- Pulihnya hutan mangrove di Dusun Kuri Caddi, Desa Nisombalia, Kecamatan Marusu, Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan, berdampak pada kesejahteraan nelayan dan menjadi benteng desa dari abrasi.
- Dimulai tahun 2018 hingga sekarang, mangrove terus bertumbuh dan semakin lebat, terlihat dari citra satelit.
- Mangrove di Kuri Caddi dulunya banyak dirusak untuk pembukaan lahan tambak. Ketika tambak tidak produktif, tambak pun ditinggalkan dan terbengkalai. Melalui metode EMR tambak-tambak ini dikembalikan ke kondisi sebelumnya,
- Masyarakat Kuri Caddi memiliki kesadaran ekologi yang cukup tinggi dan mereka memiliki pengetahuan lokal terkait pemanfaatan ruang dan pengelolaan sumber daya alam.
Seorang lelaki muda sedang membersihkan jaring, mengurainya dan melepaskan satu persatu ikan yang tersangkut. Di luar langit mendung. Nelayan mengurungkan niat melaut. Seorang perempuan mengumpulkan kepiting ke dalam sebuah baskom, hasil jeratan rakkang yang dipasang sehari sebelumnya.
Begitulah keseharian masyarakat pesisir di Dusun Kuri Caddi, Desa Nisombalia, Kecamatan Marusu, Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan. Pagi itu, Senin (29/4/2024) kami bersama rombongan peserta pelatihan Indigenous and Local Communities Conserved Areas (ICCAs) melakukan simulasi pembelajaran pendokumentasian masyarakat adat/lokal dalam rangka implementasi Program Marine Tenure Initiative, yang dilaksanakan oleh Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA), Working Group ICCAs Indonesia (WGII) dan Jaring Nusa.
Satu dekade terakhir Kuri Caddi telah menjadi situs belajar mangrove yang diinisiasi oleh Blue Forests, yang dulunya bernama Mangrove Action Project (MAP), melalui program Restoring Coastal Livelihood (RCL) Oxfam. Seiring waktu, Kuri Caddi intens didampingi dan kini menjadi salah satu kisah sukses pengelolaan mangrove berbasis masyarakat di Sulsel, bahkan mungkin di Indonesia.
Mangrove sendiri telah menjadi hal yang tak terpisahkan dari masyarakat Kuri Caddi. Mangrove dijaga karena memberi dampak ekonomi berupa melimpahnya kepitingan rajungan dan beragam jenis ikan. Mangrove juga telah menjadi benteng pertahanan desa dari gempuran abrasi dan banjir rob yang dulunya rutin menghantam desa pesisir itu.
Situs belajar Kuri Caddi sendiri diinisiasi pada tahun 2011, yang difasilitasi oleh Konsorsium Kemitraan Bahari. Pada tahun 2012 diadakan pertemuan antara praktisi dan penggiat mangrove se-Sulawesi Selatan di Makassar untuk membangun kolaborasi melakukan rehabilitasi yang mempertimbangkan berbagai aspek.
Tonggak penting konservasi mangrove di Kuri Caddi ketika program rehabilitasi yang dilaksanakan oleh Blue Forests bekerja sama dengan Muhammadiyah ini mulai berbuah hasil, dengan pertumbuhan mangrove yang cukup signifikan. Dimulai tahun 2018 hingga sekarang, mangrove terus bertumbuh dan semakin lebat, terlihat dari citra satelit.
Baca : Situs Belajar Mangrove Kurri Caddi Maros, Kisah Sukses Rehabilitasi Metode EMR

