- Kasus korupsi ore nikel ilegal yang melibatkan pejabat di lingkungan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral maupun para pengusaha nikel di Blok Mandiodo, Konawe Utara, Sulawesi Tenggara (Sultra) dan sudah vonis. Ridwan Djamaluddin, mantan Direktur Jenderal Mineral dan Batubara (Minerba), Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM) dan Sugeng Mujiyanto, mantan Direktur Pembinaan dan Pengusahaan Minerba, KESDM kena hukuman masing-masing tiga tahun enam bulan penjara. Para pengusaha kena vonis lebih tinggi.
- Dalam berita Mongabay sebelumnya menyebutkan, PT Antam memenangkan gugatan atas 11 izin konsesi tumpang tindih dan mengelola Blok Mandiodo sejak Desember 2021. Total, ada 39 perusahaan bergabung dan mengelola konsesi Antam. Namun, Antam baru mengelola 22 hektar lahan karena 157 hektar yang lain belum ada izin pemanfaatan kawasan hutan. Nikel hasil penambangan di lahan ratusan hektar tersebutlah yang dikelola dan dijual ilegal.
- Sepatutnya, hakim memberikan hukuman maksimal bagi Ridwan Djamaluddin dan kompolotannya. Kenyataannya, vonis Ridwan lebih ringan dari tuntutan jaksa. Sebelumnya jaksa tuntut lima tahun penjara denda Rp500 juta, subsider tiga bulan. Dalam tuntutan jaksa, perbuatan para terdakwa kasus korupsi tambang ore nikel ini menyebabkan potensi kerugian negara sampai Rp5,7 triliun.
- Muhammad Jamil, Kepala Divisi Hukum Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Nasional mengatakan, pengawasan di KESDM perlu diperbaiki, dan diperketat agar orang-orang yang punya kekuasaan begitu besar tidak sewenang-wenang menggunakan kekuasaan untuk menguntungkan diri dan kelompoknya yang berakibat pada kerugian keuangan negara.
Ridwan Djamaluddin, mantan Direktur Jenderal Mineral dan Batubara (Minerba), Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM) terbukti bersalah atas kasus korupsi tambang ore nikel PT Antam di Blok Mandiodo, Konawe Utara, Sulawesi Tenggara (Sultra). Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi (PN) Jakarta Pusat, mengganjarnya tiga tahun enam bulan penjara. Hukuman sama juga didapatkan Sugeng Mujiyanto, mantan Direktur Pembinaan dan Pengusahaan Minerba, KESDM.
Fahzal Hendri, Ketua Majelis Hakim mengatakan, keduanya terbukti sah dan menyakinkan bersalah melakukan tindak pidana korupsi bersama-sama sebagaimana dalam dakwaan subsider penuntut umum.
“Menjatuhkan pidana kepada terdakwa I Ridwan Djamaluddin dengan pidana penjara selama tiga tahun dan enam bulan. Terdakwa II Sugeng Mujiyanto dengan pidana penjara selama tiga tahun dan enam bulan,” katanya saat sidang di PN Tipikor Jakarta Pusat, 25 April lalu.
Hakim juga menjatuhkan denda kepada Ridwan dan Sugeng sebesar Rp200 juta dengan ketentuan apabila tidak dibayar akan diganti pidana kurungan dua bulan.
“Menetapkan masa penahanan yang dijalani para terdakwa dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan. Menetapkan para terdakwa tetap berada dalam tahanan,” katanya.
Hakim juga membacakan vonis kepada tiga terdakwa lain, yakni, Yuli Bintoro selaku Koordinator Pengawasan Usaha Operasi Produksi dan Pemasaran Mineral, Henry Julianto selaku Subkoordinator Pengawasan Usaha Operasi Produksi Mineral dan Eric Viktor Tambunan selaku Evaluator Pengawasan Usaha Operasi Produksi dan Pemasaran Mineral. Mereka kena vonis tiga tahun penjara dan denda Rp200 juta, subsider dua bulan hukuman.
