- Surabaya dilanda banjir sejak Februari hingga awal April 2024. Pemerintah Kota Surabaya melakukan sejumlah langkah penanggulan, mulai dari membangun tanggul hingga mengeruk saluran air yang dipenuhi sampah.
- Pemerintah Kota Surabaya juga membangun bozem baru di kawasan Rejosari seluas 1,3 hektar. Bozem merupakan sistem penampung air yang fungsinya seperti waduk.
- Wahana Lingkungan Hidup Indonesia [WALHI] Jawa Timur, mencatat lebih 10 kejadian banjir di Surabaya selama 2024, yang tersebar di wilayah barat, selatan, dan tengah Kota Surabaya. Sekitar 10.000 lebih warga terdampak langsung maupun tidak akibat kejadian ini.
- Alih fungsi tata ruang terlihat jelas dengan semakin menciutnya area resapan dan tangkapan air di Kota Surabaya.
Peristiwa banjir yang melanda Surabaya pada Februari hingga awal April 2024, membuat Pemerintah Kota Surabaya melakukan sejumlah langkah penanggulangan.
Dinas Sumber Daya Air dan Bina Marga [DSDABM] Kota Surabaya membangun tanggul batu di area Jalan Raya Tengger, yang diharapkan dapat mencegah banjir kiriman dari Kabupaten Gresik. Selain itu, dilakukan juga pengerukan di sepanjang saluran air diversi Pondok Benowo Indah [PBI], Kandangan hingga Jembatan Raci.
“Panjangnya sekitar 2,5 kilometer,” ujar Syamsul Hariadi, Kepala DSDABM Kota Surabaya, pertengahan Maret 2024.
Syamsul menambahkan, pemerintah kota sedang membangun bozem baru di kawasan Rejosari seluas 1,3 hektar. Bozem merupakan sistem penampung air yang fungsinya seperti waduk.
“Ada 245 titik banjir di Surabaya yang coba dituntaskan pada 2024. Konsentrasi paling banyak di Surabaya Barat.”
Sampah masih menjadi penyebab utama tersumbatnya saluran air yang mengakibatkan banjir.
“Dua unit pompa bergerak disiapkan untuk penanganan genangan,” tuturnya.
Sebelumnya, Wali Kota Surabaya, Eri Cahyadi meninjau lokasi banjir di kawasan Pakal Madya pertengahan Februari. “Tinggi tanggul yag dibangun sekitar 1,2 meter,” imbuhnya.
Eri menegaskan, akan membuka kembali bendungan yang menutup saluran air.
“Saya sudah minta pintu air di saluran irigasi dibuka semua, sambil kita pantau bila hujan turun,” ujarnya.
Alih fungsi ruang hijau
Wahana Lingkungan Hidup Indonesia [WALHI] Jawa Timur, mencatat lebih 10 kejadian banjir di Surabaya selama 2024, yang tersebar di wilayah barat, selatan, dan tengah Kota Surabaya. Sekitar 10.000 lebih warga terdampak langsung maupun tidak akibat kejadian ini.
Banjir terparah terjadi di Surabaya Barat, pada 17 Februari yang berlangsung 4 jam. Genangannya mencapai 40-50 cm di kawasan Pakal, Tengger Kandangan, dan Jurang Kuping. Sedangkan pada 5 April 2024, banjir cukup parah terjadi di kawasan Dukuh Kupang, dengan ketinggian air sekitar setengah hingga satu meter.
Banjir di Surabaya, menurut Direktur Eksekutif Walhi Jawa Timur, Wahyu Eka Setyawan, tidak hanya disebabkan sampah yang menyumbat saluran air, serta belum tersedianya rumah pompa.
“Persoalan lebih serius adalah alih fungsi tata ruang. Ini terlihat dengan semakin menciutnya area resapan dan tangkapan air,” ujarnya, pertengahan April 2024.
Sebagai pusat industri, perdagangan, dan jasa di Jawa Timur, Surabaya telah menjadi kota yang sesak dengan pembangunan tidak terkendali. Ini menunjukkan buruknya perencanaan ruang, yang dikendalikan ekonomi.
“Hal penting yang kami temukan adalah adanya perubahan pada lahan terbuka, terutama di Surabaya Barat dan Timur yang secara intensif dan masif menjadi perumahan elit,” terangnya.
“Area yang sebelumnya lahan hijau seperti persawahan, resapan alami seperti waduk, dan kawasan mangrove, telah hilang.”
Pembangunan di kawasan tengah kota juga tidak tertata. Hal ini ditandai betonisasi dan ditempatinya sempadan sungai hingga saluran air untuk permukiman atau usaha.
“Dalam 15 tahun terakhir, wilayah Pakal banyak berkurang lahan terbukanya, sehingga rentan banjir. Juga wilayah Dukuh Kupang, lahan terbuka menyempit akibat bertambahnya penduduk,” paparnya.
Walhi Jawa Timur menilai, kebijakan membangun box culvert, rumah pompa, dan mobil penyedot air merupakan solusi sementara yang tidak menyentuh akar permasalahan. Yakni, menyempitnya lahan terbuka yang menyebabkan meningkatnya risiko banjir.
“Banjir yang diperparah akibat dampak perubahan iklim, memerlukan kebijakan yang benar-benar memulihkan ruang terbuka hijau,” tandasnya.
Nasib Mangrove Wonorejo, Terancam Sampah Plastik dan Penebangan