- Indonesia memiliki 17 persen ekosistem karbon biru yang ada di dunia. Itu adalah benteng pertahanan paling kuat yang dimiliki wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, yang mencakup hutan mangrove, rawa pasang-surut, padang lamun, rumput laut, dan ekosistem pesisir lainnya
- Ekosistem karbon biru menjadi penting bagi Indonesia, karena kemampuannya bisa menyerap dan menyimpan karbon organik dalam jumlah besar dengan kapasitas bisa melebihi kemampuan hutan dalam melakukan tugas yang sama
- Kemampuan istimewa yang dimiliki ekosistem karbon biru, bisa menjadi obat yang mujarab untuk menahan laju dampak perubahan iklim yang saat ini makin terasa. Perubahan iklim sudah mengakibatkan wilayah pesisir terancam tenggelam seperti di wilayah Pantai Utara (Pantura) Jawa.
- Hanya sayang, besarnya potensi ekosistem karbon biru di Indonesia, belum didukung melalui penelitian yang lengkap dan komprehensif. Penelitian yang sudah ada, sifatnya masih belum mencakup keseluruhan, dan itu memerlukan langkah lanjutan
Ekosistem pesisir adalah benteng pertahanan paling kuat yang dimiliki wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Ada hutan mangrove, rawa pasang-surut, padang lamun, rumput laut, serta ekosistem pesisir dan laut lainnya yang punya peran penting untuk mengamankan wilayah pesisir dan bahaya bencana alam.
Ekosistem yang disebutkan satu per satu di atas, memiliki kemampuan untuk menyerap dan menyimpan karbon organik dalam jumlah besar dengan kapasitas bisa melebihi kemampuan hutan dalam melakukan tugas yang sama atau sekuestrasi.
Kemampuan ekosistem pesisir menjadi bagian dari upaya penyelamatan bumi dari kehancuran. Tanpa ada pengelolaan yang tepat, bumi akan semakin terpuruk. Meskipun, setiap 22 April selalu diperingati sebagai hari Bumi sedunia.
Peneliti Senior Center for International Forestry Research (CIFOR) Prof. Daniel Murdiyarso menyebut kalau ekosistem yang disebutkan di atas adalah masuk kelompok karbon biru. Ekosistem itu memiliki kemampuan untuk membantu negara dalam mencapai tujuan iklim nasional.
Dia menilai, ekosistem karbon biru harus bisa dijaga dengan baik, karena ada karbon dioksida dalam jumlah yang tersimpan di dalamnya. Sekali saja kawasan tersebut mengalami kerusakan, maka akan terlepas karbon ke atmosfer.
“Itu menimbulkan ancaman yang sangat besar terhadap upaya mitigasi,” jelasnya dalam acara bertajuk “Dialog Karbon Biru” di Bogor, Jawa Barat, belum lama ini.
Kerusakan ekosistem karbon biru, diyakini akan bisa memperburuk dampak iklim dan menghambat upaya adaptasi yang sedang dilakukan. Paling nyata, dampak tersebut akan muncul jika hutan mangrove mengalami kerusakan dan itu akan memicu peningkatan resiko masyarakat pesisir terpapar gelombang badai dan juga kenaikan permukaan laut.
Menurut Daniel, alasan kuat lain kenapa ekosistem karbon biru penting untuk dijaga dan dilakukan restorasi, adalah karena sudah terjadi desa tenggelam di wilayah pesisir Pantai Utara (Pantura) Jawa.
“Juga, karena penurunan muka tanah dan kenaikan muka air laut,” ungkapnya.
Baca : Peran Ekosistem Karbon Biru dalam FoLU Net Sink 2030
Melalui sebuah tulisan yang dipublikasikan akhir 2023, dia juga meyakinkan semua pihak bahwa saat ini sudah banyak pemilik lahan dan pengusaha di Indonesia yang menyatakan minatnya untuk berinvestasi pada proyek karbon biru.
Dia mengatakan, Indonesia yang berstatus menjadi negara dengan kawasan hutan mangrove terluas di dunia, sedang memproses penerapan pasar karbon menjadi transaksi formal. Dia yakin, pada tahun-tahun mendatang, kredit karbon akan masuk ke pasar nasional.
“Perhatian akan karbon biru hadir tepat waktu,” tegasnya.
Dia membeberkan, sekitar ¾ hutan mangrove dunia diketahui hanya terkonsentrasi di 15 negara, dan ternyata kurang dari tujuh persen hutan mangrove yang sudah mendapatkan perlindungan. Keberadaan hutan mangrove, terus mendapat tekanan dari kegiatan budi daya perikanan dan pembangunan pesisir.
