Bustaman menyatakan, penangkapan dan pemusnahan kapal asing yang mencuri ikan di perairan Indonesia merupakan program sangat bagus yang harus terus dilakukan.

“Kapal nelayan Indonesia yang ditangkap karena masuk negara lain juga dimusnahkan. Bahkan, kapal nelayan Indonesia yang terdampar karena cuaca maupun mesin rusak, juga dimusnahkan.”

T. Bustaman mengatakan, pencurian ikan oleh kapal asing telah berlangsung lama. Nelayan di Aceh cukup marah dengan kegiatan merugikan itu. Kami mendukung penangkapan dan pemusnahan kapal asing pencuri ikan. “Kapal-kapal asing yang ditangkap di Aceh, kebanyakan laporan nelayan yang tengah melaut. Mereka mampu membedakan kapal lokal dan asing.”

Nelayan tradisional di Aceh menggunakan peralatan sederhana seperti jaring dan kail guna mencari ikan. Mereka menaati aturan yang ada serta mengikuti larangan yang dikeluarkan Panglima Laot. Foto: Junaidi Hanafiah
Nelayan tradisional di Aceh menggunakan peralatan sederhana seperti jaring dan kail guna mencari ikan. Mereka menaati aturan yang ada serta mengikuti larangan yang dikeluarkan Panglima Laot. Foto: Junaidi Hanafiah

Abdul Halim, Direktur Eksekutif Pusat Kajian Maritim untuk Kemanusiaan, sebelumnya kepada Mongabay mengatakan, sepanjang Oktober 2014 hingga Desember 2016, kinerja yang dijalankan Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) terlihat fokus pada hal memerangi praktik pencurian ikan. “Memerangi pencurian ikan di perairan Indonesia,  terlihat ada keseriusan.”

Halim mencatat, sepanjang waktu tersebut, sedikitnya 236 kapal ikan asal Malaysia, Papua Nugini, Tiongkok, Filipina, Thailand, Vietnam, dan Indonesia telah ditenggelamkan. Namun,  upaya pemerintah untuk menegakkan belum dijalankan melalui peran pengadilan perikanan  guna meningkatkan  kas  negara  sebagai  penerimaan bukan  pajak. “Ini tertuang dalam Pasal  76a – 76c  Undang-Undang  Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan.”

Selain UU tersebut, menurut Halim, faktor membaiknya kinerja pemerintah, tidak bisa dilepaskan dari pengesahan Undang-Undang No.7 Tahun 2016 Tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam.

Pengesahan regulasi tersebut menjadi momentum gerakan nasional untuk memuliakan 3 juta nelayan, 3 juta petambak garam, serta 3,5 juta pembudidaya ikan. Termasuk, perempuan di dalam rumah tangga ketiga aktor penting tersebut.

Akan tetapi, pengesahan undang-undang tersebut akan tidak memberi manfaat bila kebijakan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil mengedepankan investasi asing ketimbang investasi gotong-royong yang dipraktikkan masyarakat pesisir.

“Pasalnya, Peraturan Daerah mengenai Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang telah disahkan atau tengah dibahas di tingkat provinsi tidak menjadi prioritas  hajat hidup masyarakat pesisir,” papar Halim.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , ,