- Masyarakat Dayak Pitap, memiliki kearifan terjaga. Mereka menjaga kehidupan dengan tradisi berladang, dan perlakuan terhadap alam yang penuh hormat.
- Tradisi berladang Dayak Pitap bukan sekadar memperoleh makanan, juga memperkuat ikatan spiritual. Setiap proses diawali dan diakhiri dengan ritual. Menunjukkan betapa dalamnya keyakinan mereka akan pentingnya hubungan mereka dengan alam dan leluhur.
- Masyarakat Dayak Pitap adalah penjaga hutan sejati. Hutan memiliki arti penting dalam kehidupan mereka. Bukan sekadar sumber air, pangan, dan papan juga spiritualitas. Dalam memelihara kelestarian hutan, Masyarakat Dayak Pitap punya aturan tata-ruang tersendiri.
- Keberadaan Dayak Pitap terus terancam oleh perusahaan yang ingin mengeksploitasi sumber daya alam di wilayah ulayat. Hilangnya hutan dipastikan bakal menggerus inti kehidupan dan identitas mereka.
Eka Karlina, menyisir ladang di kaki Gunung Hauk, Desa Kambiayin, Kecamatan Tebing Tinggi, Kabupaten Balangan, Kalimantan Selatan (Kalsel), 27 Maret lalu. Tangan begitu cekatan membersihkan rumput liar, sambil bibir komat-kamit merapal mantera sebagai doa kepada leluhur.
“Mudah-mudahan hasil panen tahun ini baik,” kata guru honorer di SMP Negeri 2 Awayan, Balangan itu.
Perempuan Adat Dayak Pitap ini bermukim di bentangan Pegunungan Meratus. Meski mengajar, keseharian perempuan 27 tahun itu tetap behuma (berladang).
“Kebetulan hari ini sekolah sedang libur, karena Ramadan. Biasa kalau ngajar, sebelum atau sepulang sekolah saya sempatkan ke huma, meski hanya untuk melihat-lihat atau mencabut rumput,” kata ibu satu anak itu.
Berladang bukan sekadar pekerjaan tetapi tradisi bagi Masyarakat Dayak Pitap.. Mereka yang tidak melakukan tanpa alasan kuat, dipercaya bisa ketiban sial (pamali).
“Memang ada yang tidak (berladang). Boleh, kalau tidak bisa sama sekali. Tapi mesti ada ritual yang dilakukan,” katanya.
Reni Antika, perempuan Dayak Pitap asal Desa Langkap, Tebing Tinggi, pernah mengalami pamali karena meninggalkan kebiasaan berladang.
Padahal, tak meneruskan budaya pedatuan (nenek moyang) itu bukan berangkat dari keinginan pribadi. Sebagai bidan, perempuan 35 tahun ini tak lagi punya waktu untuk mengurus ladang. Tuntutan pekerjaan juga mengharuskan dia keluar kampung dan mengabdi di desa lain, kendati masih satu kecamatan.
Apalagi Reni tidak menikah dengan orang Dayak Pitap. Suami asal Jawa dan tidak memahami tradisi behuma.
“Saya pernah bilang ke orang tua, tidak bisa behuma lagi. Bila perlu beras, tinggal beli saja,” katanya.
Anak kedua Reni lahir dengan fisik sakit-sakitan. Paling sering demam dan diare. Berbagai pengobatan medis dicoba, tetapi hasil tak memuaskan.
“Hampir satu tahun seperti itu,” katanya.
Reni kemudian berinisiatif membawa ke seorang balian (penghulu spiritual Dayak Pitap) sebagai ikhtiar untuk kesembuhan si buah hati.
“Saya disebut terkena pamali, karena tidak behuma,” katanya.
Reni pun mengikuti saran tetua adat itu. Berladang di lahan seluas 1,5 hektar milik orang tuanya.
“Syukurlah, anak saya tidak sakit-sakitan lagi. Sampai kini, saya masih behuma, walau jarang menengok (ladang) karena kesibukan,” katanya.
Arti padi dan daulat pangan
Padi, punya hubungan erat dengan adat istiadat Masyarakat Dayak, tak terkecuali Dayak Pitap.
Bagi mereka, kedudukan padi itu sakral. Bukan cuma sekadar pangan atau pengisi perut.
