- Harapan pembenahan tata kelola perizinan lewat pencabutan izin-izin bisnis pertambangan skala besar pada 2022 pun pupus melihat perkembangan belakangan ini. Pemerintah malah berencana memberikan izin-izin yang sempat dicabut itu kepada organisasi masyarakat (ormas)-ormas keagamaan.
- Muhammad Jamil, Kepala Divisi Hukum Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Nasional mengatakan, rencana pemerintah memberikan IUP kepada ormas keagamaan adalah kebijakan ngawur. Bagi-bagi izin usaha pertambangan ke ormas keagamaan tak ada dasar hukumnya.
- Undang-undang Minerba mengatur ketat dan terbatas proses perizinan tambang. Mulai dari melalui lelang, izin harus kepada pihak yang memiliki kualifikasi dan kemampuan menambang dan pemulihan lingkungan hidup. Jika ormas tidak memiliki badan usaha atau koperasi bidang usaha pertambangan maka tidak ada jalan baginya untuk dapat izin tambang.
- Fanny Tri Jambore Christanto, Manajer Kampanye Tambang dan Energi Walhi Nasional mengatakan, pencabutan izin pertambangan itu seharusnya diikuti pemulihan wilayah dan pengembalian wilayah konflik terutama, kembali pada masyarakat adat, masyarakat lokal atau masyarakat yang mengelola selama ini sebelum masuk tambang.
Harapan pembenahan tata kelola perizinan lewat pencabutan izin-izin bisnis pertambangan skala besar pada 2022 pun pupus melihat perkembangan belakangan ini. Pemerintah malah berencana memberikan izin-izin yang sempat dicabut itu kepada organisasi masyarakat (ormas)-ormas keagamaan.
Bahlil Ladalia, Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), mengatakan, ormas berbasis keagamaan turut andil dalam memerdekakan bangsa Indonesia. Hal Itu jadi alasan pemerintah mau memberikan izin usaha pertambangan (IUP) kepada ormas-ormas itu.
Pemerintah pun tengah merencanakan bagi-bagi IUP kepada ormas keagamaan lewat revisi Peraturan Pemerintah Nomor 96/2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara. Rencana inipun mendapat kritikan dari berbagai kalangan.
“Logikanya begini loh, kalian punya hari gak sih, NU (Nahdatul Ulama), Muhammadiyah, tokoh gereja, pura hindu di saat Indonesia ini belum merdeka emang siapa anggota memerdekakan bangsa ini?” kata Bahlil, usai konferensi pers di Kantor BKPM, Jakarta, 29 April lalu.
“Saat agresi militer ‘48, yang membuat fatwa jihad emang siapa? Konglomerat ? Emang perusahaan? Yang buat tokoh agama. Di saat Indonesia sudah merdeka masa’ gak boleh kita memberikan perhatian?” katanya.
Dia beralasan, saat Indonesia terkena musibah, pemerintah akan memanggil para tokoh agama untuk membantu menyelesaikan. Meski begitu, katanya, pembagian IUP ini dengan syarat ormas bisa mengelolanya.
“Yang penting kita lakukan dengan baik supaya mereka juga bisa mengelola, yang mengelola kan umat,” katanya.
Bahlil pun sepakat, kebijakan ini jangan sampai menimbulkan konflik kepentingan dengan masyarakat adat. Untuk itu, pertambangan harus dikelola secara profesional. Ormas, katanya, mampu menjalankan tambang dengan baik.
“Dicarikan partner yang baik kalau ada yang mengatakan organisasi keagamaan gak punya spesialisasi untuk mengelola itu. Emang perusahaan-perusahaan yang punya IUP itu mengelola sendiri? Dia juga butuh kontraktor.”
Dia lantas meminta masyarakat bisa bijaksana terkait kebijakan ini. Sebab, tujuannya untuk memperhatikan organisasi berbasis keagamaan baik Muhammadiyah, NU , kelompok Hindu, Buddha hingga Kristen.
“Terus siapa yang memerhatikan, kita kok malah gak senang ya kalau negara hadir untuk membantu mereka, kok ada yang senang kalau investor yang kita kasih terus,” katanya.
Bahlil lantas mengaitkan klaim diri yang lahir di kampung dan sebagai pribadi yang baik.
“Saya kalau untuk urusan agama kapan pun, dimana pun akan saya perjuangkan, siapapun, saya gak ada urusan. Kalau urusan agama, mau Katholik, Protestan, Islam, Hindu, Budha, karena kita ini kan nasional,” katanya, beralasan.
Ngawur, itu langgar UU!
Muhammad Jamil, Kepala Divisi Hukum Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Nasional mengatakan, rencana pemerintah memberikan IUP kepada ormas keagamaan adalah kebijakan ngawur. Bagi-bagi izin usaha pertambangan ke ormas keagamaan tak ada dasar hukumnya.
“Ngawur itu, tidak ada dasar hukumnya,” katanya kepada Mongabay Rabu, (1/5/24).
Pernyataan Bahlil, katanya, melenceng dari makna kata izin. Izin pada dasarnya memperbolehkan sesuatu yang pada dasarnya dilarang, seperti tambang merupakan aktivitas yang merusak lingkungan.
“Pertambangan sesungguhnya hal terlarang karena punya potensi daya rusak luar biasa baik secara sosial juga ekologis. Maka dengan demikian izin tambang haruslah ketat dan terbatas bukan diobral tanpa kaidah lingkungan dan pertambangan serta tanpa dasar hukum,” katanya.
