- Pemerintah Indonesia sudah mengumumkan bahwa keran ekspor untuk benih bening lobster (BBL) dibuka pada tahun ini. Keputusan itu diambil, karena Pemerintah ingin BBL bisa memberikan manfaat secara umum
- Selain bermanfaat untuk meningkatkan perekonomian nasional, BBL juga diharapkan bisa mendorong kesejahteraan nelayan di daerah. Kemudian, BBL juga menjadi ajang pengembangan budi daya lobster dengan dibantu pembudi daya dari Vietnam
- Namun, di balik itu Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) mengakui kalau ekspor dibuka lagi, adalah karena penyelundupan BBL tidak bisa dihentikan sampai saat ini. Padahal, Vietnam mendapatkan keuntungan besar dari kegiatan ilegal itu
- Koalisi Rakyat untuk Keadilan (KIARA) menilai kebijakan itu tidak rasional dan menunjukkan ada kemunduran langkah. Kebijakan membuka keran ekspor BBL, sama saja melepaskan kebijakan melindungi BBL dari eksploitasi industri
Pemerintah Indonesia tengah menyiapkan aturan untuk melegalkan praktik ekspor benih bening lobster (BBL). Saat ini, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) sedang fokus untuk menyelesaikan regulasi yang bisa menjalankan praktik tersebut, sekaligus melindungi nelayan.
Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) memandang bahwa proses yang sedang dijalankan tersebut, diduga kuat karena ada permintaan dari Vietnam. Negara tersebut selama ini mengembangkan lobster dan bergantung kepada Indonesia untuk suplai BBL.
Beberapa waktu lalu, Sekretaris Jenderal KIARA Susan Herawati menyebut jika kebijakan tersebut berhasil diwujudkan, maka KKP melawan perkataannya sendiri. Selama ini, KKP selalu berjanji untuk melindungi ekosistem dan menjadikan ekologi sebagai panglima.
“Itu sangat tidak rasional dan menunjukkan kegagapannya dalam perlindungan keberlanjutan ekosistem kelautan dan perikanan, serta membuktikan bahwa jargon “ekologi adalah panglima” hanya sekedar lip service,” ungkapnya.
Alasan lain KKP ingin membuka kembali jalur ekspor untuk perdagangan BBL, adalah karena ingin mencegah BBL keluar dari Indonesia melalui jalur ilegal. Selain itu, ekspor juga akan membuka jalan bagi investasi untuk masuk dan melakukan transfer teknologi, serta pengetahuan budi daya lobster modern di Indonesia.
Tetapi, dia menilai kalau alasan yang disebutkan di atas juga tidak rasional dan menunjukkan ada kemunduran langkah yang diambil oleh KKP. Kebijakan membuka keran ekspor BBL, sama saja melepaskan kebijakan melindungi BBL dari eksploitasi industri.
Baca : Kenapa Singapura Menerima Benih Lobster Selundupan?
Menurutnya, kepemimpinan Sakti Wahyu Trenggono sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan di awal periode, patut diapresiasi karena berhasil menjaga keberlanjutan ekologi dari eksploitasi BBL. Juga, menjamin kepastian bahwa nelayan tradisional dan lokal bisa memanfaatkan BBL.
Kinerja seperti itu mirip seperti yang sudah dijalankan Susi Pudjiastuti saat menjadi Menteri KP selama periode 2014-2019. Hanya Edhy Prabowo yang dinilai KIARA gagal melanjutkan kepemimpinan karena melakukan eksploitasi perdagangan BBL, baik di dalam dan untuk ekspor.
Melihat jejak rekam tersebut, Susan Herawati menyebut kalau KKP seharusnya melakukan penguatan untuk pengawasan dan penindakan terhadap para eksportir BBL ilegal. Sebaliknya, KKP memilih untuk melegalkan ekspor karena alasan aktivitas ilegal yang tinggi.
“Langkah yang diambil oleh KKP memperlihatkan adanya kekeliruan berpikir atau logical fallacy di tubuh KKP itu sendiri,” ungkapnya.
