- Sektor pertambangan nikel rawan koruspi. Satu kasus sedang proses persidangan menjerat para mantan pejabat di Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM). Antara lain, Ridwan Djamaluddin, mantan Dirjen Minerba dan Sugeng Mujiyanto, mantan Direktur Pembinaan dan Pengusahaan Minerba, Ditjen Minerba, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).
- Ridwan Djamaludin dan Sugeng Mujiyanto, jadi terdakwa kasus dugaan korupsi tambang ore nikel di Blok Mandiodo, Konawe Utara, Sulawesi Tenggara (Sultra) dengan potensi kerugian negara sampai Rp5,7 triliun. Jaksa Penuntut Umum (JPU) menuntut mereka lima tahun penjara.
- Didi Rohadi, Koordinator Bidang Investigasi BPKP mengatakan, timnya meminta klarifikasi 25 orang terkait kasus ini. Hasilnya, tim investigasi BPKP menemukan penyimpangan dalam pengelolaan nikel di Blok Mandiodo hingga menyebabkan kerugian negara Rp5,7 triliun.
- Muhammad Jamil, Kepala Divisi Hukum Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), mengatakan, pinjam RKAB atau dokumen terbang (dokter) dalam skandal dugaan korupsi tambang ore nikel di Blok Mandiodo sebenarnya modus lama. Hanya saja, aparat penegak hukum baru menindaknya.
Sektor pertambangan nikel rawan korupsi. Satu kasus sedang proses persidangan menjerat para mantan pejabat di Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM). Antara lain, Ridwan Djamaluddin, mantan Dirjen Minerba dan Sugeng Mujiyanto, mantan Direktur Pembinaan dan Pengusahaan Minerba, Ditjen Minerba, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).
Mereka jadi terdakwa kasus dugaan korupsi tambang ore nikel di Blok Mandiodo, Konawe Utara, Sulawesi Tenggara (Sultra) dengan potensi kerugian negara sampai Rp5,7 triliun. Jaksa Penuntut Umum (JPU) menuntut mereka lima tahun penjara.
“Menyatakan terdakwa satu, Ridwan Djamaluddin Bin Abdullah Djamaluddin dan terdakwa dua, Sugeng Mujiyanto bin Suratmo Cipto Wiratno terbukti sah dan meyakinkan bersalah dengan tindak pidana korupsi secara bersama-sama,” kata jaksa saat membacakan tuntutan di PN Tipikor Jakarta, Kamis (28/3/24) dikutip dari Detik.com.
Mereka kena jerat dakwaan primer Pasal 2 Ayat 1 juncto Pasal 18 UU Nomor 31/1999 juncto UU Nomor 20/2001 tentang perubahan atas UU Nomor 31/1999 tentang Pemberantasan Tindak Korupsi Juncto Pasal 55 Ayat 1 ke 1 KUHP. Selain tuntutan lima tahun penjara, mereka juga kena denda Rp500 juta atau subsider kurungan tiga bulan penjara.
Berdasarkan surat dakwaan jaksa, mereka beraksi bersama 11 orang lain yang juga tengah diadili. Ridwan dan Sugeng bersama enam terdakwa menjalani sidang kasus di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus).
Mereka adalah Koordinator Pengawasan Usaha Operasi Produksi dan Pemasaran Mineral Yuli Bintoro. Lalu, Sub koordinator Pengawasan Usaha Operasi Produksi Mineral Henry Julianto; Evaluator Pengawasan Usaha Operasi Produksi dan Pemasaran Mineral Eric Viktor Tambunan; Pelaksana Lapangan PT Lawu Agung Mining (LAM) Glenn Ario Sudarto, Direktur PT LAM Ofan Sofwan dan pemilik PT LAM Windu Aji Sutanto.
Sedangkan, lima orang sidang di PN Tipikor Kota Kendari yakni Direktur Utama PT Kabaena Kromit Pratama (KKP) Andi Adriansyah, Kuasa Direktur PT Cinta Jaya Agus Salim Majid, Direktur PT Tristaco RT Rudy Hariyadi Tjhandra, General Manager PT Antam Konawe Utara, Hendra Wijayanto dan Amelia Sabara, terdakwa yang menghalangi penyidikan.
Dalam Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) PN Jakarta Pusat, Ridwan dan Sugeng, didakwa melawan hukum bersama-sama dengan Yuli, Henry, Eric, Andi dan Rudi untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan atau perekonomian negara.
“Peran yang bersangkutan (Ridwan dan Sugeng) adalah memberikan satu kebijakan terkait dengan Blok Mandiado yang menyebabkan kerugian negara seluruhnya Rp5,7 triliun,” kata Ketut Sumedana, Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejaksaan Agung (Kejagung), dalam konferensi pers, Agustus tahun lalu.
