- Kali Jompo, belakangan ini jadi tempat tujuan wisata warga di Jember, Jawa Timur. Sungai dengan air jernih ini mengalir di dalam perkebunan kopi dan karet Desa Klungkung, Kecamatan Sukorambi, Jember.
- Hilma Aprilia, pengunjung asal Kelurahan Wirolegi, Kecamatan Sumbersari, Jember mengatakan, Kali Jompo sekilas seperti sungai biasa. Bedanya, di sini pemandangan dan suasana begitu asri. Kali Jompo tidak banyak polesan cat warna warni sana-sini seperti tempat wisata umumnya.
- Zainul Muhtadi, penggagas wisata Kali Jompo mengatakan, pemanfaatan Kali Jompo jadi wisata alam untuk jaga kebersihan sungai, angkat nama desa, dan bantu ekonomi warga sekitar.
- Wisata ini masyarakat kelola secara swadaya, tak ada niatan diserahkan kepada pemodal. Terlebih, katanya, berkaca pada beberapa pengelolaan wisata lain dengan campur tangan investor, mereka tak mandiri dan terkekang.
Air jernih mengalir deras melewati bebatuan. Tanaman bambu berjejer kokoh di gundukan tanah. Di belakangnya, jembatan melintang di atas aliran air. Dari permukaan, bebatuan terlihat jelas.
Daun dan ranting pohon karet dan kopi di sepanjang bantaran kali bergerak pelan mengikuti arah angin bak saling sapa satu sama lain. Sejumlah pengunjung riuh. Ada yang berjalan dengan temannya, duduk santai. Sebagian lain sibuk antri beli jajanan.
Di sudut lain, sejumlah remaja duduk santai di atas bebatuan. Mereka berswafoto secara bergantian dengan ragam gaya. Sesekali, tangannya dicelupkan ke dalam air.
Pemandangan ini terlihat di wisata Kali Jompo, sungai di perkebunan kopi dan karet Desa Klungkung, Kecamatan Sukorambi, Kabupaten Jember, Jawa Timur, pagi itu.
Berjarak sekitar 15 kilometer, sekitar 30 menit dari pusat Kota Jember untuk bisa sampai ke lokasi ini gunakan kendaraan bermotor.
Hilma Aprilia, pengunjung asal Kelurahan Wirolegi, Kecamatan Sumbersari, Jember mengatakan, Kali Jompo sekilas seperti sungai biasa. Bedanya, di sini pemandangan dan suasana begitu asri.
“Kalau dilihat kayak sungai biasa gitu. Jadi bagus karena dimanfaatkan untuk wisata alam,” katanya, kepada Mongabay.
Keasrian dan alami wisata Kali Jompo tidak banyak polesan cat warna warni sana-sini seperti tempat wisata umumnya. Suasana di sini alami, dari sungai dan pemandangan sekitar.
Serupa dikatakan Putri Adila, pengunjung lain asal Sumbersari, Jember. Kesejukan di Kali Jompo, karena air jernih dan pepohonan di sekitar rimbun.
“Asri seger. Adem juga suasananya. Ini sudah bagus dibiarkan alam,” katanya.
Sama seperti Hilma, Putri datang ke wisata Kali Jompo karena tahu dari postingan di media sosial. Kali Jompo, katanya, menambah pilihan wisata kalau di Jember.
Jangan rusak dengan sampah
Sayangnya, tempat sejuk nan asri ini masih ada sampah terserak di beberapa titik. Sampah-sampah itu, kata Hilma, merusak estetika tempat wisata.
Pengunjung, katanya, harus sadar dan jaga kebersihan dan keasrian Kali Jompo bersama. Pengelola sediakan tempat sampah, katanya, agar pengunjung tidak asal buang sampah.
“Dimana dan kemana dan kapanpun, perlu jaga kebersihan. Termasuk ketika berwisata,” kata mahasiswa Universitas Negeri Surabaya ini.
Jaga alam, bantu ekonomi warga
Zainul Muhtadi, penggagas wisata Kali Jompo cerita awal mula muncul niat Kalijompo jadi tempat wisata alam. Kala itu, dia sedang menikmati rujak di warung terbuka di pinggir kali merasakan ketenangan dan sejuk.
Air sungai mengalir deras, dan jernih dengan air gemericik deras. Pohon-pohon karet menjulang dan pohon-pohon kopi yang rimbun.
“Wah, di sini, kok adem, sejuk. Duduk-duduk santai di bawah pohon rasanya enak sambil menikmati rujak. Andai dimanfaatkan jadi tempat wisata, kira-kira bisa nggak ya? Bagaimana caranya?,” kata Tadi, sapaan akrabnya, mengenang kejadian Agustus tahun lalu.
Selang beberapa hari kemudian, Tadi, mengajak pemuda dan sebagian warga untuk memikirkan andai Kali Jompo jadi tempat wisata. Mereka yang berdomisili di sekitar Kali Jompo setuju.
Tak sampai satu minggu dari urun rembuk itu, Tadi dan rekannya kompak membersihkan sampah, ranting-ranting pohon, plastik, daun kering, dan lainnya yang berserakan.
Beberapa rekan yang lain mengambil foto dan video untuk diposting di berbagai platform media sosial.
Tadi juga Ketua Komunitas Sataretanan. Kata sataretanan, berasal dari Bahasa Madura, berarti ikatan saudara atau persaudaraan. Melalui komunitas itu, Tadi dan memanfaatkan Kali Jompo untuk tempat wisata.
