- Peningkatan fungsi serapan karbon biru di wilayah pesisir laut Indonesia terus didorong hingga bisa berjalan maksimal. Upaya tersebut bertujuan agar pengelolaan laut bisa berjalan dengan berkelanjutan dan menjaga kelestarian ekosistem di dalamnya
- Dengan meningkatkan fungsi, maka perluasan zona inti perairan laut dan peningkatan kualitas kawasan konservasi perairan hingga 30 persen dari total luas laut Indonesia, mutlak untuk dilakukan dengan beragam cara
- Jika semua upaya tersebut dilaksanakan dengan baik, maka akan berkontribusi pada program yang dijalankan Pemerintah Indonesia, yaitu menerapkan ekonomi biru yang berkelanjutan. Demi program tersebut, penataan pemanfaatan ruang laut untuk perlindungan ekosistem pesisir dan laut juga dijalankan
- Penerapan ekonomi biru juga diharapkan bisa ikut menjaga keberlanjutan sumber daya ikan, meningkatkan pertumbuhan ekonomi di wilayah, dan meningkatkan kesejahteraan nelayan dengan program penangkapan ikan terukur berbasis kuota
Pemulihan kesehatan laut di seluruh wilayah perairan laut Nusantara menjadi salah satu tujuan yang ingin dicapai oleh Pemerintah Indonesia melalui penerapan ekonomi biru. Tujuan tersebut diharapkan bisa berjalan beriringan dengan upaya percepatan pertumbuhan ekonomi kelautan yang berkelanjutan.
Salah satu upaya yang diharapkan bisa mempermudah capaian dua tujuan di atas, adalah dengan meningkatkan fungsi serapan karbon biru yang ada di wilayah pesisir laut Indonesia. Upaya tersebut diharapkan bisa tercapai melalui peningkatan kualitas kawasan konservasi perairan hingga 30 persen dari total luas laut Indonesia.
Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono mengatakan, upaya untuk meningkatkan kemampuan serapan karbon akan memberi manfaat yang banyak bagi ekosistem di pesisir dan laut. Cara tersebut juga menjadi bagian dari sinkronisasi implementasi kebijakan ekonomi biru di Indonesia.
Selain melalui upaya peningkatan kualitas kawasan konservasi perairan dan memperluas zona inti, juga dilakukan melalui penataan pemanfaatan ruang laut untuk perlindungan ekosistem pesisir dan laut.
“Di mana seluruh kegiatan harus sesuai dengan alokasi ruang laut, daya dukung, dan mitigasi dampaknya,” ungkapnya belum lama ini di Salatiga, Jawa Tengah.
Penerapan ekonomi biru juga diharapkan bisa ikut menjaga keberlanjutan sumber daya ikan, meningkatkan pertumbuhan ekonomi di wilayah, dan meningkatkan kesejahteraan nelayan dengan program penangkapan ikan terukur berbasis kuota.
Selain itu, Trenggono juga berharap kalau penerapan ekonomi biru yang ada di wilayah perairan laut Indonesia bisa ikut menjaga daya dukung lingkungan dengan budi daya ramah lingkungan untuk kesejahteraan masyarakat.
baca : Karbon Biru di Tengah Tantangan dan Hambatan
Secara garis besar, sudah disiapkan skenario oleh Pemerintan dalam penerapan ekonomi biru di Indonesia. Di antaranya adalah ekosistem laut sehat dan berkelanjutan, penangkapan ikan sesuai dengan potensi lestarinya yakni terukur berbasis kuota, serta budi daya ikan ramah lingkungan dan efisien.
“Juga pengawasan integratif, terdapat partisipasi aktif masyarakat, peningkatan nilai tambah, dan tersedianya layanan sosial ekonomi, kesehatan, pendidikan bagi masyarakat kelautan,” sebut dia.
Peran ekonomi biru sendiri diyakini akan terus meningkat di masa mendatang, seiring dengan pelaksanaan “Visi Indonesia 2045: Ekonomi Biru untuk Perikanan Indonesia.” Dia meyakini bahwa ekonomi biru akan menjadi salah satu acuan utama untuk membuat laut Indonesia berkelanjutan dan mampu mendorong pertumbuhan ekonomi rakyat maupun nasional.
Adapun, untuk bisa melaksanakan transformasi perikanan dengan penerapan ekonomi biru pada 2045, Pemerintah Indonesia sudah menyiapkan tiga fase utama. Yaitu, melalui penerapan manajemen kuota perikanan tangkap dan restrukturisasi ekonomi nelayan dan pembudidaya ikan, percepatan pertumbuhan yang berfokus pada ekonomi biru, dan memperkuat pertumbuhan.