Padi, secara simbolik, dipercaya sebagai sesuatu yang diciptakan untuk menghubungkan antara dunia bawah yang fana dan dunia atas yang kekal.
Padi dianggap sebaik-baik karunia dari sang pencipta. Diturunkan ke bumi demi kemakmuran manusia.
Maka, berladang menjadi suatu keniscayaan bagi tiap keluarga di Masyarakat Dayak Pitap.
Sebagai bentuk penghormatan kepada Tuhan, leluhur, dan alam, menanam padi juga tidak bisa sembarangan. Setiap proses berladang selalu diawali dan diakhiri dengan ritual (aruh adat).
Juhan, balian (tabib) di Kambiayin menuturkan, dalam mengawali masa tanam, umumnya Masyarakat Dayak Pitap mencari lahan yang subur untuk ditanami padi.
Lahan yang dirasa baik untuk ditanami akan diberi tanda. Rumput dibersihkan seluas tikar. Dibuat juga sangkar dari pohon mahang dan akar kayu, kemudian ditaruh di sana.
Setelah itu, lanjut batirau. Dalam prosesi ini, seorang balian akan mengambil segumpal tanah dari lahan yang rencana ditanami.
Tanah itu dibacai mantera, dibawa ke rumah dan diletakkan di bawah bantal tidur. Konon, sebuah pesan akan dikirimkan ke alam mimpi si balian atau salah satu anggota keluarga yang ingin berladang. Mimpi akan jadi penentu areal itu baik atau tidak untuk jadi ladang.
“Kalau lahan baik untuk jadi huma, biasa kami mimpi mendaki gunung, mimpi berenang, atau mimpi melihat buah-buahan,” katanya.
Sebaliknya, pertanda tidak baik seperti mimpi matahari atau api, tanda huma akan terbakar. Melihat air, pertanda huma akan kebanjiran. “Atau mimpi diserang orang, pertanda serangan hama,” katanya.
Bila mimpi yang datang tidak baik, maka mereka akan mencari lokasi lain untuk membuka ladang.
Kalau lahan sudah ditentukan, berikutnya adalah betabas, betilah, dan betabang. Ketiga prosesi ini adalah kegiatan yang sama, yakni pembersihan lahan. Betabas adalah pembersihan tumbuhan, betilah adalah penebangan bambu, sedang betabang adalah adalah penebangan pohon.
“Namun tak bisa dilakukan bersamaan,” kata Juhan.
Pasca pembersihan, Masyarakat Dayak Pitap akan mendiamkan dulu selama puluhan hari dan lanjut membakar kayu-kayu hasil tebangan (menyelukut).
Pembakaran tidak ugal-ugalan. Masyarakat akan melihat kondisi cuaca, membuat sekat bakar, memperkirakan arah angin, dan menjaga bersama agar api tidak menjalar ke lahan lain.
“Jika api merembet ke lahan lain, ada sanksi adat yang harus dibayarkan oleh yang membakar kepada pemilik lahan yang terbakar,” katanya.
Abu-abu hasil pembakaran akan dimanfaatkan sebagai pupuk alami untuk kesuburan tanah yang akan ditanami.
Semua proses dari betabas, betilah, betabang hingga menyelukut, juga diikuti ritual-ritual yang dipimpin oleh balian.
Lahan yang sudah bersih lalu didiamkan dalam kurun waktu paling lama sebulan.
“Selanjutnya, kami melaksanakan aruh adat manugal,” kata Juhan.
Manugal ialah praktik penanaman padi secara gotong-royong oleh masyarakat sekampung dengan tugal atau kayu yang ujungnya dibuat lancip.
Para pria kebagian tugas melubangi tanah, perempuan mengisi dengan benih padi.
Manugal ini diisi dengan persembahan sesajen dan pembacaan mantera-mantera (bamamang) oleh balian sebagai media komunikasi kepada leluhur.
“Supaya diberikan restu, kesehatan, juga kebaikan,” kata Juhan.
Selanjutnya, aruh adat palas banih atau basambu umang. Digelar pada saat benih padi mulai bertunas dan mengeluarkan buah.
Aruh ini digelar untuk syukuran sebelum panen dengan mengikat satu batang padi, disertai sesajen berupa giling (kinangan atau rokok), serta pemotongan hewan.