Dikutip dari Adhyaksadigital.com, JPU Kejati Sultra mendakwa mereka melakukan tindakan melawan hukum dalam proses penambangan lewat kerja sama operasional (KSO) antara Antam pemilik konsesi WIUP, dan LAM selaku kontraktor mining periode 2021-2022.
Dalam kasus ini, Ridwan dan Sugeng berperan membuat kebijakan terkait Blok Mandiodo yang menyebabkan kerugian negara Rp5,7 triliun. Kerugian ini dari hasil audit perhitungan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).
Mereka terancam pidana UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Duduk perkara kasus di Blok Mandiodo
Penambangan nikel ilegal merugikan negara sampai Rp5,7 triliun ini berada di konsesi Antam, di Blok Mandiodo, Konawe Utara. Sebelumnya, Antam memenangkan gugatan atas 11 izin konsesi tumpang tindih dan mengelola Blok Mandiodo sejak Desember 2021.
Total, ada 39 perusahaan bergabung dan mengelola konsesi Antam. Namun, Antam baru mengelola 22 hektar lahan karena 157 hektar yang lain belum ada izin pemanfaatan kawasan hutan. Nikel hasil penambangan di lahan ratusan hektar tersebutlah yang dikelola dan dijual ilegal.
Kasus ini bermula ketika pembekuan usaha dan persetujuan rencana kerja dan anggaran biaya (RKAB) KKP dicabut. Hal itu terjadi karena jual beli ore nikel KKP dengan perusahaan smelter nikel tidak sesuai ketentuan dalam Permen ESDM Nomor 11/2020.
KKP tidak menggunakan surveyor yang ditunjuk Dirjen KESDM. Dokumen kontrak penjualan KKP pun tidak sesuai ketentuan harga patokan mineral (HPM) sebagaimana Permen ESDM Nomor 11/2020.
Ridwan memimpin rapat terbatas membahas dan memutuskan penyederhanaan aspek penilaian RKAB perusahaan pertambangan yang diatur dengan Keputusan Menteri ESDM pada 14 Desember 2021.
Penyederhanaan aspek penilaian ini menyebabkan KKP yang sudah tak punya deposit nikel di IUP-nya, mendapatkan kuota pertambangan ore nikel pada 2022 sebanyak 1,5 juta metrik ton. Begitu pula, sebut dakwaan, TMM juga di sekitar Blok Mandiodo.
RKAB itu dijual kepada LAM untuk melegalkan pertambangan ore nikel di lahan Antam seluas 157 hektar yang tidak mempunyai RKAB. Juga lahan Antam lain yang dikelola LAM.
Pemilik LAM, Windu AJI Sutanto yang mendapatkan keuntungan dari penambangan nikel ilegal ini. Windu menjual ore nikel hasil penambangan IUP Antam gunakan dokumen RKAB KKP dan beberapa perusahaan lain di sekitar blok Mandiodo. Sehingga, nikel itu seolah-olah bukan dari Antam, lalu dijual ke beberapa smelter di Morosi dan Morowali.
Modus menggunakan RKAB ini disebut dokumen terbang (dokter). Perusahaan tambang yang tak memiliki RKAB untuk menambang gunakan dokter perusahaan tambang lain. Misal, RKAB KKP dipinjam untuk mengelola ore nikel. Karena perusahaan tambang tidak bisa mengelola nikel kalau tak ada RKAB.
Kejahatan ini berlangsung karena ada pembiaran dari Antam. Berdasarkan perjanjian KSO, semua ore nikel hasil penambangan di IUP Antam harus diserahkan ke Antam. Sementara LAM hanya mendapat upah selaku kontraktor pertambangan.
Pada kenyataan, sebut surat dakwaan, LAM mempekerjakan 39 perusahaan pertambangan sebagai kontraktor untuk menambang ore nikel dan menjual hasil tambang dengan RKAB asli tapi palsu.
Sedang Henry bersama dengan Sugeng, Eric dan Yuli memproses permohonan RKAB KKP dan beberapa perusahaan lain di sekitar Nlok Mandiodo. Proses ini tanpa mengacu aspek penilaian sesuai Keputusan Menteri ESDM Nomor 1806 tetapi merujuk perintah Ridwan berdasarkan hasil rapat terbatas 14 Desember 2021. Penambangan di lahan Antam itu atas pengetahuan dan persetujuan Hendra.
Audit BPKP temukan penyimpangan
Dalam sidang 13 Maret lalu, Jaksa Penuntut Umum (JPU) menghadirkan tiga ahli, yakni, Koordinator Bidang Investigasi BPKP, Didi Rohadi; ahli administrasi bidang pertambangan Universitas Indonesia, Ima Mayasari, dan Jaksa Muda Ahli Digital Forensik Kejaksaan Sulawesi Utara, Deni Sudistiastoro.