Selain mangrove, padang lamun juga mutlak mendapatkan perhatian dari semua pihak, karena sama-sama bisa melindungi pesisir. Hanya saja, padang lamun juga sensitif terhadap gangguan dan mudah terdegradasi oleh polusi air, dan rawa pasang surut terus dikeringkan untuk pembangunan.
Menurutnya, jika semua ancaman yang mengintai ekosistem pesisir ingin dilawan, maka harus ada peningkatan pemahaman tentang ekosistem tersebut kepada publik. Caranya, bisa dilakukan dengan berbagi pengetahuan dan kolaborasi bersama.
Ekosistem pesisir sendiri semakin hari semakin terancam rapuh, namun belum semua wilayah mangrove sudah dilakukan penelitian. Di sisi lain, mangrove perlu diungkap lebih jauh untuk memastikan penyerapan karbon terjadi dan dihitung dengan akurat, juga transparan.
“Jika dibandingkan dengan penelitian ekosistem hutan lainnya, studi di bidang ini masih sangat minim,” terangnya.
Baca juga : Ekosistem Karbon Biru dalam Peta Konservasi Nasional
Tentang ekosistem lamun, Kepala Pusat Riset Oseanografi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Udhi Eko Ernawan menyebut bahwa Indonesia menjadi negara dengan kepemilikan sangat beragam. Ada keanekaragaman spesies yang tinggi, dengan variabilitas kondisi lingkungan yang juga tinggi.
Namun, dia menyebut kalau sebagian besar penelitian yang sudah dilakukan adalah untuk mengukur biomassa lamun, dan hanya sedikit yang meneliti tentang karbon organik sedimen. Padahal, sebagian besar karbon justru tersimpan di dalam sedimen.
Menurutnya, masih ada pertanyaan yang belum terjawab tentang bagaimana variasi stok karbon pada berbagai sistem, atau skala spasial/temporal; faktor apa saja yang mempengaruhi variabilitas; bagaimana nasib karbon yang diikat oleh lamun; sejauh mana emisi karbon di habitat lamun; faktor apa yang mempengaruhi emisi; dan belum ada data mengenai laju penyerapan karbon.
Selain lamun, Udhi menyebut ekosistem rumput laut berpotensi besar sebagai ekosistem karbon biru karena Indonesia merupakan pusat keanekaragaman hayati makroalga global, dengan produksi yang tinggi.
Akan tetapi, seperti halnya lamun, masih sangat minim penelitian yang mengungkap tentang luas sebaran habitat rumput laut di alam, variabilitas pada sistem yang berbeda, restorasi/rehabilitasi habitat, atau bagaimana nasib karbon dari peternakan makroalga.
Sementara, Rektor IPB University Arief Satria memandang perlu dibuat satu kebijakan khusus tentang karbon biru, agar tata kelolanya bisa lebih terarah. Kebijakan baru diperlukan, karena selama ini ada rentang perbedaan yang jauh antara Pemerintah Pusat dengan Daerah tentang data karbon biru.
“Kesenjangan dalam pengukuran dan pemantauan ekosistem karbon biru,” jelasnya.
Pemicu munculnya kesenjangan, karena upaya perlindungan dan pengelolaan ekosistem karbon biru di Indonesia selama ini diatur dalam berbagai rezim hukum. Sebut saja, kehutanan, pesisir dan laut, perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, perencanaan tata ruang, dan pemerintah daerah.
Akibatnya, terjadi rivalitas birokrasi dalam pengelolaan karbon biru yang dilaksanakan di berbagai tingkat pemerintahan dan yurisdiksi administratif, yang juga dimiliki oleh berbagai kementerian/lembaga (K/L). Hal itulah yang memicu munculnya persaingan birokrasi.
Baca juga : Karbon Biru dalam Ekonomi Biru di Perairan Laut Indonesia
Fakta berikutnya, dia memaparkan kalau sekitar 49 persen kawasan mangrove berada di kawasan hutan konservasi dan lindung, dan beberapa kawasan mangrove lainnya berada di kawasan perhutanan sosial. Dari luasan yang ada sekarang, sekitar tiga persen kawasan mangrove masuk dalam kawasan konservasi laut.
“Sekitar 34 persen ekosistem padang lamun dinyatakan masuk dalam kawasan konservasi laut,” terangnya.
