- Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 7 Tahun 2024 tentang Pengelolaan Lobster (Panulirus spp.), Kepiting (Scylla spp.), dan Rajungan (Portunus spp.) sudah diundangkan sejak 21 Maret 2024
- Aturan baru tersebut menggantikan aturan lama yang resmi secara bersamaan, yaitu Permen KP Nomor 17 Tahun 2021 dan Permen KP Nomor 16 Tahun 2022. Kedua aturan tersebut mengatur tentang tata kelola lobster, kepiting, dan rajungan
- Mengawal penerapan tata kelola yang baru tersebut, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) memberlakukan aplikasi Sistem Informasi Pengelolaan Lobster Kepiting dan Rajungan (SILOKER) untuk memudahkan nelayan
- Sayangnya, masih ada yang menyatakan kontra dengan kebijakan baru tersebut. Salah satunya, karena kebijakan yang dibuat adalah tentang pembukaan kembali ekspor benih bening lobster (BBL) yang diyakini hanya akan memuluskan kegiatan eksploitasi BBL di alam
Senin, 18 Maret 2024 menjadi momen penting bagi sektor kelautan dan perikanan di Indonesia. Hari tersebut menjadi waktu penetapan aturan terbaru yang sudah disiapkan oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).
Aturan tersebut adalah Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 7 Tahun 2024 tentang Pengelolaan Lobster (Panulirus spp.), Kepiting (Scylla spp.), dan Rajungan (Portunus spp.) Tiga hari kemudian, aturan tersebut resmi diundangkan.
Pengesahan dan pemberlakuan Permen KP 7/2024 sekaligus mencabut Permen KP Nomor 17 Tahun 2021 Pengelolaan Lobster (Panulirus spp.), Kepiting (Scylla spp.), dan Rajungan (Portunus spp.) di Wilayah Negara Republik Indonesia.
Juga, mencabut Permen KP Nomor 16 Tahun 2022 tentang Perubahan atas Permen KP Nomor 17 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Lobster (Panulirus spp.), Kepiting (Scylla spp.), dan Rajungan (Portunus spp.) di Wilayah Negara Republik Indonesia.
Sebulan berlalu, KKP mengabarkan kepada publik bahwa mereka saat ini sudah menyiapkan sistem informasi pemantauan elektronik yang berfungsi untuk mengawal pemanfaatan kuota penangkapan benih bening lobster (BBL) oleh nelayan atau kelompok nelayan.
“Sistem ini membuat hulu hilir pengelolaan pemanfaatan BBL,” ungkap Plt. Dirjen Perikanan Tangkap KKP Tb Haeru Rahayu pekan lalu di Jakarta.
Sistem tersebut bernama Sistem Informasi Pengelolaan Lobster Kepiting dan Rajungan (SILOKER) dan sudah terintegrasi dengan sistem yang ada di pemerintah pusat, daerah, atau kelompok nelayan penangkap BBL. Karena itu, sistem ini dapat diakses oleh semua jaringan tersebut.
Tegasnya, aplikasi SILOKER disiapkan oleh KKP sebagai bentuk implementasi dari Permen KP 7/2024 dengan tujuan untuk memudahkan nelayan saat akan mengajukan usulan kelompok nelayan. Sekaligus, mengajukan usulan kuota penangkapan BBL yang penetapannya biasa dilakukan oleh dinas kelautan dan perikanan (DKP) provinsi kepada kelompok nelayan/kelompok usaha bersama (KUB).
Baca : Ekspor Benih Bening Lobster: Positif apa Negatif?
Sebelum melakukan penetapan kelompok nelayan dan kuota penangkapan BBL, DKP provinsi akan mengumpulkan data yang sudah dilakukan verifikasi dan kemudian menjadi rekomendasi yang diterbitkan Dinas KP Kabupaten/Kota.
“Semua tahapan tersebut dilakukan secara elektronik,” terangnya.
Tak hanya itu, Haeru juga menjelaskan bahwa penggunaan aplikasi SILOKER akan memudahkan nelayan untuk memperoleh surat keterangan asal (SKA) mulai dari pengajuan hingga penerbitannya. SKA digunakan untuk memastikan ketertelusuran (traceability) produk hasil tangkapan nelayan.