Ritual ini untuk tolak bala dari serangan hama. Dianalogikan seperti perlakuan terhadap perempuan hamil muda, perlu dijaga dan dirawat.
“Terakhir, kami mengatam (panen) padi. Gotong-royong bersama warga satu kampung,” katanya.
Ketika panen sudah berlangsung setengah jalan, padi dibawa pulang ke rumah. Masyarakat Dayak Pitap kemudian melaksanakan aruh adat bamula.
“Bisa dilaksanakan perorangan atau bersama-sama berkelompok,” katanya.
Ketika prosesi ini, hasil panen masuk ke dalam lulung (lumbung dari anyaman bambu di dalam rumah).
Kendati demikian, hasil panen padi belum boleh dimakan, hingga seluruh kampung selesai panen dan terlaksana aruh adat palas paung (terkadang juga disebut mahanyari, bawanang, atau baharin).
“Aruh adat ini adalah wujud rasa syukur atas hasil panen yang diberikan Tuhan,” katanya.
Untuk pelaksanaan aruh ini, tiap-tiap keluarga akan menyumbangkan hasil panen ke balai adat.
“Jumlahnya sukarela. Kalau tidak bisa memberi, pamali. Ini juga yang jadi sebab kenapa kami harus behuma. Karena jika tidak, artinya tidak bisa ikut aruh,” katanya.
Upacara dipimpin balian yang bisa berkomunikasi dengan leluhur. Dibarengi dengan bermacam rupa sesajen yang diambil dari hutan, dan daging hewan.
Ritual digelar bersama-sama di balai adat selama beberapa hari, tergantung kesepakatan warga. Tetangga dari balai adat lain diundang. Semua orang dengan latar belakang agama apapun dipersilakan datang untuk ikut bersukacita dalam pesta panen ini.
“Setelah aruh adat ini baru beras hasil panen boleh dimakan.”
Semua sesajen aruh kemudian diantar dan ditaruh di lokasi-lokasi keramat yang dipercaya menjadi tempat bersemayamnya leluhur.
“Bukan berarti kami menyembah tempat itu, tapi para leluhur yang ada di sana akan menyampaikan ucapan terima kasih kami kepada Tuhan yang Maha Kuasa,” katanya.
Saat ritual selesai, tamu yang datang juga dibekali sekantong beras hasil panen. Mereka yang diberi, pantang menolak pemberian.
Masyarakat Dayak Pitap juga tidak menjual beras, meskipun hasil panen melimpah. Sesuai keyakinan mereka itu dilarang.
Beras disimpan untuk kebutuhan hidup sampai panen selanjutnya. Tiap orang luar yang datang, boleh memakan sesuka hati.
“Boleh menjual, jika dalam situasi terjepit. Itu pun semacam bertukar barang, dan mesti ada restu dari leluhur dengan melakukan ritual. Kalau tidak, pamali.”
Tiap ritual selesai ada hari pamali atau berpantang. Pada hari-hari itu Masyarakat Dayak Pitap tidak akan berkegiatan apapun, entah turun ke ladang, berburu dan lain-lain.
Peladang andal dan alami
Masyarakat Dayak Pitap adalah peladang berpindah. Metode ini disebut juga dengan konsep rotasi gilir balik.
Lahan dengan produktivitas menurun ditinggalkan, berpindah ke lahan baru, dan suatu saat kembali lagi ke lahan lama.
Dalam sistem perladangan Dayak Pitap, dikenal istilah beberapa jenis lahan, seperti katuan (hutan primer), huma, raba, jajapan, belukar anum, belukar mayunan, dan katuan mayunan.
Tiap keluarga umumnya hanya memanfaatkan lahan kurang lebih dari 2-4 hektar untuk berladang.
Areal hutan dibuka menjadi huma. Huma biasa hanya akan ditanami padi sampai beberapa kali masa panen.
Tidak hanya satu macam padi, tetapi bisa empat sampai lima jenis padi, bahkan lebih.
Di Dayak Pitap, ada puluhan jenis benih, antara lain, bagu, bakaya, balaran, bulan, buyung, cantik, dandali, emas, gadagahai, garagai mayang, halusan, haniyung, harang, jala, jalapa, jarangan, karayan, katuping, kutu, kucing, kuningan, lahung, limpasu, liyang, maligut, manau, mandin, mayang laut, mayang risi, mayas, minung, nakit, niyah, dan pandan.