Tetapi, di luar itu semua, ada kawasan hutan bakau dan padang lamun yang tidak termasuk dalam instrumen perlindungan, dan semua kawasan tersebut kini terancam oleh tekanan antropogenik. Satu-satunya cara agar ekosistem karbon biru tidak mengalami konversi, maka ekosistem tersebut harus diakui sebagai modal alam yang sangat penting.
“Masyarakat lokal merupakan aktor kunci dari pengembangan karbon biru ini. Oleh karena itu, segala upaya pengembangan blue carbon perlu diarahkan untuk mereka yang selama ini termarjinalkan,” tambahnya.
Belum lama ini, Direktur Jenderal Pengelolaan Kelautan dan Ruang Laut Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Victor Gustaaf Manoppo menegaskan kembali bahwa diperlukan penguatan ekosistem karbon biru untuk mendukung adaptasi dan mitigasi perubahan iklim di Indonesia.
“Kita perlu mengambil tindakan nyata sebelum terlambat,” ungkapnya.
Menurut dia, Indonesia memiliki peluang besar untuk memanfaatkan ekosistem karbon biru sebagai salah satu solusi untuk mengatasi perubahan iklim. Hal itu, karena Indonesia menjadi pemilik 17 persen cadangan karbon biru di dunia.
Selain memiliki sekitar 3,3 juta hektar hutan mangrove, Indonesia juga diketahui menjadi pemilik 1,8 juta ha lamun. Kedua ekosistem tersebut diakui memiliki kemampuan untuk menyerap karbon hingga 3-4 kali lebih tinggi dibandingkan dengan kemampuan yang ada pada ekosistem darat.
Perlu dibaca : Besarnya Potensi Karbon Biru dari Pesisir Indonesia, Tetapi Belum Ada Roadmap Blue Carbon. Kenapa?
Victor mengatakan, pengelolaan karbon biru dalam konteks perubahan iklim menjadi bagian penting kebijakan ekonomi biru yang saat ini diterapkan KKP melalui lima program prioritas, yaitu perluasan kawasan konservasi laut dan perikanan tangkap terukur berbasis kuota.
Kemudian, ada juga pembangunan perikanan budi daya laut, pesisir, dan darat yang ramah lingkungan; pengawasan dan pengendalian wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil; serta pengelolaan sampah plastik di laut.
Ajakan Kolaborasi
Agar ekosistem karbon biru bisa berkontribusi pada aksi penanganan perubahan iklim, dia mengajak semua pihak untuk ikut berkolaborasi. Sebabnya, penanganan perubahan iklim menjadi tantangan yang kompleks dan membutuhkan komitmen serta solusi yang beragam.
“Mitigasi dan tindakan adaptasi di laut dan wilayah pesisir akan menentukan jalan kita menuju masa depan yang lebih berkelanjutan dan tangguh,” tutur Victor.
Di antara upaya untuk menjaga ekosistem karbon biru tetap lestari, adalah dengan memperkuat perlindungan terhadap kawasan konservasi. Pada 2045 nanti, diharapkan kawasan konservasi di Indonesia sudah bertambah luas menjadi 30 persen dari total luas lautan nasional.
Agar bisa tercapai target, Pemerintah mengajak semua pemangku kepentingan untuk ikut berkontribusi yang mencakup pemerintah provinsi, perguruan tinggi, dan mitra kerja lainnya. Semua pihak harus bisa sama-sama saling memahami tentang segala peraturan dan pengaturan yang ada di dalam wilayah konservasi.
Victor mengatakan, penambahan perluasan kawasan konservasi hingga 30 persen dari luas lautan sampai 2045 (30×45) merupakan salah satu program ekonomi biru KKP. Demi menggapai target tersebut, pada 2024, KKP menargetkan penambahan luas kawasan konservasi seluas 200 ribu ha, penetapan kawasan konservasi oleh Menteri Kelautan dan Perikanan seluas 2 juta ha, dan pengelolaan kawasan konservasi 17,8 juta ha.
Salah satu dampak perubahan iklim yang saat ini terasa di Indonesia, adalah fenomena pemutihan terumbu karang (coral bleaching) dan kenaikan suhu air laut. Fenomena tersebut diakui KKP harus mendapat perhatian khusus dan penanganan langsung.
“Penilaian fenomena coral bleaching perlu dilakukan karena terumbu karang merupakan ekosistem yang sangat penting bagi kehidupan laut dan manusia,” ungkapnya.