Manfaat lain yang akan dirasakan para pengguna aplikasi, adalah ada menu untuk pendataan hasil tangkapan BBL. Itu berarti, selain bisa mengecek ketertelusuran, pengguna SILOKER juga bisa memantau dan mengetahui berapa besar potensi BBL yang dimanfaatkan nelayan.
Namun demikian, dia memastikan bahwa untuk mengakses aplikasi tidak bisa dilakukan oleh sembarangan nelayan. Mereka yang butuh, wajib memiliki dulu nomor induk berusaha (NIB) dengan Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI) penangkapan/pengambilan induk/benih ikan di laut dan berkode 03115.
Mereka yang ingin mendirikan atau bergabung dengan KUB, maka diwajibkan jumlah anggotanya minimal mencapai 10 orang. Nantinya, setiap satu KUB akan diberikan satu akun yang dapat diperoleh setelah melakukan registrasi dalam aplikasi SILOKER.
“Tidak perlu khawatir nelayan akan kesulitan karena pendampingan akan kami lakukan dengan melibatkan para penyuluh perikanan dan Dinas Kelautan dan Perikanan di daerah,” pungkasnya.
Baca juga : Operasi Bersama PSDKP: “Genderang Perang” Lawan Penyelundupan Benih Lobster
Catatan KIARA
Sebelum KKP menjelaskan rencana detail tentang penerapan Permen KP 7/2024, Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) lebih dulu mengkritik penyusunan aturan tersebut sejak masih dari proses rancangan.
Menurut Sekretaris Jenderal KIARA Susan Herawati, Permen KP 7/2024 adalah produk hukum yang dibuat dan dilahirkan tanpa melalui proses kajian ilmiah dan penggunaan data yang valid. Tegasnya, aturan tersebut hanya menguntungkan para investor saja.
Dia menyebutkan kalau sejak dalam bentuk rancangan, Permen 7/2024 menyebut kalau pembukaan ekspor BBL dibuka kembali dengan kedok kegiatan budi daya BBL di luar wilayah negara Republik Indonesia.
Sejak masih berbentuk rancangan, Permen KP 7/2024 sudah penuh dengan permasalahan, terutama karena pada masa sebelumnya sudah ada korban dari peraturan serupa yang sudah terbit pada periode lalu. Mereka bahkan masuk ke penjara karena bermasalah dengan peraturan tentang lobster.
Tanpa ragu, dia menyebut kalau kehadiran aturan tersebut akan bisa berpotensi untuk mengulang sejarah buruk tentang pengelolaan lobster oleh KKP. Lebih tepatnya, karena ketiadaan data yang valid, kajian ilmiah yang minim, monopolistik, dan tidak adanya transparansi tentang para aktor yang bermain di dalamnya.
“Peraturan ini jelas hanya akan menguntungkan investor dan entitas usaha yang terafiliasi dengan KKP,” jelasnya.
Melihat pada penerapan aturan serupa pada tahun-tahun sebelumnya, KIARA justru memberikan apresiasi kepada KKP. Pasalnya, aturan sebelumnya melarang ekspor BBL dinilai berhasil menyelamatkan sumber daya lobster dari eksploitasi yang berlebih. Buktinya, sebanyak 1.347.986 ekor BBL berhasil diselamatkan sepanjang 2023, dengan kerugian yang ditaksir mencapai Rp183 miliar.
Berdasarkan catatan yang dibuat KIARA, ada sejumlah permasalahan yang mengancam akan menghancurkan tata kelola lobster di masa mendatang. Susan memaparkan, salah satunya adalah karena membolehkan BBL dieksploitasi dan diekspor, karena alasan budi daya di luar Indonesia.
Nyatanya, alasan tersebut bertentangan karena tujuan awal dari aturan adalah untuk menjaga keberlanjutan ketersediaan sumber daya perikanan dan meningkatkan kesejahteraan nelayan. Tetapi, tujuan tersebut juga kemudian berlawanan dengan logika, karena faktanya itu mengarah pada pada optimalisasi PNBP dan peningkatan devisa negara.