Untuk itu, kata Jamil, Undang-undang Minerba mengatur ketat dan terbatas proses perizinan tambang. Mulai dari melalui lelang, izin harus kepada pihak yang memiliki kualifikasi dan kemampuan menambang dan pemulihan lingkungan hidup.
“Artinya, jika ormas tidak memiliki badan usaha PT (perseroan terbatas) atau koperasi di bidang usaha pertambangan maka tidak ada jalan baginya untuk dapat izin tambang.”
Apabila tetap dipaksakan, kata Jamil, sudah sangat jelas tidak sah demi hukum. Kalau aktivitas pertambangan tetap jalan dengan izin itu, maka harus dipidanakan.
“Karena menambang dengan izin tidak sah sama saja dengan penambangan ilegal. Pejabat pemberi izin juga bisa ke delik penyalahgunaan kewenangan.”
Presiden Joko Widodo meneken Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 1/2022 tentang Satgas Penataan Lahan dan Penataan Investasi pada Januari 2022. Keppres ini memberikan mandat kepada Bahlil mengisi posisi Ketua Satgas yang salah satu tugasnya evaluasi izin tambang, hak guna usaha, dan konsesi kawasan hutan. Juga membuka peluang memberikan fasilitas kemudahan kepada organisasi kemasyarakatan, koperasi, dan lain-lain untuk mendapatkan lahan.
Jokowi kembali mengeluarkan Perpres Nomor 70/2023 tentang pengalokasian lahan bagi penataan investasi pada Oktober 2023. Melalui regulasi ini, satgas yang dipimpin Bahlil kembali dapat tugas mencabut izin tambang, perkebunan, dan konsesi kawasan hutan, serta memberikan izin pemanfaatan lahan untuk ormas, koperasi dan lain-lain.
Hingga kini, satgas yang dibentuk itu telah mencabut 1.118 IUP dan 15 izin pinjam pakai kawasan hutan (IPKH). Izin-izin ini merupakan bagian dari 2.078 izin usaha pertambangan, 192 IPKH, dan 34.448 hektar HGU perkebunan yang ditelantarkan.
Jamil curiga, kebijakan bagi-bagi izin tambang ke ormas keagamaan ini ajang balas budi Jokowi terkait dengan Pemilu 2024. Namun, peraturan itu nyatanya belum bisa terbit karena bertentangan dengan UUD Minerba.
“Sudah ada dalam salah satu pasalnya ketentuan tambang ke ormas, tapi ya bertentangan dengan UU Minerba dan turunannya. Jadi izin gak bisa terbit,” katanya.
“Hanya saja sejak itu terindikasi untuk cawe-cawe ke ormas jelang pemilu. Sekarang pemilu telah usai, saatnya kabulkan janji dan balas budi,” kata Jamil.
Serupa dengan Fanny Tri Jambore Christanto, Manajer Kampanye Tambang dan Energi Walhi Nasional. Dia menduga, ada upaya balas budi kepada ormas terkait pemilu. Ormas, katanya, bukan sebagai badan usaha pertambangan.
“Kenapa itu pemerintah tiba-tiba kasih ide usaha pertambangan ke ormas? Kan setiap lembaga usaha dibentuk secara spesifik untuk mengerjakan sesuatu, Ormas kan tidak dibentuk untuk pertambangan,” kata Rere, sapaan akrabnya.
Dia bilang, biarkan ormas agama mengerjakan sesuai bidangnya. Kebutuhan ormas bukanlah mengelola tambang. “Setiap ormas dibentuk atas kepentingan atau perjuangan sendiri-sendiri, yang pasti bukan untuk mengelola tambang.”
Dia pun merasa ada kejanggalan pencabutan izin yang dilakukan pemerintah pada 2022 yang diharapkan jadi pintu masuk pembenahan tata kelola perizinan. Sayangnya, dalam perkembangan lanjutan, pemerintah mencabut IUP bukan malah melakukan pemulihan lingkungan hidup justru berencana menyerahkan kepada ormas keagamaan.
“Pencabutan izin pertambangan itu harusnya diikuti dengan pemulihan wilayah dan pengembalian wilayah konflik terutama, kembali pada masyarakat adat, masyarakat lokal atau masyarakat yang mengelola selama ini sebelum masuk tambang.”
Seharusnya, pemerintah fokus pada pemulihan lingkungan dan sosial dampak tambang.
“Sebagai catatan ada 11 juta hektar lahan sudah diberikan konsesi pertambangan. Itu menghasilkan hanya konflik dan kerusakan. Konflik berasal dari tambang,” kata Rere.
Dia menuturkan, pertambangan merupakan satu sektor yang menimbulkan krisis lingkungan dan kriminalisasi terhadap masyarakat. Rere mengatakan, kebijakan pemerintah justru akan memperparah kondisi itu.
Apalagi, katanya, ormas tidak memiliki kapasitas untuk mengelola pertambangan dan melakukan konservasi lingkungan pasca kerusakan.
“Pasti akan terus berjalan (konflik), karena selama ini pasca UU Minerba terutama yang mensetralkan petambangan ke pemerintah pusat,” katanya.
Saat izin pertambangan ke perusahaan, katanya, sudah bermasalah karena banyak tumpang tindih dengan wilayah atau ruang hidup warga. “Wilayah yang dikelola rakyat, masyarakat adat dan komunitas lokal lalu dibuat pertambangan, itu yang menimbulkan konflik berkepanjangan sektor pertambangan,” katanya.
******
Presiden Cabut Izin Jutaan Hektar, Saatnya Kembali ke Rakyat dan Pulihkan Lingkungan