Dengan penerapan ekonomi biru, Trenggono meyakini kalau sumber daya perikanan bisa terus dikelola dengan cara yang berkelanjutan. Dari situ, upaya untuk mendorong produksi dan segala turunannya bisa berjalan baik.
“Sebagai perbandingan, pangsa pasar dan produksi perikanan kita diproyeksikan meningkat hingga sebelas persen dan lebih banyak perikanan budi daya daripada perikanan tangkap di tahun-tahun mendatang,” tegas dia.
baca juga : Begini Tantangan dan Strategi Pengelolaan Karbon Biru di Indonesia
Tentang penguatan ekosistem karbon biru, Trenggono menyebutkan kalau itu menjadi langkah nyata untuk menghambat laju perubahan iklim yang saat ini sedang melanda dunia. Untuk bisa memaksimalkan peran tersebut, KKP menyiapkan sejumlah strategi untuk penguatan ekosistem karbon biru.
Strategi tersebut yaitu dengan memperluas dan menjaga secara ketat kawasan konservasi mangrove, padang lamun, dan terumbu karang. Kemudian, menerapkan kebijakan penangkapan ikan terukur berbasis kuota, dan pengembangan perikanan budi daya berkelanjutan.
“Serta penataan pemanfaatan ruang laut dan pulau-pulau kecil yang mengutamakan perlindungan ekosistem,” terang dia.
Dalam penilaian Trenggono, saat ini Indonesia sedang dihadapkan pada situasi, di mana harus bisa menjaga laut dengan baik, namun disaat sama harus bisa memanfaatkaannya secara ekonomi dengan maksimal.
“Laut dan ekosistem pesisir mempunyai fungsi penting dalam pengendalian perubahan iklim dan peningkatan kesejahteraan masyarakat,” tambah dia.
Dengan melaksanakan upaya penguatan ekosistem karbon biru, itu juga menjadi komitmen dari Pemerintah Indonesia untuk bisa melaksanakan perlindungan terhadap ekosistem laut dan pesisir. Dari situ, diharapkan bisa berkontribusi pada penanganan perubahan iklim.
baca juga : Besarnya Potensi Karbon Biru dari Pesisir Indonesia, Tetapi Belum Ada Roadmap Blue Carbon. Kenapa?
Potensi Karbon Biru
Dari data yang disajikan KKP, Indonesia memiliki peran penting dalam hal mitigasi perubahan iklim dari aspek karbon biru. Selain dari ekosistem mangrove seluas 3,36 juta hektare, ada juga padang lamun seluas 3 juta ha potensinya mencapai 17 persen cadangan karbon biru dunia.
“Kemampuan karbon biru ini sering dikatakan lebih besar dibandingkan kemampuan yang sama dari vegetasi daratan atau karbon hijau,” sebutnya.
Agar bisa melaksanakn semua skenario dan strategi yang sudah disusun, KKP meminta perguruan tinggi bisa terlibat langsung dalam proses pelaksanaan.
Tidak hanya itu, Kementerian dan Lembaga (K/L), Pemerintah Daerah, dan semua pemangku kepentingan bisa ikut juga terlibat dalam upaya melaksanakan perikanan yang berkelanjutan melalui ekonomi biru.
Selain itu, keterlibatan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) diharapkan juga bisa menjadi bagian dari sinergi kerja sama dalam penguatan ekosistem karbon biru di Indonesia. Selain melaksanakan restorasi ekosistem mangrove, fokus juga harus dilakukan untuk melaksanakan perluasan kawasan konservasi perairan.
“Kami bersama-sama bersama Kementerian LHK untuk membuat terobosan-terobosan untuk menjaga lingkungan laut yang diyakini lebih besar dalam penyerapan emisi karbon dapat selalu terjaga,” ujarnya.
Trenggono berharap, ke depannya dengan penerapan prinsip ekonomi biru tersebut, ekosistem laut dapat terjaga dalam jangka panjang sehingga dapat menciptakan lapangan kerja yang dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir dan memperkuat ekonomi nasional.
baca juga : Fokus Kegiatan Riset Kelautan dan Perikanan: Ekonomi Biru
Komitmen Netral Karbon
Belum lama ini, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan juga memaparkan target Indonesia untuk mencapai netral karbon dunia pada 2050 dan menjaga peningkatan suhu pada 1,5 derajat Celcius.
Pernyataan tersebut disampaikan, berkaitan dengan penyelenggaraan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Kelompok 20 atau Group of Twenty (G20) yang akan berlangsung di Bali, pada akhir 2022 nanti. Bersamaan dengan kegiatan tersebut, Indonesia akan menggelar Bloomberg NEF (BNEF) Net Zero Summit yang pertama di Bali, pada 12 November nanti.