Bagi KIARA, apa yang dilakukan oleh KKP bisa memicu banyak kerugian di masa mendatang. Di antaranya, karena eksploitasi komoditas lobster dan BBL akan semakin meningkat dan akan memperparah krisis ekologi dan sumber daya perikanan yang saat ini dihadapi Indonesia.
Hal tersebut bisa mengundang industri untuk masuk ke dalam bisnis ini, dan yang akan mendapat keuntungan besar hanya entitas bisnis saja. Sementara, nelayan kecil/tradisional tetap bernasib sama dan bahkan bisa saja lebih buruk.
Kerugian berikutnya, ekspor BBL secara legal akan meningkatkan eksploitasi sumber daya ikan (SDI) dan praktik penangkapan ikan secara ilegal, tidak dilaporkan, dan melanggar aturan (IUUF). Penilaian tersebut muncul, karena praktik budi daya lobster akan memerlukan ikan rucah sebagai pakan.
Ketiga, ekspor BBL secara legal juga akan mengungungkan Vietnam yang selama ini menjadi negara produsen lobster yang besar di dunia. Negara tersebut memiliki kemampuan teknologi budi daya lobster yang sangat baik dan diakui oleh dunia.
Itu artinya, dengan membuka keran ekspor BBL, maka Indonesia hanya akan membantu Vietnam untuk meningkatkan pendapatan dari penjualan lobster dewasa. Juga, akan membantu negara tersebut untuk semakin aktif melakukan praktik IUUF di perairan Indonesia.
Baca juga : Pemerintah Harus Alihkan Program Prioritas dari Ekspor Benih Lobster
Keempat, ekspor BBL juga akan meningkatkan ekstensifikasi budi daya lobster yang akan mengalihfungsikan wilayah mangrove menjadi lahan-lahan budidaya lobster di pesisir dan perairannya. Terakhir, ekspor BBL akan memicu terjadinya kompetisi di perairan dangkal, tempat habitat lobster, antara nelayan kecil dan tradisional dengan industri perikanan.
“Itu karena terjadi privatisasi ruang beserta komoditas yang ada di dalamnya berhadapan dengan kenyataan bahwa perairan dangkal beserta lobster yang terdapat di dalamnya adalah common pool resources yang biasa diakses oleh nelayan kecil atau tradisional,” terangnya.
Analisis dampak kerugian yang timbul itu, berlawanan dengan upaya yang sudah dilakukan Pemerintah Indonesia dalam upaya menyelamatkan ekspor BBL secara ilegal. Padahal, sepanjang 2023 saja sebanyak 1,4 juta ekor BBL berhasil diselamatkan dan mencegah kerugian sebesar Rp240 miliar.
“Itu patut diapresiasi dan harus ditingkatkan lagi,” tambahnya.
Atas data-data yang diungkapkan di atas, KIARA menilai bahwa Pemerintah, khususnya KKP dengan Sakti Wahyu Trenggono sebagai pemimpinnya, bisa melanjutkan warisan kepada generasi mendatang agar menjaga keberlanjutan sumber daya kelautan dan perikanan adalah mutlak untuk dilakukan.
Konsultasi Publik
Kepala Biro Hukum KKP Effin Martiana pada kesempatan yang lain memberikan penjelasan tentang rencana KKP membuka kembali keran ekspor BBL. Kebijakan tersebut untuk mendorong Indonesia bisa menjadi bagian dari rantai pasok lobster secara global.
Untuk kepentingan itu, KKP fokus menyiapkan regulasi Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan tentang Penangkapan, Pembudidayaan, dan Pengelolaan Lobster, Kepiting, dan Rajungan. Serta aturan turunannya, yakni Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan tentang Harga Patokan Terendah Benih Bening Lobster di Nelayan.
“Kebijakan pemanfaatan benur dikebut guna mendorong produktivitas budi daya lobster di dalam negeri,” ucapnya belum lama ini.
Baca juga : Begini Nasib Nelayan Lobster Lombok Setelah Ekspor Benih Lobster Ditutup
Dia menjelaskanm bahwa proses penyusunan Permen KP saat ini ada dalam tahap harmonisasi di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM). Sementara, Kepmen KP prosesnya masih dalam tahapan konsultasi publik.