Kemudian, pangantin, pari, patati, radin, riyam, rundun, runggung, sabai, sabuk halus, sabuk putih, sabuk sarai, salatan, sampumung, sampuna, sangking, santang, sarung pudak, sarikandi, sawung, seluang, siyam, sugu, sula, sunduh, sunduh putih, sungkai, tajun, tingkil, tiring gadang, tulang kijang, tumping gunung, uluran, yambung, dan yantak.
Antar peladang tidak menanam benih unggul yang sama. Hingga dari ladang-ladang mereka kerap ditemukan jenis padi baru. Padi itu tidak ditanam, melainkan muncul bersama padi yang lain. Padi jenis baru disebut dengan istilah banih datang. Kemungkinan berasal dari persilangan alamiah antara bermacam-macam padi itu.
Kemudian raba adalah istilah untuk lahan pasca ditanami padi. Setelah panen, masyarakat akan menanami dengan tanaman musiman (palawija) yang bernilai ekonomis.
“Misal kacang tanah, sayur-mayur, ubi kayu, dan lainnya. Ini ditanam sampai tiba waktu tanam berikutnya. Tanaman ini juga sebagai peningkat kesuburan tanah,” kata Juhan.
Sedang jajapan adalah lahan yang sudah ditanami dua tiga kali padi, kemudian disisipi tanaman lain seperti rempah-rempahan, cabai, petai, pisang, atau buah-buahan.
Terkadang juga ditanami pohon karet atau pohon kayu. Yang ditanam adalah bibit alami, hingga dapat tumbuh bersama tanaman lain.
“Hasil tanaman selain padi ini boleh dijual,” kata Juhan.
Di jajapan ini, masyarakat juga menanam halunjung, kambat balik, kayu tulak, raja babangun, kencur, bawang pucai, daun gandarusa, tabu salah, tabu surung, kambang habang, kambang kuning, kambang babau, jalai, jantan, dan jariangau.
Tanaman ini wajib ditanam bersama dengan padi karena akan digunakan untuk sesaji aruh.
Jajapan yang ditinggalkan setahun akan membentuk belukar anum (muda). Bila dinilai sudah bisa kembali jadi huma, belukar anum akan digarap kembali.
Namun apabila didiamkan bertahun-tahun, belukar anum akan membentuk belukar mayunan. Kalau dibiarkan selama 10-15 tahun akan menjadi katuan mayunan (menyerupai hutan sekunder).
Dalam pemeliharaan ladang, Masyarakat Dayak Pitap hanya mengandalkan cara-cara tradisional dan alami. Misal, menghadapi gulma, mereka tidak memakai pestisida kimia.
Begitu pula untuk menghindari penyakit, cukup dengan marabun. Marabun adalah membakar daun-daun pohon dari hutan yang masih hijau untuk mengasapi ladang.
Sedangkan untuk pengusiran hama, dipakai air rendaman timah, perak, dan tumbukan benih padi yang dicampur daun gandarusa, kembang habang, kembang babau, bawang pucai, kunyit, dan minyak kelapa.
Untuk mengusir hama seperti burung pipit, Masyarakat Dayak Pitap hanya membentangkan tali panjang yang mengitari ladang yang mereka namakan tali ting-ting.
Serangan babi, tikus, beruk, kera, dan tupai juga dihadapi dengan peralatan tradisional.
Penggunaan bahan-bahan kimia sangat dihindari. Mereka percaya pemakaian produk akan membuat leluhur marah.
“Dan apa yang dimakan (hama), kami percaya sudah menjadi hak mereka,” kata Juhan.
Penjaga rimba
Masyarakat Dayak Pitap adalah penjaga hutan sejati. Hutan memiliki arti penting dalam kehidupan mereka. Bukan sekadar sumber air, pangan, dan papan juga spiritualitas.
Demi memelihara kelestarian hutan, Masyarakat Dayak Pitap punya aturan tata-ruang tersendiri.
Juhan berujar, ada beberapa area hutan yang tidak boleh dijamah, misal, hutan keramat.
Tempat ini dipercaya menjadi ‘rumah’ bagi para leluhur. Sebagian lokasinya, juga menjadi kawasan pemakaman tetua Dayak Pitap hingga wilayah tak bisa diganggu gugat.