Luhut berharap, kegiatan perdana tersebut akan mengumpulkan masukan dari para pemimpin bisnis global dan juga investor utuk mencari cara bagaimana bisa mencapai netral karbon. Segala masukan yang akan terkumpul nanti, akan menjadi upaya untuk mempercepat pemulihan dunia setelah pandemi COVID-19.
Pertemuan ini akan mempertemukan 300 pemimpin bisnis, serta investor global dan lokal untuk mengeksplorasi peluang pertumbuhan dalam transisi energi ke masa depan nol bersih dan upaya dekarbonisasi negara.
Utusan Khusus Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk Ambisi dan Solusi Iklim Michael R Bloomberg menyampaikan, Indonesia sebagai negara dengan ekonomi terbesar di Asia Tenggara dan memiliki potensi besar untuk pengembangan energi bersih, akan mampu membantu memperkuat transisi kawasan dari bahan bakar fosil.
“Dengan melakukan hal tersebut, Indonesia dapat menunjukkan bagaimana investasi yang diperlukan untuk melawan perubahan iklim, juga menciptakan lapangan kerja lokal, mendukung kewirausahaan, dan menumbuhkan ekonomi,” jelas dia.
menarik dibaca : Apakah Mangrove si Penyerap Karbon Bisa Tergantikan Teknologi?
Tantangan Karbon Biru
Seperti diketahui, ekosistem padang lamun dan mangrove adalah benteng utama yang selama ini menjadi pelindung wilayah pesisir, terutama berlindung dari dampak perubahan iklim yang makin nyata terjadi.
Namun, kebijakan ekosistem karbon biru (EKB) masih menghadapi tantangan yang kuat karena masih ada duplikasi dan ketidakjelasan kewenangan antara KLHK, KKP, dan Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM).
CEO Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI) Mas Achmad Santosa mengatakan, permasalahan duplikasi dan ketidakjelasan kewenangan yang bisa menghambat pelaksanaan, pengawasan, dan pengelolaan EKB harus diatasi segera agar bisa menjadi lebih efektif dalam pelaksanaan kebijakan di lapangan.
Sejumlah persoalan yang mendesak diselesaikan, adalah penyusunan tata ruang harus didasarkan pada inventarisasi lingkungan dan kajian lingkungan hidup strategis (KLHS), percepatan penggabungan antara tata ruang darat dan laut sesuai mandat Undang-Undang Cipta Kerja (UUCK).
“Serta pengawasan dan penegakan hukum secara konsisten terhadap pelanggaran kebijakan tata ruang,” jelas dia belum lama ini di Jakarta.
Santosa juga mengatakan bahwa akan ada potensi konflik tenurial antara Pemerintah dengan masyarakat yang menjadi pemilik lahan di kawasan pesisir dan sekaligus penjaga EKB. Ancaman tersebut harus diantisipasi, karena bisa menghambat efektivitas perlindungan EKB dan pemanfataan ekonominya.
“Selain mangrove, data total luasan dan kondisi padang lamun di Indonesia (juga) belum tersedia sampai saat ini karena memang belum mendapat perhatian secara khusus dari Pemerintah,” tambah dia.
Selain itu, agar pengelolaan EKB bisa menjadi lebih baik pada 2022, diperlukan integrasi pangkalan data (database), perencanaan, pengelolaan, pengawasan, kelembagaan, hingga pemberian manfaat ekonomi bagi Pemerintah, pelaku usaha, dan masyarakat.
Deputi Bidang Perencanaan dan Evaluasi BRGM Profesor Satyawan Pudyatmoko menerangkan, merujuk pada Peraturan Presiden RI Nomor 98 Tahun 2021 tentang Nilai Ekonomi Karbon, pemanfaatan karbon melalui dua ekosistem tadi, harus ditindaklanjuti dengan melaksanakan prosedur menghitung efektivitas penyerapan dan penyimpanan karbon.
Kemudian, juga harus ada mekanisme pemberian dan pendistribusian manfaat antara Pemerintah Pusat dan Daerah, sehingga pelaksanaannya dapat memberikan manfaat yang besar untuk kepentingan masyarakat.
Di sisi lain, dengan tantangan dan segala keterbatasan yang ada, Pemerintah Indonesia tetap optimis akan bisa memenuhi komitmen pengurangan emisi hingga 29 persen pada 2030 mendatang. Komitmen tersebut menjadi bagian kesepakatan Paris (Paris Agreement) yang dihasilkan dari Konferensi Perubahan Iklim Perserikatan Bangsa-Bangsa ke-21 (COP21) di Paris, Prancis, tahun 2015.