Katanya, terumbu karang adalah rumah bagi berbagai spesies laut, menyediakan sumber daya makanan, perlindungan pantai, dan sumber pendapatan bagi masyarakat pesisir. Sementara, coral bleaching justru dapat mengakibatkan kerusakan ekosistem yang luas dan merugikan bagi kehidupan laut serta sumber daya manusia yang bergantung pada ekosistem karang.
Baca juga : Mampu Serap Karbon, Peneliti: Jangan Jadikan Paus sebagai Objek Biokredit!
Berkaitan dengan hal tersebut, Balai Kawasan Konservasi Perairan Nasional (BKKPN) Kupang bersama National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA) Coral Reef Watch melakukan penilaian terhadap fenomena pemutihan karang.
Penilaian dilakukan secara bertahap sejak Januari 2024 di Kawasan Konservasi Pulau Gili Air, Gili Meno dan Gili Trawangan (Gili Matra) di Provinsi Nusa Tenggara Barat, Kawasan Konservasi Laut Banda di Maluku, dan Taman Nasional Perairan Laut Sawu di Nusa Tenggara Timur.
Direktur Konservasi dan Keanekaragaman Hayati Laut KKP Firdaus Agung menguatkan pernyataan Victor. Dia menyerukan para pemangku kepentingan untuk bersinergi dan menyamakan perspektif dalam mencapai target 30×45.
Untuk itu, diperlukan penghitungan neraca ekosistem, neraca sumber daya ikan, dan neraca karbon biru dari setiap kawasan konservasi. Penghitungan dilakukan, karena pengelolaan tidak hanya fokus pada pengelolaan ruang laut saja tanpa mengelola isinya.
“Di kawasan konservasi isinya adalah spesies-spesies biota laut,” terang dia.
Tentang pemutihan karang, Firdaus Agung menyebut kalau fenomena itu diprediksi oleh para ilmuwan memang akan semakin sering terjadi sebagai dampak dari perubahan iklim. Karenanya, diperlukan pemantauan yang mendesak terhadap wilayah-wilayah ekosistem terumbu karang yang diprediksi mengalami pemutihan karang.
Melalui riset yang dilakukan bersama, diharapkan akan bisa merancang wilayah, waktu, dan rekomendasi jenis kegiatan pemantauan pemutihan karang, serta pedoman pemantauan sesuai prediksi peningkatan suhu permukaan laut dengan fokus utama adalah wilayah kawasan konservasi.
“Hasil monitoring ini kemudian akan dianalisis dan disebarluaskan untuk meningkatan kesadaran dan memberikan edukasi ke masyarakat,” urainya.
Target NDC
Diketahui, KKP telah meluncurkan Profil Aksi Mitigasi Karbon Biru Lamun sebagai bagian dari strategi pemerintah untuk mengatasi perubahan iklim dan meningkatkan potensi karbon biru. Profil ini merupakan hasil kerja sama KKP dan Badan PBB untuk Program Pembangunan (UNDP).
Isi dari profil, adalah tentang hasil perhitungan pengurangan emisi dari ekosistem lamun dan bertujuan untuk melestarikan, meningkatkan potensi penyimpanan karbon, serta memulihkan habitat karbon biru. KKP akan terus berupaya menjadikan ekosistem karbon biru sebagai modal alam yang harus dikelola secara berkelanjutan.
Deputi Bidang Koordinasi Pengelolaan Lingkungan dan Kehutanan Kementerian Koordinasi Bidang Kemaritiman dan Investasi Nani Hendiarti pada kesempatan berbeda mengatakan kalau potensi yang dimiliki Indonesia sangat besar untuk mengembangkan solusi berbasis alam atau nature-based solutions (NBS).
Tercatat, saat ini indonesia memiliki 15 persen NBS yang ada di dunia. Dalam perjalanannya, Indonesia membaca potensi itu sebagai sebuah rencana solusi mengatasi dampak perubahan iklim dan kemudian mengembangkan peta jalan karbon biru.
Lalu, Pemerintah kemudian menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2021 tentang Nilai Ekonomi Karbon untuk memperkuat optimalisasi karbon biru. Selanjutnya, Pemerintah berencana memasukkan sektor kelautan dan karbon biru menjadi bagian dari target nationally determined contribution (NDC) atau target kontribusi nasional.
Saat ini, NDC bertujuan untuk menjalankan target penurunan emisi gas rumah kaca (GRK), di mana target besarnya ditekankan kepada sektor kehutanan yang ada di daratan. Sementara, sektor kelautan dan perikanan masih belum menjadi bagian dari target. (***)