- Pembahasan dan pengesahan RUU Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat (RUU MHA) berkejaran dengan waktu. Pembahasan berisiko mulai dari nol kalau pengesahan tidak selesai sebelum periode DPR 2019-2024 berakhir.
- Luluk Hamidah, anggota Baleg DPR dalam diskusi publik di Jakarta, baru-baru ini, menekankan pendeknya waktu tersisa. Kalau ingin dikejar sebelum periode DPR saat ini berakhir, harus segera tuntas pada Agustus-September 2024.
- Ada dikotomi pengesahan RUU mendesak dan tidak hingga membedakan kecepatan dan perlakuan pengesahan kebijakan. RUU Masyarakat Adat pun pada posisi dianggap tidak mendesak atau tak penting.
- Abainya pemerintah dan DPR menerbitkan UU MHA ini pendorong AMAN dan delapan anggota komunitas adat gugat ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta. Perkembangan terbaru, penggugat menyerahkan kesimpulan pada PTUN.
Pembahasan dan pengesahan RUU Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat (RUU MHA) berkejaran dengan waktu. Pembahasan berisiko mulai dari nol kalau pengesahan tidak selesai sebelum periode DPR 2019-2024 berakhir.
Perkembangannya, RUU MHA sudah selesai dibahas di Badan Legislatif (Baleg) DPR sejak 2020 dengan rapat pleno menghasilkan tujuh fraksi setuju dan sisanya, Golkar dan PDIP, menolak. RUU ini belum sempat dibawa ke rapat paripurna sebagai RUU inisiatif DPR lantaran masih mandek di meja pimpinan DPR.
Luluk Hamidah, anggota Baleg DPR dalam diskusi publik di Jakarta, baru-baru ini, menekankan pendeknya waktu tersisa. Kalau ingin dikejar sebelum periode DPR saat ini berakhir, harus segera tuntas pada Agustus-September 2024.
“Karena saya tidak tahu apakah akan jadi carry over karena belum diparipurnakan,” katanya.
Dia bilang, ada dua cara bisa ditempuh untuk percepatan pengesahan RUU MHA. Pertama, menagih langsung ke pimpinan DPR untuk minta jaminan penyelesaian RUU secara bermartabat.
Politikus Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) ini menyebut, posisi RUU MHA yang masih tertahan di meja pimpinan DPR, membuat parlemen tidak bisa bersurat ke pemerintah atau presiden untuk tindak lanjut setelah pengesahan. Padahal, tinggal dua atau tiga langkah lagi diundangkan setelah RUU sah di rapat pleno DPR.
“Setelah presiden disurati, presiden akan menunjuk kementerian atau lembaga terkait bikin daftar isian masalah. Lalu presiden akan terbitkan surat lagi ke DPR. Baru dibawa ke Bamus (Badan Musyawarah) untuk tunjuk baleg/komisi sebagai pihak yang bahas dengan pemerintah,” kata Luluk.
Kedua, dengan mendesak pemerintah agar bisa proaktif meminta DPR menetapkan RUU MHA sebagai RUU inisiatif.
Sembari menunggu proses berjalan masuk ke rapat pleno, kata Luluk, pemerintah bisa menyiapkan DIM. Draft RUU di Baleg pun bisa terakses.
Jadi, katanya, tak ada alasan pemerintah menunda atau memperlambat pengesahan karena belum ada DIM. “Kita punya bridging team yang bisa melakukan ini bareng-bareng. Jadi pihak pemerintah dan elemen di DPR bisa bertemu bersama untuk bisa mendiskusikan DIM.”
Dia bilang, proses pengesahan akan lebih mudah kalau pimpinan DPR memberikan mandat pembahasan ke Baleg, tidak hanya di komisi. “Ini jadi jaminan saya. Jadi, kami bisa terima masukan dari masyarakat sipil dan komunikasi dengan pemerintah tidak harus dari nol lagi,” katanya.
Nihil political will
RUU MHA walau sudah beberapa kali masuk dalam program legislasi nasional (prolegnas) tetapi tak selesai, Luluk nilai karena tak ada niat baik (political will).
Padahal, situasi di lapangan menunjukkan masyarakat adat rentan di tengah rezim investasi yang kuat. Apalagi, praktik korporasi sektor pertambangan dan kehutanan banyak beririsan dengan masyarakat adat.
Rezim saat ini pun, kata Luluk dibanjiri proyek strategis nasional (PSN) yang rawan melanggar hak termasuk masyarakat adat demi kepentingan ekonomi dan negara.
“Kalau ini (political will) ada, hambatan apapun bisa dilampaui,” katanya.
Selain itu, katanya, ada dikotomi pengesahan RUU mendesak dan tidak hingga membedakan kecepatan dan perlakuan pengesahan kebijakan. RUU MHA pun pada posisi dianggap tidak mendesak atau tak penting.
Berbeda dengan UU Daerah Khusus Jakarta yang disebut Luluk bisa selesai laiknya bermain sulap. Dalam satu hari, DPR bisa menyelesaikan beberapa tahapan proses RUU ini.
“Barangkali seperti itu. (RUU MHA) dianggap tidak berkejaran dengan waktu dan tidak harus diselesaikan secepatnya,” katanya.
Kondisi ini, katanya, tidak boleh terus dibiarkan. Luluk bilang, payung hukum untuk mengakui dan melindungi masyarakat adat perlu sebagai mekanisme terbaik mitigasi konflik agraria.