Ada tiga wilayah hutan yang dikeramatkan Masyarakat Dayak Pitap di tanah ulayatnya, yakni Gunung Hauk, Tanah Hidup, dan Batu Walu.
Ada juga hutan pagaritan yang juga tidak boleh ditebang atau ditanami.
Masyarakat hanya boleh memanfaatkan beberapa hasil hutan non-kayu untuk keperluan hidup, seperti rotan, tanaman, dan buah-buahan. Wilayah ini juga dikenal sebagai medan berburu.
“Pantang bagi kami menabang (mengeksploitasi). Pamali. Tapi kalau memang terpaksa, mesti beritual,” katanya.
Menurut Walhi Kalsel, dari segi ekologis, area hutan keramat berisiko tinggi kalau dibuka.
Karena hutan lebat dengan pohon-pohon besar, merupakan hulu sungai atau area tangkapan air. Kalau terbabat, berpotensi menyebabkan erosi dan banjir di hilir.
Selain itu, hutan-hutan ini juga menjadi habitat berbagai keanekaragaman hayati, baik endemik dan dilindungi. Juga tempat penduduk lokal mencari bahan untuk keperluan aruh atau obat-obatan herbal.
Menangkal stigma
Di tengah masyarakat adat di Pegunungan Meratus, termasuk Dayak Pitap menjaga tradisi mereka kerap dicap suku terpencil dan primitif.
Anggapan ini dibantah Setia Budhi, antropolog Universitas Lambung Mangkurat (ULM). Menurut dia, justru gaya hidup dan nilai yang dianut masyarakat adat di Meratus patut dicontoh.
“Misal, dari aspek sosial. Kita bisa melihat, betapa kuatnya nilai persatuan dari cara mereka bergotong-royong ketika berladang,” katanya.
Dengan segala keterbatasan, kata Budhi, orang-orang Meratus juga mampu menciptakan sistem ketahanan pangan mereka sendiri.
“Mereka berdaulat pangan, ketika hari ini negara sibuk memenuhi logistik pangan bagi rakyat. Pemerintah harusnya malu dan belajar dari orang-orang Meratus.”
Budhi juga menyangkal citra peladang liar yang sering disematkan kepada orang-orang Meratus karena konsep ladang pindah dan bakar.
Sebab mereka memiliki akar budaya kuat dalam memperlakukan alam. Metode berladang mereka tidak sembarangan, sangat memperhatikan lingkungan.
“Mereka membuka lahan dengan sangat hati-hati. Selalu diiringi ritual. Luasan kecil. Lahan yang sudah tidak digarap juga diberi perlakuan khusus dengan dihutankan kembali,” katanya.
Masyarakat Adat Meratus, katanya, adalah orang-orang yang patuh terhadap aturan negara. Maka cara mereka membakar ketika membuka lahan juga tidak sembrono. Mereka jaga beramai-ramai. Ada sekat bakar, serta memperhatikan kondisi cuaca.
“Jadi jangan samakan dengan perilaku perusahaan perkebunan skala besar,” katanya.
Orang Meratus juga punya konsep hutan larangan. Selain untuk fungsi spiritual, katanya, konsep ini merupakan cara efektif untuk menjaga hutan dari perambahan.
Budaya mengelola sumber daya alam dengan arif itu, kata Budhi, adalah ajaran turun temurun dari nenek moyang dari beratus tahun silam.
“Keyakinan mereka, ketika mengeksploitasi alam serampangan, akan ada dampak buruk yang kembali ke mereka,” katanya.
Budhi meminta negara wajib memberikan pengakuan dan perlindungan terhadap Masyarakat Adat Meratus sebagai pemelihara hutan tropis di garda terdepan. “Karena menjaga dan melindungi masyarakat adat di Meratus, sama dengan merawat Meratus dari kehancuran,” katanya.
Ancaman korporasi
Populasi Dayak Pitap sekitar 1.670 jiwa. Berhimpun di 19 balai adat. Mereka mendiami wilayah ulayat seluas 22.806 hektar. Secara administrasi meliputi lima desa, Dayak Pitap, Kambiayin, Langkap, Ajung, dan sebagian Mayanau.
Wilayah Pitap berada di bentangan Pegunungan Meratus. Kawasan ini memegang fungsi hidrologis penting, sebagai hulu dari banyak sungai besar yang mengalir ke Kalsel.