Abdullah, mantan Kepala Dusun Kuri Caddi, begitu antusias ketika bercerita bagaimana dusun mereka bertransformasi dari daerah langganan banjir rob kini menjadi lebih aman seiring semakin bagusnya mangrove di daerah itu.
“Memang dulu banyak yang tebang mangrove untuk bangun rumah, perahu ataupun kayu bakar. Tapi kemudian ada larangan. Dari Muhammadiyah sendiri sebagai pemilik lahan mengancam akan kasih denda Rp1 juta kalau ada yang berani tebang. Sekarang tak ada yang berani. Mangrove terjaga dan semakin banyak karena adanya program dari MAP itu,” katanya.
Kuri Caddi tidak sepenuhnya bebas dari abrasi karena sebagian pesisirnya adalah kawasan yang tak kondusif bagi pertumbuhan mangrove. Abdullah mencontohkan daerah sekitar rumahnya yang semakin hilang karena abrasi.
“Dulu itu anak-anak bisa main bola sekitar 50 meter ke luar laut, tapi setiap tahun ada abrasi, apalagi kalau hujan, air bisa masuk ke dalam rumah meski hanya sekitar 1-2 jam saja,” katanya.
Kawasan konservasi mangrove memang agak terpisah dari kawasan pemukiman warga. Sebagian pesisir Kuri Caddi kini juga dikelola sebagai kawasan wisata bagi masyarakat lokal. Terdapat tracking mangrove sekitar 50 meter menjorok ke laut yang sekelingnya ditumbuhi mangrove meski tak begitu lebat.
Rehabilitasi mangrove di Kuri Caddi menggunakan metode yang disebut Ecological Mangrove Rehabilitaton (EMR), yaitu perbaikan ekosistem mangrove dengan memperbaiki sistem hidrologinya. Meski tergolong mahal, metode ini terbukti sangat efektif memperbaiki ekosistem mangrove sehingga bisa tumbuh kembali seperti dulu.
Menurut Yusran Nurdin Massa, Environmental Technical Advisor (ETA) di Blue Forests/Yayasan Hutan Biru, mangrove di Kuri Caddi dulunya banyak dirusak untuk pembukaan lahan tambak. Ketika tambak tidak produktif, tambak pun ditinggalkan dan terbengkalai.
“Melalui metode EMR tambak-tambak ini dikembalikan ke kondisi sebelumnya, dibuatkan saluran-saluran yang memungkinkan mangrove akan tumbuh secara alami. Dengan metode ini rehabilitasi mangrove bisa jauh lebih efektif,” katanya.
Baca juga : Tanam Mangrove di Maros, Luhut Tegaskan Pentingnya Rehabilitasi Mangrove untuk Masa Depan

Harpin, seorang warga, ia nelayan dan kadang menjadi driver perahu sebagai transportasi utama di dusun itu ke Makassar, bercerita betapa kehadiran mangrove menjadi berkah bagi warga, menopang kehidupan keseharian mereka.
“Hampir seluruh warga di sini menangkap kepiting, seorang bisa memilik antara 300-500 rakkang, menjadi sumber pencaharian warga. Tidak hanya menangkap kepiting, mereka juga banyak usaha olahan kepiting dan ada juga bekerja di perusahaan pengelupasan kepiting,” ujarnya.
Rakkang adalah perangkap kepiting yang terbuat dari besi dan jaring plastik. Alat ini bertransformasi dari dulunya terbuat dari bambu sepanjang 1 meter yang di simpan di bawah air untuk memerangkap kepiting atau ikan.
Menurut Harpin, setiap harinya sekitar 25 perempuan di Dusun Kuri Caddi ke Makassar lewat jalur laut bekerja sebagai tenaga pengelupasan kepiting di sebuah perusahaan yang berada di kawasan pelabuhan ikan Untia Makassar. Mereka digaji mingguan sekitar Rp700 ribu dan bahkan lebih jika bekerja lembur.
Mangrove dan kepiting juga dikelola menjadi produk olahan berupa teh mangrove dan kerupuk kepiting yang diproduksi oleh kelompok perempuan Mama Maros. Mereka dulunya dilatih oleh Blue Forests melalui sekolah lapang.
Baca juga : Cerita Sukses Warga Maitara Kelola Mangrove Tersisa Jadikan Ekowisata

Menurut Rio Ahmad, Direktur Blue Forests/Yayasan Hutan Biru, masyarakat Kuri Caddi memiliki kesadaran ekologi yang cukup tinggi dan mereka memiliki pengetahuan lokal terkait pemanfaatan ruang dan pengelolaan sumber daya alam.
Ia mencontohkan ada sebuah kawasan bernama Tanetea yang disakralkan karena adanya makam pendiri kampung atau punna wanua. Di kawasan ini ada larangan menebang pohon, meludah sembarangan mengeluarkan kata-kata yang tak pantas.
“Mereka juga punya aturan-aturan atau pengetahuan lokal terkait waktu dan lokasi pemanfaatan ruang. Misalnya mereka tidak akan memasang perangkap kepiting di kawasan pesisir yang disebut legese di malam bulan purnama. Ternyata di bulan purnama adalah waktu naiknya ikan buntal yang bisa merusak alat tangkap kepiting mereka.”
Di Kuri Caddi sendiri Blue Forests telah membangun Mangrove Center yang digunakan untuk edukasi masyarakat, pusat kegiatan sekolah lapang dan bisa dimanfaatkan mahasiswa yang sedang melakukan penelitian terkait mangrove.
“Kita ada kerja sama dengan Unhas untuk penelitian, kita fasilitasi penelitian mahasiswa untuk tugas akhir dengan tema beragam terkait mangrove dan ekosistemnya, pemanfaatan dan bahkan kualitas air. Data-data yang akan sangat berguna bagi masa depan mangrove di Kuri Caddi ke depannya,” pungkasnya. (***)