Sataretanan terbentuk 17 Juli 2021. Kegiatannya untuk sosial, seperti khitanan, santunan, baik santunan kematian dan untuk dhuafa.
Komunitas ini punya prinsip, “siaga membantu masyarakat untuk kebaikan.” Komunitas itu memilih mandiri dan independen. Tak pandang bulu dalam membantu.
Air yang mengalir di sepanjang kali tidak semua dari gunung. Ada juga dari mata air yang muncul dari pinggiran kali.
“Debit air normal. Air tetap mengalir meskipun kemarau. Hanya kalau kemarau berkurang. Sungai dimanfaatkan banyak hal, termasuk irigasi ke ladang-ladang warga,” katanya.
Area tempat wisata masih di bagian pintu masuk perkebunan karet dan kopi. Ia juga jadi area akses warga kalau ke lereng gunung.
Dia bilang, pemanfaatan Kali Jompo jadi wisata alam untuk jaga kebersihan sungai, angkat nama desa, dan bantu ekonomi warga sekitar.
“Intinya, pemanfaatan Kali Jompo untuk kebaikan bersama. Alam dan ekonomi warga. Kami kelola ini secara swasembada antar anggota komunitas dan dukungan masyarakat juga,” kata Tadi.
Tadi meyakini, pengelolaan wisata Kali Jompo memiliki dampak signifikan, baik budata, lingkungan dan ekonomi.
“Dari segi budaya, paling tidak kami bisa tahu bahasa pengunjung, dan pengunjung bisa tahu bahasa kami. Termasuk, bagaimana cara kami masyarakat lokal, menyambut dan menghargai tamu,” katanya.
Secara ekonomi, makin banyak warga berjualan setelah ada wisata Kali Jompo. Setidaknya, ada 12 stand jualan saat ini.
“Mungkin akan ada tambahan dari waktu ke waktu.”
Warga yang jualan dapat fasilitas stand cuma-cuma dengan hanya bayar uang kebersihan Rp5.000 setiap hari.
“Saat ini, ada sekitar 12 stand untuk UMKM 12. Gratis, 11 stand untuk warga, satu untuk Komunitas Sataretanan.”
Wisata ini masyarakat kelola secara swadaya, tak ada niatan diserahkan kepada pemodal. Terlebih, katanya, berkaca pada beberapa pengelolaan wisata lain dengan campur tangan investor, mereka tak mandiri dan terkekang.
“Akibatnya, pengelola yang notabene masyarakat lokal, harus ikut apa kata investor. Tidak bebas. Investor pernah ada yang kasih tawaran, perusahaan maupun perorangan. Cuma kami gak mau ribet dengan itu. Kami mau mandiri saja. Sesuai kemampuan,” katanya.
Pemerintah desa pun pernah mengajak kerjasama tetapi mereka memilih mandiri dan independen untuk menghindari hal-hal tidak diinginkan, seperti khawatir ada benturan dengan politik desa.
“Kami khawatir nanti kami, pengelola, dan warga yang sudah saling rangkul, terjebak di urusan politik. Pengelolaan Wisata Kali Jompo ini dari, oleh, dan untuk masyarakat secara mandiri,” katanya.
Meskipun begitu, mereka berharap pemerintah daerah memberikan perhatian. Sebagai bagian dari Jember, katanya, pengelola wisata Kali Jompo berharap dukungan pemerintah daerah, baik pemikiran, dan sarana prasarana.
“Sementara ini, fasilitas tersedia berupa tempat shalat, MCK, gazebo untuk duduk santai di beberapa sudut, kursi ala kadarnya, stand jualan.”
Kalau pengunjung, katanya, setiap hari pasti ada tetapi ramai kalau hari libur. Mereka melihat dari motor yang datang.
“Dari jumlah motor, kalau hari biasa, bisa dibilang puluhan motor. Kalau hari libur, bisa sampai 300-an motor. Pengunjung biasa, tidak ditarik uang masuk. Hanya kena uang parkir motor Rp2.000, mobil Rp5.000,” katanya.
Di Kali Jompo, katanya, juga ada fasilitas kemah. Pengunjung yang ingin berkemah atau bermalam kena tarif Rp5.000 per orang.
Sejauh ini, katanya, pengunjung masih lokal dari Jember dan sekitar, Blitar maupun Sidoarjo.
“Pernah ada sekali, pengunjung dari Prancis. Entah waktu itu dia tahu dari media sosial, atau diajak temannya ke sini.”
Nawiyah, warga yang berjualan di Kali Jompo senang ada wisata ini. Selain desa terkenal dan dikunjungi banyak orang, dia juga bisa berjualan.
“Bersyukur, desa jadi viral. Saya bisa jualan. Lumayan, nambah pemasukan. Enaknya, stand jualan disediakan dan cuma diminta uang kebersihan Rp5.000 tiap hari,” katanya.
Dia bilang, pemasukan pun lumayan. Kalau lagi sepi, penjualan kurang Rp150.000, tetapi kalau sedang ramai Rp200.000-Rp300.000 lebih.
Nawiyah berharap, Wisata Kali Jompo terjaga dan pengunjung makin ramai. Fasilitas jualan pun dia harap, ada permanen atau lebih besar untuk mengantisipasi pada musim penghujan.
“Kalau hujan, harus nepi, bisa dibilang nempel sama gerobak jualan beratapkan terpal. Kalau atap permanen akan lebih nyaman.”
******
Pesona Gili Balu, Wisata Bahari sekaligus Konservasi di Sumbawa Barat