Masalahnya, kawasan ini juga kaya dengan emas, bijih besi, dan batubara.
Menukil data Walhi Kalsel, sejumlah perusahaan dari hak penguasaan hutan (HPH), perkebunan sawit, hingga pertambangan bijih besi, juga batubara coba menjamah tanah adat Dayak Pitap sejak era Orde Baru.
Seperti PT Fast Forest (FF) yang aktif merambah pohon-pohon besar di wilayah Pitap sejak 1980-1987.
Kemudian perusahaan perkebunan sawit, PT Malindo Jaya Diraja (MJD) yang mengantongi izin beroperasi di wilayah Pitap pada 1999.
Korporasi ini sempat menggarap pembibitan sawit seluas 4 hektar dari 150 hektar di Gunung Batu. Lokasi pembibitan itu berjarak sekitar 500 meter dari batas Dusun Iyam (wilayah adat Pitap).
Akhirnya, MJD membatalkan operasi pada 2000 karena gelombang penolakan masyarakat. Kendati demikian, izin perusahaan ini disebut-sebut masih berlaku sampai 2030.
Berikutnya PT Sari Bumi Sinar Karya (SBSK) yang mendapat izin mengeruk bijih besi pada 1998.
Meski sampai sekarang belum beroperasi, perusahaan ini pernah beberapa kali menyurvei wilayah keramat Pitap di Gunung Hauk, yakni kawasan Tanalang. Izin konsesi SBSK juga masih berlaku sampai 2029.
Masih merujuk data Walhi, perusahaan tambang batubara, PT Sinar Kemilau Abadi memegang izin sampai 2034 dan perusahaan tambang bijih besi, CV Razza Nugraha Agro hingga 2030.
Teranyar, Masyarakat Dayak Pitap dibuat cemas oleh izin PT Gunung Cahaya Bersama, perusahaan tambang batubara yang aktif sampai 2042.
Perusahaan ini punya konsesi seluas 1.385 hektar mencakup Desa Nangka, Ju’uh, dan Auh di Kecamatan Tebing Tinggi.
Posisinya tidak persis di wilayah Pitap. Namun konsesi berada di Desa Auh berbatasan langsung dengan Desa Kambiayin. Andai perusahaan ini beroperasi, praktis kehidupan masyarakat di Kambiayin bakal terisolir.
Eka Karlina was-was menghadapi kenyataan kampungnya terus menerus terancam korporasi.
Dia meyakini, kedatangan perusahaan tidak akan membuat Masyarakat Dayak Pitap menjadi lebih makmur, melainkan sebaliknya.
Kehadiran perusahaan akan merusak alam dan hutan yang selama ini menjadi sumber penghidupan mereka.
“Bukan tambah kaya, kami justru akan habis. Kehilangan tempat cari makan, dan sumber mata pencaharian.”
Hutan lenyap juga akan membuat mereka kehilangan tempat memperoleh tanaman obat dan bahan-bahan untuk ritual adat.
Tak ada hutan, tak ada lahan untuk berladang. Tak ada ladang, berarti tak ada lagi upacara adat.
“Kami akan kehilangan semua. Rumah, budaya, adat-istiadat kami akan hancur,” katanya.
Kerusakan alam pasti menimbulkan bencana ekologis, yang berdampak luas.
“Seberapapun diberi uang untuk menjual tanah adat, kami tidak mau. Kami merasa sudah sangat cukup dengan hidup seperti ini,” katanya.
Reni Antika pun takut, kehadiran perusahaan bakal menyengsarakan warga Dayak Pitap.
“Contoh dampak paling ringan bagi kami perempuan, pekerjaan rumah akan bertambah berat. Kalau selama ini mudah mencari air bersih, pasti akan kesulitan kalau lingkungan sudah rusak,” katanya.
Dia juga khawatir, soal kehidupan anak, cucu, dan generasi penerus kelak.
“Adat istiadat akan hilang. Mereka akan saling terpisah karena masing-masing sibuk mencari kehidupan di tempat lain.”
Reni berharap, pemerintah ikut menjaga dan melestarikan Pegunungan Meratus.
“Karena alam yang rusak, pasti juga akan membinasakan manusianya,” kata ibu dua anak itu.
******
Aruh Mahanyari, Ritual Ucapan Syukur Hasil Panen Berlimpah Dayak Pitap