Vonis mereka lebih ringan dengan tiga terdakwa lain dari perusahaan, yakni, Windu Aji Sutanto pemilik PT Lawu Agung Mining (LAM), Glen Ario Sudarto selaku pelaksana lapangan LAM dan Ofan Sofwan, merupakan Direktur LAM.
Windu kena pidana delapan tahun penjara, denda Rp200 juta subsider dua bulan dan biaya uang pengganti Rp135, 836 miliar. Kalau tidak bisa bayar, jaksa berwenang menyita harta bendanya, atau pidana dua tahun.
Glen vonis hukum tujuh tahun, denda Rp200 juta subsider dua bulan dan Ofan enam tahun penjara, dan denda sama Rp200 juta subsider dua bulan penjara.
Dalam berita Mongabay sebelumnya menyebutkan, Antam memenangkan gugatan atas 11 izin konsesi tumpang tindih dan mengelola Blok Mandiodo sejak Desember 2021.
Total, ada 39 perusahaan bergabung dan mengelola konsesi Antam. Namun, Antam baru mengelola 22 hektar lahan karena 157 hektar yang lain belum ada izin pemanfaatan kawasan hutan. Nikel hasil penambangan di lahan ratusan hektar tersebutlah yang dikelola dan dijual ilegal.
Vonis hukum ringan?
Muhammad Jamil, Kepala Divisi Hukum Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Nasional mengatakan, vonis ini masih jauh dari kepastian hukum. Terlebih, katanya, Ridwan merupakan pejabat negara. Dia pernah jabat di tingkat daerah sampai pusat.
Pejabat seperti Ridwan, katanya, memahami betul soal hukum tetapi justru melanggarnya. Sepatutnya, hakim memberikan hukuman maksimal bagi Ridwan Djamaluddin dan kompolotannya.
“Nah, dalam hukum itu dikenal bahwa ketika suatu pelanggaran hukum atau perbuatan melawan hukum atau kejahatan justru oleh orang yang paham dan mengerti hukum maka hukuman maksimal sesuai pasal yang dilanggar,” katanya kepada Mongabay, awal Mei.
Kenyataannya, vonis Ridwan lebih ringan dari tuntutan jaksa. Sebelumnya jaksa tuntut lima tahun penjara denda Rp500 juta, subsider tiga bulan. Dalam tuntutan jaksa, perbuatan para terdakwa kasus korupsi tambang ore nikel ini menyebabkan potensi kerugian negara sampai Rp5,7 triliun.
“Makanya kita lihat putusan ini tidak sesuai asas atau tidak sesuai keadilan dan kepastian hukum,” kata Jamil.
Sejauh ini, ada 13 orang terjerat kasus ini, delapan di PN Tipikor Jakarta Pusat, dan lima sidang di PN Tipikor Kota Kendari. Mereka adalah Andi Adriansyah, Direktur Utama PT Kabaena Kromit Pratama (KKP), dan Agus Salim Majid Kuasa selaku Direktur PT Cinta Jaya. Lalu, Direktur PT Tristaco, Rudy Hariyadi Tjhandra, dan General Manager PT Antam Konawe Utara, Hendra Wijayanto dan Amelia Sabara, terdakwa yang menghalangi penyidikan.
Jamil bilang, merujuk UU Nomor 30/2014 tentang Administrasi Pemerintahan, Menteri ESDM bisa terjerat hukum karena membiarkan korupsi terjadi. Apabila Menteri ESDM tidak mengetahui perbuatan Ridwan Djamaluddin, berarti pengawasan di lembaga itu lemah.
“Pengawasan di KESDM perlu diperbaiki, diperketat agar orang-orang yang punya power (kekuasaan) begitu besar tidak sewenang-wenang menggunakan kekuasaan untuk menguntungkan diri dan kelompoknya yang berakibat pada kerugian keuangan negara.”
Kendati begitu, Jamil menyadari, sistem hukum Indonesia memang belum tegas. Apalagi kalau melibatkan pejabat negara atau pihak yang punya kekuasaan di perusahaan.
****
Kala Tata Kelola Karut Marut, Kajian Sebut Sektor Pertambangan Rawan Korupsi