Saat menyusuri Sungai Musi yang membelah Kota Palembang, saya sering mencium bau amonia. Bau yang berasal dari aktivitas sejumlah industri.
Saya juga mencium bau tidak sedap setiap kali ke pasar tradisional, sejumlah jalan protokol, atau permukiman kumuh di tepi Sungai Musi. Yakni bau telur busuk atau tengik. Bau ini berasal dari tumpukan sampah, baik di tanah maupun sungai.
Di pedesaan, saya juga mencium bau tidak sedap. Seperti di sekitar pabrik pengolahan minyak sawit dan pertambangan batubara. Pancaran harumnya pepohonan dari hutan tersisa, tidak mampu menghilangkan bau tidak sedap tersebut.
Saya percaya, apa yang saya alami, juga dirasakan banyak manusia di berbagai belahan dunia.
Sebagaimana bau busuk yang dicium masyarakat Kota London, Inggris, pada 1858, yang disebut “Kejutan Bau Busuk London”. Bau busuk akibat Sungai Thames menjadi kolam pembuangan kotoran atau limbah manusia, industri, dan bangkai-bangkai yang membusuk.
Bau busuk atau tidak sedap, yang saya pahami berasal dari dua sumber. Pertama, dari proses dekomposisi mikroorganisme yang menghasilkan gas. Kedua, dari senyawa kimia berupa gas.
Saya mencium aroma Bumi, perlahan tidak sedap. Saya sudah sulit mendapatkan aroma Petrichor yang semerbak. Petrichor adalah aroma tanah yang khas, muncul setelah hujan membasahi Bumi.
Asumsi saya, hadirnya bau tidak sedap di Bumi bukan hanya dikarenakan proses alami, seperti erupsi gunung berapi, juga disebabkan rusaknya bentang alam, yang membuat banyak hilangnya [kematian] flora dan fauna, yang selama ini berfungsi mengharumkan Bumi.
Selain itu, umat manusia terus memproduksi bau tidak sedap dari penggunaan sumber daya mineral berlebihan dan memproduksi limbah [industri, rumah tangga, perkebunan, pertambangan, dan peternakan skala besar], yang melepaskan karbon dioksida, metana, amonia, sulfur dioksida, dan lainnya.
Jika akhirnya aroma Bumi didominasi bau amonia, mesiu, telur busuk, atau gabungan aroma tidak sedap tersebut, dipastikan Bumi mengalami proses kiamat atau sudah kehilangan semua makhluk hidup.
Sampai saat ini, berdasarkan penelitian, di antara planet-planet yang mengitari matahari [Galaksi Bima Sakti], hanya Bumi yang didiami banyak makhluk hidup [flora dan fauna]. Sementara Mars, Merkurius, Venus, Jupiter, Saturnus, Uranus, dan Neptunus diduga kuat tidak dihuni banyak makhluk hidup.
Berdasarkan ringkasan artikel yang ditulis Dr Brad Tucker dan Dr Helen Maynard, dimuat Australian Academy of Science, sejumlah planet di sekitar Bumi tersebut beraroma tidak sedap. Dipastikan, manusia tidak ada yang mampu bernapas di planet-planet tersebut.
Misalnya, Mars yang diperkirakan berbau telur busuk. Sebab planet ini dipenuhi besi, magnesium, belerang, asam, dan CO2.
Jupiter yang memiliki beragam bau seperti amonia atau telur busuk. Uranus yang dipenuhi gas hidrogen sulfida, amonia, metana, dan karbon dioksida, yang melahirkan banyak aroma tidak sedap. Kemudian Venus yang dipenuhi sulfur dioksida aromanya seperti telur busuk.
Bau busuk, bau uang
Tidak setiap manusia membenci bau busuk atau bau tidak sedap. Bagi masyarakat yang hidupnya dari berkebun karet, bau busuk dari getah karet yang direndam adalah uang. Kian menyebar bau busuknya, kian banyak uangnya.
Begitu pun para pekerja di pertambangan migas, batubara, dan nikel. Bau tidak sedap adalah pertanda uang. Hal yang sama juga dirasakan para pekerja di sejumlah industri. Kehadiran bau tidak sedap sebagai pertanda industri berjalan, yang berarti uang terus beredar.
Mereka menikmati bau tidak sedap tersebut, meskipun tidak sedikit mengalami gangguan kesehatan akibat racun dari gas yang menyebarkan bau tidak sedap.
Apakah para pihak yang mendapatkan banyak keuntungan [legal maupun ilegal] dari aktivitas pertambangan, perkebunan, dan juga industri menikmati bau tidak sedap tersebut?
Rasanya tidak. Mereka justru hidup dengan beragam aroma wangi dan udara segar, serta kemewahan. Seperti yang dirasakan sejumlah orang yang diduga terlibat korupsi sekitar Rp271 triliun dari aktivitas penambangan timah di Kepulauan Bangka Belitung.
Kematian
Tidak ada makhluk hidup di Bumi yang tidak menghasilkan bau busuk setelah mati. Bau busuk ini muncul dari proses dekomposisi oleh mikroorganisme yang menghasilkan sejumlah gas berbau tidak sedap.
Bahkan, bau busuk jasad manusia tidak berbeda jauh dari bau busuk bangkai binatang. Meskipun bau busuk jasad manusia memiliki keunikan dibandingkan bangkai satwa.
Jadi, sangat memungkinkan kerusakan dan kematian massal makhluk hidup di Bumi sebagai dampak puncak perubahaan iklim dan perang dunia di masa mendatang, membuat Bumi beraroma tidak sedap, seperti halnya planet-planet yang tidak banyak [tidak ada] didiami makhluk hidup.
Guna mencegah percepatan Bumi beraroma tidak sedap, tentunya kita harus menekan banyak kerusakan bentang alam dan kematian makhluk hidup. Meskipun, kita tidak dapat menghindari kematian alami yang menghasilkan bau busuk.
Upayanya, seperti yang sering dikampanyekan para pegiat lingkungan dan kemanusiaan, umat manusia harus melakukan kegiatan yang tidak merusak Bumi, baik untuk kepentingan ekonomi maupun teknologi. Juga, tidak memilih perang yang menggunakan sejumlah senjata dalam mengatasi sebuah konflik atau perselisihan.
Semoga, esok dan masa mendatang, Bumi tidak kehilangan aroma wanginya, seperti potongan kecil dari surga yang dijanjikan Tuhan terbebas dari bau busuk.
Selamat merayakan Hari Bumi dengan seribu harapan.
* Taufik Wijaya, jurnalis dan pekerja seni menetap di Palembang. Tulisan ini merupakan opini penulis.
Refleksi Akhir Tahun: Mencari Presiden yang Melawan Perubahan Iklim Global