Pihaknya berharap, saat Rancangan Permen KP bisa secara resmi disahkan, maka Kepmen KP juga secara parallel bisa mengekor untuk ditetapkan secara sah sebagai sebuah peraturan. Namun, semua itu akan tetap mengikuti proses yang harus dijalani.
Tentang konsultasi publik, itu dilakukan untuk menampung aspirasi berbagai kalangan mengenai harga patokan terendah BBL di nelayan penangkap. Dari hasil survei lapangan dan kajian akademis, KKP menetapkan harga terendah sementara Rp8.500 per ekor.
Menurut dia, untuk bisa menentukan harga patokan terendah Rp8.500 per ekor, KKP mempertimbangkan berbagai hal, mulai dari biaya variabel produksi, biaya tetap produksi, hingga margin keuntungan.
Penentuan harga patokan terendah BBL, mengacu pada beberapa indikator utama yang meliputi permintaan, persaingan, biaya, dan laba dengan dasar pertimbangan yaitu biaya variabel produksi, biaya tetap produksi, dan margin keuntungan yang diterima nelayan.
“Namun, KKP masih menunggu masukan dan informasi lainnya dari nelayan untuk dijadikan pertimbangan hingga akhirnya harga patokan terendah BBL dapat ditetapkan,” tegas dia.
Mengacu pada draf rancangan Kepmen KP untuk BBL, disebutkan bahwa patokan harga terendah akan dilakukan evaluasi minimal paling sedikit satu kali dalam enam bulan, atau sewaktu-waktu apabila diperlukan.
“Pengaturan harga patokan terendah benih benih lobster menjadi jaminan agar nelayan tidak rugi saat menjual hasil tangkapan,” sebutnya.
Baca juga : Penyelundupan Benih Lobster Berakar dari Regulasi yang Tidak Tepat
Keberlanjutan Ekosistem
Selain mempertimbangkan faktor nelayan, Effin Martiana mengatakan jika peraturan yang sedang disiapkan sekarang tetap akan mempertimbangkan keberlanjutan ekosistem dalam pemanfaatan sumber daya BBL. Juga, mendukung budi daya BBL dilaksanakan di dalam dan luar negeri dengan hasil tangkapan dari nelayan kecil/tradisional.
“Regulasi itu kan supporting. Jadi saat ada kebijakan, kita harus berpikir keras seperti apa supaya kebijakan itu berjalan sesuai dengan ketentuan,” tuturnya.
Salah satu provinsi yang selama ini fokus memanfaatkan lobster, adalah Nusa Tenggara Barat. Menurut Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Nusa Tenggara Barat Muslim, pada 2020 estimasi potensi BBL di NTB jumlahnya mencapai 11.024.830 ekor.
Kisaran harga pada tahun itu, adalah Rp10.000-Rp18.000 per ekor untuk BBL pasir, Rp35.000-Rp42.000 per ekor untuk harga BBL Mutiara. Sementara, jumlah nelayan penangkap BBL yang ada di NTB pada 2020 diperkirakan sudah mencapai 10.390 orang.
Sebagai informasi, rancangan Permen KP akan menggantikan Permen KP Nomor 17 Tahun 2021 tentang Pengelolaan Lobster, Kepiting, dan Rajungan WNRI sebagaimana telah diubah dengan Permen KP Nomor 16 Tahun 2022.
Sebelumnya, Direktur Eksekutif Segara Research Institute Piter Abdullah juga mengkritik rencana KKP untuk membuka kembali keran ekspor BBL. Menurutnya, rencana tersebut akan menjadi bumerang bagi Indonesia, karena itu justru akan membesarkan industri perikanan negara lain.
“Bisa saja suatu saat nanti yang terjadi Indonesia tidak lagi memiliki lobster karena benihnya habis diekspor, tapi akhirnya negara lain yang memiliki lobster.,” ungkapnya.
Dia menduga, pemerintah berencana kembali mengekspor BBL hanya untuk kepentingan eksportir. Karenanya, dia mengingatkan semua pihak jika ekspor BBL akan membelenggu pemilik sumber daya alam, bahkan tidak bisa menikmatinya.