Didi mengatakan, timnya meminta klarifikasi 25 orang terkait kasus ini. Hasilnya, tim investigasi BPKP menemukan penyimpangan dalam pengelolaan nikel di Blok Mandiodo hingga menyebabkan kerugian negara Rp5,7 triliun.
“Penunjukkan kerja sama KSO dengan Antam tidak sesuai ketentuan, itu yang pertama. Kedua, KTT (kepala teknik tambang) tidak melaksanakan tugas sesuai kebutuhan. Ketiga, evaluasi RKAB KPP tidak sesuai ketentuan. Keempat, ada penjualan (nikel) di wilayah Antam tapi hasil tidak disetorkan ke Antam,” katanya dalam sidang.
Didi merinci, ada tujuh peraturan yang dilanggar.
- Undang-Undang Dasar (UUD) tahun 1945
- UU Nomor 3 tahun 2020,
- Permen ESDM Nomor 16 tahun 2021
- Permen ESDM Nomor 24/2012
- Keputusan Menteri ESDM Nomor 1806 K/30/MEM/2018
- Keputusan Menteri ESDM Nomor 1827 K/30/MEM/2018
- Surat perintah direksi Nomor 333/
Ridwan usai sidang, enggan berkomentar. Dia meminta, penasehat hukum saja yang diwawancarai. Dua penasehat hukum dari tim Syamsul Bahri Radjam yang mendampingi Ridwan pun enggan berkomentar. Mereka justru meminta Syamsul saja yang diwawancarai.
“Bukan saya Pak Syamsul saja. Saya tak biasa berkomentar. Ada ketua, Pak Syamsul.”
Mongabay juga menghubungi Syamsul Bahri lewat pesan singkat tetapi tak ada jawaban.
Modus “dokter” sudah jadi tren?
Muhammad Jamil, Kepala Divisi Hukum Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), mengatakan, pinjam RKAB atau dokumen terbang (dokter) dalam skandal dugaan korupsi tambang ore nikel di Blok Mandiodo sebenarnya modus lama. Hanya saja, aparat penegak hukum baru menindaknya.
“Iya kan istilah itu udah jadi rahasia umum,” katanya.
Kejanggalan dalam proses penambahan di Blok Mandiodo, katanya, sudah tercium lama karena tak masuk nalar hukum.
Betapa tidak, katanya, banyak perusahaan tambang tak memiliki RKAB melakukan aktivitas penambangan di konsesi Antam menggunakan dokter.
“Kok tiba-tiba ada tambang lain. Jumlahnya banyak pula, nah itu di Antam, lalu semua (perusahaan tambang) punya izin, Antam punya izin, tambang itu punya izin nah yang aneh lagi adalah tumpang tindih perizinan itu kok bisa ida terbit RKAB di KESDM?”
Menurut Jamil, modus serupa ini kemungkinan masih ada selain di Blok Mandiodo. Penegak hukum, katanya, tak boleh berhenti di kasus itu saja tetapi harus menyelidiki tambang-tambang lain.
“Harus dibuka polanya. Ini juga tren, jadi modus operasi, kejahatan nih di lapangan hingga butuh partisipasi publik untuk mengadu, melapor,” katanya.
Apalagi, berkaca dari kasus Blok Mandiodo ini banyak terjerat pejabat KESDM. Dia duga permainan juga ada di KESDM.
“Modusnya adalah permainan di KESDM. Karena yang punya kewenangan penuh urusan RKAB ini adalah KESDM,” katanya.
Setiap perusahaan tambang, katanya, wajib punya RKAB untuk eksplorasi. Sedangkan mekanisme pembuatan RKAB sangat ketat dan penerbitan terbatas.
Kewajiban RKAB ini diatur dalam Permen ESDM Nomor 10 Tahun 2023. “Perusahaan tambang harus memperbaharui RKAB setiap tahun.”
RKAB ini, katanya, merupakan bentuk pengawasan KESDM terhadap perusahaan tambang. Syarat penerbitannya, mulai dari kelayakan administrasi, keuangan, eksplorasi, pemasaran, program pengembangan dan pemberdayaan masyarakat hingga keselamatan pertambangan. Sementara, kata Jamil, banyak syarat tak dipenuhi KKP.
“Gak berhenti di Ridwan Djamaluddin saja. Gak mungkin dengan skema begitu gede karena Ridwan kan bawahannya Menteri ESDM, pasti dia bekerja dalam pengawasan menteri.”
Seharusnya, katanya Jamil, Menteri ESDM juga bertanggung jawab dalam skandal ini.
******
Kala Tata Kelola Karut Marut, Kajian Sebut Sektor Pertambangan Rawan Korupsi