Kemudian, aturan tersebut dinilai memberi peluang BBL menjadi produk ekspor dengan dalih untuk kegiatan budi daya di luar negeri. Klausul tersebut juga bertentangan karena pada Pasal 2 Permen KP 16/2022 disebutkan bahwa “Penangkapan Benih Bening Lobster (puerulus) dapat dilakukan untuk pembudidayaan di wilayah negara Republik Indonesia”.
Baca juga : Kenapa Singapura Menerima Benih Lobster Selundupan?
Ketiga, penangkapan masih didasarkan pada kuota penangkapan BBL, walaupun tidak ada estimasi potensi sumber daya ikan BBL di Indonesia. Sementara, data otentik tentang estimasi potensi sumber daya ikan (SDI) menyebutkan bahwa tingkat pemanfaatan lobster di Indonesia masuk kedalam kategori fully-exploited dan over exploited.
Ada empat Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPPNRI) yang dinyatakan sudah fully exploted lobster, yaitu WPPNRI 712 (perairan Laut Jawa); WPPNRI 716 (Perairan Laut Sulawesi dan sebelah utara Pulau Halmahera); dan WPPNRI 717 (Perairan Teluk Cendrawasih dan Samudera Pasifik) dan Laut Lepas Samudera Pasifik).
Kemudian, terdapat tujuh WPPNRI yang sudah dinyatakan over exploited, di antaranya adalah WPPNRI 571 (perairan Selat Malaka dan Laut Andaman), dan WPPNRI 572 (perairan Samudera Hindia sebelah Barat Sumatera dan Selat Sunda).
WPPNRI 573 (perairan Samudera Hindia sebelah selatan Jawa hingga sebelah selatan Nusa Tenggara, Laut Sawu, dan Laut Timor bagian Barat), dan Laut Lepas (Samudera Hindia); dan WPPNRI 711 (perairan Selat Karimata, Laut Natuna, dan Laut Natuna Utara);
WPPNRI 713 (perairan Selat Makassar, Teluk Bone, Laut Flores, dan Laut Bali); WPPNRI 714 (perairan Teluk Tolo dan Laut Banda); dan WPPNRI 715 (perairan Teluk Tomini, Laut Maluku, Laut Halmahera, Laut Seram, dan Teluk Berau).
Susan menyebut, data yang diterbitkan KKP tentang estimasi potensi SDI, jumlah tangkapan yang diperbolehkan (JTB), dan tingkat pemanfaatan SDI di WPPNRI, semuanya menyebutkan bahwa lobster kondisinya sudah dieksploitasi penuh dan berlebih (fully and over exploited).
Catatan keempat, estimasi potensi SDI dalam konteks BBL yang sampai saat ini belum ada, dan itu membuka celah kepada Menteri Kelautan dan Perikanan untuk mempertimbangkan masukan/rekomendasi dari kementerian/lembaga atau institusi lain.
Baca juga : Pertama di Indonesia, Teluk Jukung Lombok Timur ditetapkan Jadi Sentra Budidaya Lobster
Namun, lagi-lagi itu dinilai sudah bertentangan dengan Permen KP yang telah ada sebelumnya yang mewajibkan kuota ditetapkan berdasarkan masukan dan/atau rekomendasi Komisi Nasional Pengkajian Sumber daya Ikan (Komnas KAJISKAN).
“Ini dapat menjadi zona abu-abu untuk tidak transparan terkait estimasi potensi BBL dan pemberian kuota dan izin demi eksploitasi BBL di Indonesia. Hal ini berpotensi adanya konflik kepentingan antar KKP dengan kementerian/lembaga lain atau institusi lain,” terangnya.
Kelima, aturan menyebutkan bahwa penangkapan BBL hanya dapat dilakukan oleh nelayan kecil yang terdaftar dalam kelompok Nelayan. Tetapi, tidak ada kategori skala ukuran yang mutlak dan jelas dalam definisi nelayan kecil.
“Hal ini akan membuka peluang bertransformasinya nelayan-nelayan lain menjadi nelayan kecil untuk mengeksploitasi BBL di Indonesia,” tambahnya.