Pada 10 Januari 2024, dalam konferensi pers ”Outlook dan Program Prioritas Sektor Kelautan dan Perikanan Tahun 2024”, Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono membeberkan rencana Pemerintah untuk membuka kembali keran ekspor BBL.
Saat itu, dia menjelaskan bahwa rencana tersebut diharapkan bisa segera diterapkan setelah aturannya disahkan. Jika sudah kembali bisa melakukan ekspor, itu diharapkan bisa memberikan manfaat banyak kepada Negara.
Menurutnya, rencana membuka kembali keran ekspor, salah satunya karena pada pertimbangan bahwa sampai saat ini pihaknya belum bisa menghentikan penyelundupan BBL. Pengiriman secara legal itu bisa terus terjadi, karena pengawasan belum bisa berjalan baik.
Dia menyebut kalau pasar ekspor ilegal BBL terbesar sampai saat ini tetap Vietnam. Diperkirakan, nilai transaksi penyelundupan BBL dari Indonesia ke Vietnam bisa mencapai 600 juta benih setiap tahun. Jumlah tersebut diserap untuk memenuhi kegiatan budi daya lobster di negara komunis tersebut.
Memanfaatkan BBL dari Indonesia, Vietnam diketahui sukses melakukan kegiatan budi daya lobster dengan sangat baik dan membawa negara tersebut sebagai salah satu produsen lobster besar di dunia. Tapi, semua BBL untuk Vietnam itu 100 persen didatangkan dari Indonesia.
“Mereka (Vietnam) bilang benih lobster itu dibeli legal dari Malaysia dan Singapura, tetapi saya tahu benih itu asalnya dari Indonesia,” ucapnya.
Dia menekankan, selama Indonesia memberlakukan moratorium ekspor BBL, selama itu penyelundupan BBL ke luar negeri juga tetap berjalan. Sehingga, salah satu opsi yang diambil dan dinilai pilihan terbaik oleh Pemerintah, adalah membuka kembali keran ekspor.
Pembukaan kembali keran ekspor, juga menjadi bentuk diplomasi untuk memberi ruang kepada investor atau pelaku usaha asal Vietnam untuk mengembangkan budi daya lobster di Indonesia. Lewat skema kerja sama antarpemerintah (G to G), Indonesia dapat memasok kebutuhan BBL untuk pembudidaya di Vietnam dengan syarat pelaku membayar pungutan berupa penerimaan negara bukan pajak (PNBP).
Sementara, di saat yang sama juga pelaku usaha di Vietnam bisa mengembangkan budi daya lobster di Indonesia dan diharapkan itu bisa menjadi rantai pasok dan memicu efek berganda untuk usaha pakan dan tenaga kerja.
Meski demikian, Trenggono mengakui kalau transfer teknologi budi daya lobster dari Vietnam ke Indonesia dinilai tidak akan terjadi. Namun, diprediksi bisa tercipta transfer etos kerja dari pembudi daya Vietnam yang kerap tidak dimiliki pelaku budi daya Indonesia.
Dia memberi gambaran, mengekspor BBL akan menciptakan pertumbuhan ekonomi yang tidak sedikit. Jika untuk setiap BBL dikenai tarif PNBP senilai Rp5.000, maka akan terkumpul PNBP senilai Rp1,5 triliun yang berasal dari pengiriman 200-300 juta BBL.
“Itu manfaatnya besar. Benih lobster juga akan mati kalau tidak diambil ataupun dimakan oleh ikan yang lain,” pungkasnya.
Diketahui, selama kurun waktu sembilan tahun terakhir, Indonesia memberlakukan buka tutup keran ekspor BBL. Saat KKP dipimpin Susi Pudjiastuti, ekspor dilarang dari 2015 hingga 2019. Kemudian dibuka pada 2020 saat Edhy Prabowo memimpin KKP.
Tetapi, pada 26 November 2020, ekspor BBL ditutup sementara menyusul kasus suap perizinan usaha budi daya dan ekspor BBL yang menyeret bekas nama Edhy Prabowo dalam kasus tersebut. Imbasnya, pada 2021, keran ekspor BBL kembali dituutp oleh Pemerintah. (***)