Eksploitasi alam besar-besaran oleh korporasi untuk meraup profit dan menumpuk kekayaan, menciptakan malapetaka bagi alam dan manusia, terutama masyarakat adat dan lokal. Krisis iklim, bencana ekologis, kehilangan keanekaragaman hayati, dan runtuhnya ekosistem jadi penanda yang tidak terbantahkan dari terlanggarnya enam dari sembilan batasan bumi (planetary boundaries).[1] Atas nama pemenuhan pangan global, yang dibangun atas nama dominasi korporasi, HAM masyarakat adat dan lokal terlanggar. Mereka kehilangan tanah dan hutan yang menjadi sumber penghidupan. Mereka kehilangan hak mendapatkan lingkungan aman dan sehat. Terutama, masyarakat adat dan komunitas lokal di negara-negara Selatan, yang terus menerus jadi korban kolonialisasi negara-negara Utara.
Penyelamatan bumi ini tentu bisa terbangun di atas solidaritas global. Meski menjadi tanggungjawab bersama, dengan kapasitas berbeda. Tentu perlu korektif kebijakan dan pola konsumsi negara-negara Utara dalam melindungi sistem layanan alam tersisa seperti hutan-hutan dan biodiversitas, berikut dengan penghormatan terhadap HAM masyarakat adat dan lokal di negara-negara Selatan.
Saat ini, beberapa negara maju telah dan sedang menyusun Undang-undang yang memperketat uji tuntas komoditas yang masuk ke negara mereka. Uji tuntas yang ketat ini untuk memproteksi hutan dari praktik deforestasi maupun penghormatan HAM. Di Uni Eropa, sudah ada UU bebas deforestasi Uni Eropa Deforestation-free Regulation/EUDR), di Amerika Serika sedang disusun UU yang sama. Di United Kingdom (UK) juga ada RUU tentang bisnis, HAM, dan lingkungan juga direncanakan untuk ditetapkan. Banyak negara mulai mengupayakan UU yang memproteksi hutan dan HAM, akibat tuntutan kuat konsumen.
Apa pentingnya bagi Indonesia?
Indonesia merupakan satu dari negara-negara Selatan yang selalu jadi obyek eksploitasi untuk memenuhi hasrat kemajuan dan konsumsi negara-negara Utara. Hampir semua hasil ekstraksi alam seperti kayu, mineral batubara, sawit, dan pulp and paper, dikeruk dan ekspor ke negara-negara Utara, antara lain, ke UK. Pembesaran ekstraksi ini bekorelasi dengan perluasan izin, hingga menyebabkan massifnya deforestasi, kehancuran keanekaraman hayati, konflik, perampasan tanah, penggusuran, serta intimidasi dan kriminalisasi.
Menurut data Mapbiomas (2023)[2], dalam rentang 20 tahun terakhir (2000-2020) Indonesia kehilangan 9 juta hektar hutan alam. Kini, hutan Indonesia tersisa 56% yaitu 105 juta hektar, sedangkan pada 2000 seluas 112 juta hektar. Setidaknya, ada tiga komoditas yang jadi driver besar penyebab deforestasi, yaitu, sawit, tambang dan hutan tanaman industri. Periode 2000-2020, ekspansi sawit melonjak 145%, ekspansi tambang melonjak 334%, dan ekspansi hutan tanaman industri 161%.
Meskipun lonjakan tambang dan hutan tanaman industri lebih tinggi, namun luasan sawit lebih besar, 16,5 juta hektar hingga kini (Walhi dan Auriga;2022).[3] Luasan ini meningkat tajam pasca 2000 dari 7,8 juta hektar. Peningkatan ini tidak lepas dari kepentingan global, salah satunya kebijakan renewable energy directive pada 2008. Bahkan, ekspansi sawit yang cepat dan luas ini membuat Indonesia kehilangan 8 juta hektar hutan (pelepasan status hutan menjadi bukan hutan), 6 juta hektar atau 71% untuk korporasi sawit.[4]
Tidak hanya itu, terdapat 3,3 juta hektar kebun sawit ilegal dalam kawasan hutan. Sawit-sawit ilegal ini diduga dimiliki korporasi-korporasi besar seperti Sinar Mas, Wilmar, Musim Mas, Goodhope, Citra Borneo Indah, Genting, Bumitama, Sime Darby, Perkebunan Nusantara, dan Rajawali/Eagle High.[5] Tentunya, 10 korporasi besar ini menjual minyak sawit pada perusahaan-perusahaan costumer brand internasional, hingga jadi produk-produk di keseharian kita.