Bagi Susan, ketidakjelasan definisi nelayan kecil dimulai dari diubahnya definisi nelayan kecil di Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan dan UU Nomor 7 Tahun 2016 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudi daya Ikan, dan Petambak Garam, dalam UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Sayangnya, perubahan tersebut dipertahankan oleh KKP.
Keenam, Vietnam adalah negara yang sangat bergantung kepada Indonesia untuk suplai BBL. Berdasarkan data dari Bayu Priambodo (2023) menyebutkan bahwa pada 2023 Vietnam membutuhkan 620,2 miliar ekor BBL untuk memenuhi kebutuhan budi daya.
Fakta tersebut menjelaskan bahwa Vietnam akan menjadi salah satu pihak paling diuntungkan dari kebijakan ekspor BBL yang kembali dibuka oleh Pemerintah Indonesia. Itu kenapa, Indonesia harus bisa belajar dari masa sebelumnya saat kebijakan ekspor BBL dilaksanakan.
Berdasarkan data yang dirilis Bea dan Cukai, kebijakan ekspor BBL sebelumnya tak membuat negara mendapatkan tambahan PNBP yang besar. Sebaliknya, saat itu perusahaan eksportir disebutkan hanya membayar PNBP sebesar Rp15.000 per 60 ribu ekor BBL.
“Lobster di Indonesia akan dieksploitasi secara berlebih untuk memenuhi kebutuhan tersebut,” tuturnya.
Menurut Susan, jika eksportir menjual BBL dijual Rp139.000 per ekor, dan membayar PNBP Rp15.000, maka keuntungan yang diraih para eksportir sedikitnya mencapai Rp8.340.000.000. Jika itu terjadi, maka kebijakan ekspor hanya menjadikan BBL sebagai objek eksploitasi saja.
Penyelundupan
Sebelumnya, Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono mengatakan KKP melakukan perubahan tata kelola BBL dengan tujuan untuk membangun Indonesia sebagai global supply chain komoditas lobster dunia dan meningkatkan penerimaan negara bukan pajak (PNBP).
“Kita bisa menghasilkan PNBP yang cukup besar agar bisa digunakan untuk pembangunan budidaya di Indonesia. Jadi kalau ada yang menghalangi upaya-upaya yang dilakukan, jangan-jangan dia bagian dari mafia penyelundupan,” katanya.
Tentang dibukanya kembali keran ekspor BBL, salah satunya karena pertimbangan bahwa sampai saat ini pihaknya belum bisa menghentikan penyelundupan BBL dengan pasar terbesar adalah Vietnam. Diperkirakan, nilai transaksi penyelundupan ke Vietnam bisa mencapai 600 juta benih setiap tahun.
Memanfaatkan BBL dari Indonesia, Vietnam diketahui sukses melakukan kegiatan budi daya lobster dengan sangat baik dan membawa negara tersebut sebagai salah satu produsen lobster besar di dunia. Tapi, semua BBL untuk Vietnam itu 100 persen didatangkan dari Indonesia.
“Mereka (Vietnam) bilang benih lobster itu dibeli legal dari Malaysia dan Singapura, tetapi saya tahu benih itu asalnya dari Indonesia,” ucapnya.
Selama Indonesia memberlakukan moratorium ekspor BBL, dia menyebut kalau selama itu penyelundupan BBL ke luar negeri juga tetap berjalan. Sehingga, salah satu opsi yang diambil dan dinilai pilihan terbaik oleh pemerintah, adalah membuka kembali keran ekspor.
Lewat skema kerja sama antarpemerintah (G to G), Indonesia dapat memasok kebutuhan BBL untuk pembudi daya di Vietnam, dengan syarat pelaku membayar pungutan berupa (PNBP). Bersamaan dengan itu, pelaku usaha di Vietnam bisa mengembangkan budi daya lobster di Indonesia.
Walau diharapkan itu bisa menjadi rantai pasok dan memicu efek berganda untuk usaha pakan dan tenaga kerja, namun Trenggono mengakui kalau transfer teknologi budi daya lobster dari Vietnam ke Indonesia dinilai tidak akan pernah terjadi.
“Namun, diprediksi bisa tercipta transfer etos kerja dari pembudi daya Vietnam yang kerap tidak dimiliki pelaku budi daya Indonesia,” ungkapnya. (***)