Konflik, kekerasan, intimidasi masyarakat adat dan komunitas lokal
Hingga kini, Walhi mengadvokasi setidaknya 72 konflik tersebar pada 20 provinsi di Indonesia, 70% merupakan konflik dengan korporasi sawit. Sebanyak 320.000 jiwa keluarga petani harus hidup dalam kecemasan dan ketidakpastian. Bahkan, dalam 10 tahun terakhir (2014-2024), 84 titik dengan 1.054 orang terdiri dari 1.019 laki-laki, 28 perempuan, serta 11 anak-anak diduga mengalami kriminalisasi terkait isu lingkungan (Walhi;2024). Sektor perkebunan termasuk sawit paling tinggi kriminalisasi dan intimidasi, yaitu, sebanyak 502 korban.
Fakta spesifik mengenai hubungan antara Undang-undang baru Bisnis, HAM, dan Lingkungan di UK untuk Indonesia, dapat terlihat pada salah satu kasus berikut, yaitu, operasi anak perusahaan Astra Agro Lestari (AAL) di Sulawesi Tengah dan Sulawesi Barat, Indonesia. Kasus ini, satu dari konflik yang Walhi tangani. Meskipun begitu, kasus ini cukup merepresentasikan kasus-kasus sawit lain di Indonesia.
Operasi AAL menyebabkan deforestasi, pencemaran lingkungan, perampasan tanah, intimidasi dan kriminalisasi masyarakat.[6] Laporan Genesis Bengkulu (2024) menyebutkan, total deforestasi dari operasi 15 anak perusahaan AAL di Indonesia mencapai 12.970 hektar antara 2015-2023.[7] Minyak sawit dari anak perusahaan AAL seperti PT Agro Nusa Abadi, PT Lestari Tani Teladan, dan PT Mamuang kemungkinan besar memasok buah sawit keempat pabrik sawit milik Astra Agro Lestari di Sulawesi Tengah dan Barat. Lalu, minyak sawit dibeli pedagang besar minyak sawit seperti Wilmar, Sime Darby, Cargill, Pemanah Daniels Midland, Bunge Loders Croklaan, dan Olam, yang kemudian dibeli oleh setidaknya 17 merek konsumen—termasuk Procter & Gamble, PepsiCo, Unilever, Colgate Palmolive, Nestlé, General Mills, dan Danone.[8]
Hampir 80% saham Astra Agro Lestari (IDX:AALI) dipegang perusahaan induknya, Astra Internasional (IDX:ASII), independen terbesar grup otomotif di Asia Tenggara, dengan kegiatan usaha di bidang jasa keuangan, pertambangan, agribisnis, infrastruktur, dan teknologi informasi.
Jardine Matheson (LSEG:JARB,SGX:J36, BSX:JMHBD), konglomerat Inggris berkantor pusat di Hong Kong dan berbadan hukum di Bermuda, memegang saham mayoritas di Astra Internasional melalui anak perusahaan di Singapura. Jardine Matheson terpapar dengan operasi sawit AAL di Indonesia melalui anak perusahaan yang 75% saham dimilikinya, Jardine Cycle & Carriage (SGX:C07), yang pada gilirannya memegang 50,1% saham Astra International.[9] Dengan kata lain, keuntungan dari operasi AAL, dinikmati bukannya oleh entitas yang ada di Indonesia, juga negara lain, salah satunya, UK.
Sebanyak 2.485 keluarga terdampak dengan total wilayah berkonflik seluas 5.856 hektar. Seluas 3.966 hektar dari 14.742 hektar konsesi HGU PT Lestari Tani Teladan dan PT Mamuang, berkonflik dengan masyarakat. Berarti, hanya 26% dari luas HGU PT Lestari Tani Teladan dan PT Mamuang yang dituntut masyarakat untuk dikembalikan. Sedangkan PT Agro Nusa Abadi, hingga kini beroperasi ilegal di tanah milik masyarakat tujuh desa di Kabupaten Morowali Utara dengan luasan 19.675 hektar. Sedangkan luasan tanah yang dituntut dikembalikan hanya 890 hektar. Dengan kata lain, hanya 5,7% dari luas wilayah yang dikuasai ilegal PT Agro Nusa Abadi. Sedangkan luas tanah yang dituntut masyarakat untuk dikembalikan PT Sawit Jaya Abadi 2 adalah 750 hektar, hanya 8,8% dari luas wilayah yang dikuasai PT SJA 2 mencapai 8.500 hektar.
Bukan hanya perampasan tanah, anak perusahaan milik Jardine Matheson ini juga melakukan intimidasi, kekerasan bahkan kriminalisasi kepada masyarakat. Hingga kini, sebanyak 36 orang warga yang dapatkan pengancaman, 28 orang dikriminalisasi (10 orang dipenjara dan 18 orang dipanggil polisi), dan satu orang meninggal dunia karena mengalami trauma dampak upaya kriminalisasi. Sedangkan aktor yang paling banyak melakukan kriminaliasi dan intimidasi adalah polisi, disusul preman perusahaan, terakhir, TNI. Beberapa tuduhan yang sering dipakai mengkriminalisasi adalah mencuri buah sawit, perusakan, mempertahankan tanah/menduduki lahan orang lain, dan pengancaman.
PT Agro Nusa Abadi, harusnya mendapatkan hukuman atas aktivitas ilegal tanpa izin selama belasan tahun.
Saat masyarakat memperjuangkan hak asasi mereka, pemilik Astra Internasional sebagai pemilik saham terbesar AAL, lembaga keuangan pemberi kredit, investor, dan pembeli minyak sawit AAL, meraup untung besar dan menumpuk kekayaan mereka.
Fakta-fakta itu menunjukkan, perlu segera korektif kebijakan yang ada dan kebutuhan ada Undang-undang lebih kuat untuk menagih pertanggungjawaban korporasi di UK. Adanya UU ini diharapkan mampu memastikan setiap perusahaan tanpa terkecuali, dapat menghindari deforestasi (baik legal maupun ilegal) dari rantai pasok mereka, sesuai instrumen-instrumen nasional dan internasional yang berlaku. Bukan hanya itu, UU ini juga secara holistik harus mampu menangani kerusakan lingkungan lebih luas serta mampu memenuhi, melindungi dan menghormati hak asasi manusia.
******
*Penulis adalah Uli Arta Siagian, Manager Kampanye Hutan dan Kebun Walhi Nasional. Tulisan ini disusun sebagai bahan utama advokasi Rancangan Undang-undang Bisnis, HAM, dan Lingkungan yang sedang disusun UK, dan telah diserahkan kepada Parlemen UK.
[1] Richardson et al. (2023)
[2] Dapat diakses pada https://mapbiomas.nusantara.earth
[3] Selengkapnya dapat diakses pada https://www.walhi.or.id/uploads/buku/Kuasa_korporasi_di_bumi_pertiwi-FA_1.pdf
[4] Selengkapnya dapat diakses pada https://www.walhi.or.id/uploads/buku/Kuasa_korporasi_di_bumi_pertiwi-FA_1.pdf
[5] Dapat diakses pada https://betahita.id/news/detail/9426/10-besar-grup-sawit-yang-dapat-pemutihan-sinar-mas-wilmar-.html?v=1698509340
[6] Laporan dapat diakses pada https://foe.org/resources/astra-agro-lestari/
[7] Data dapat diakses pada https://yayasangenesisbengkulu.or.id/kampanye/
[8] Laporan dapat diakses pada https://foe.org/resources/astra-agro-lestari/
[9] Laporan dapat diakses pada https://foe.org/resources/astra-agro-lestari/
Kala Uni Eropa Sahkan UU Produk Bebas Deforestasi, Apa Artinya bagi Indonesia?