UU ini, katanya, bisa menjadi referensi pencegahan konflik antara masyarakat adat, korporasi, dan negara. Dengan begitu, tidak ada pengesampingan masyarakat adat hanya karena kalah kuat dari kepentingan kapital.
”UU ini penting untuk bisa pastikan entitas dan kehadiran masyarakat adat diakui dan dilindungi, juga hak-hak mereka terpenuhi,” kata Luluk.
Syamsul Alam Agus, Ketua Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN) menyebut, masyarakat adat sudah terabaikan pemerintah dan DPR sejak lama. Pengabaian ini dibarengi perampasan wilayah adat di berbagai tempat.
Alam mengatakan, ada eskalasi perampasan wilayah adat selama tiga tahun terakhir. Pada 2021, ada 13 kasus dengan wilayah adat terampas 251.000 hektar. Pada 2022, ada 19 kasus dengan 600.000 hektar wilayah adat terampas.
Perampasan wilayah adat mencapai titik tertinggi 2023 dengan 35 kasus dan 2.578.073 hektar wilayah terdampak. Perampasan ini, katanya, dimotori proyek pemerintah yang kerap menempatkan masyarakat adat berhadapan dengan hukum saat mempertahankan wilayah mereka.
“Masyarakat adat selama ini dihadapkan dengan proyek pembangunan yang mengabaikan prinsip HAM,” kata Alam.
Pelanggaran HAM ini pun menjadi ganda dengan pengabaian pemerintah dan DPR membentuk UU MHA. “Ini adalah salah satu bentuk pelanggaran HAM dalam kategori by omission,” katanya.
Jadi bagaimana?
Sjamsul Hadi, Direktur Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Masyarakat Adat Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) mengatakan, pemerintah tengah menyiapkan alternatif atas kekosongan payung hukum terhadap masyarakat adat. Direktorat yang dia pimpin tengah mengupayakan rancangan peraturan presiden soal pemenuhan hak masyarakat adat.
”Ini kami lakukan sambil tunggu percepatan UU MHA. Supaya pengakuan dan perlindungan masyarakat adat tidak stuck,” katanya.
Selama ini, pengakuan masyarakat adat dengan mengandalkan perda atau surat keputusan kepala daerah. Dengan pol aitu, katanya, pengakuan belum berjalan baik karena ada perbedaan pemahaman di tiap kepala daerah terkait langkah apa yang harus mereka lakukan untuk pengakuan.
”Maka kami dorong juga raperpres ini karena pengakuan di kabupaten/kota belum berjalan baik,” katanya.
Raperpres ini akan membahas percepatan pemenuhan hak masyarakat adat meliputi pengakuan dan perlindungan, pemberdayaan, pendidikan, ekspresi budaya, dan tempat sakral.
Pengakuan dan perlindungan ini, katanya, dengan cara identifikasi dan penetapan oleh kepala daerah.
“Saat ini posisi sudah dalam tahap pertemuan antar kementerian,” kata Sjamsul.
Alam tetap berpendapat UU MHA harus prioritas. Pasalnya, UU sektoral dan kebijakan daerah justru kerap merugikan masyarakat adat.
”Ada ketidakserasian antara apa yang diperintahkan UUD dengan apa yang dilakukan pemerintah,” kata Alam.
Satu sisi, negara dimandatkan menerbitkan UU MHA, tetapi produk yang dihadirkan justru dalam bentuk perda, SK, maupun surat edaran.
Alam bilang, ada 345 kebijakan daerah dan peraturan daerah terkait masyarakat adat dengan landasan yuridis UU Desa dan Pemerintahan Daerah yang tidak ada kaitan dengan masyarakat adat.
“Ada kesan pemerintah pusat lempar handuk pada pemerintah daerah atas tanggung jawab mereka hasilkan UU,” kata Alam.
Perkembangan gugatan di PTUN
Abainya pemerintah dan DPR menerbitkan UU MHA ini pendorong AMAN dan delapan anggota komunitas adat gugat ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta. Perkembangan terbaru, penggugat menyerahkan kesimpulan pada PTUN.
“Setelah proses pembuktian di persidangan selesai, penyerahan kesimpulan merupakan agenda terakhir sebelum majelis hakim menjatuhkan putusan,” kata Alam dalam keterangan tertulis.
PPMAN sebagai kuasa hukum dari penggugat dalam persidangan memberikan bukti untuk menguatkan dalil gugatan. Dokumen itu ialah 45 bukti surat, enam orang saksi fakta, dan tiga saksi ahli.
Gugatan AMAN ini didukung berbagai pihak. Tidak tanggung-tanggung, 46 guru besar dan dosen tergabung dalam Asosiasi Pengajar Hukum Adat (APHA) Indonesia menyatakan diri sebagai sahabat peradilan (amicus curiae).
Penyerahan amicus curiae APHA Indonesia awal April. Ketua Umum APHA Indonesia Laksanto Utomo dilansir Antara menyebut, guru besar dan dosen mendukung AMAN menggugat presiden dan DPR.
Dukungan juga datang dari Jaringan Advokasi Tambang. Lewat unggahan di media sosial mereka, Jatam menyebut, penyerahan amicus curiae ke PTUN Jakarta bertepatan dengan Hari Bumi 22 April lalu.
Muhamad Jamil dari Divisi Hukum Jatam Nasional mengatakan, kekosongan hukum menyebabkan masyarakat adat menjadi korban dan penaklukan industri tambang. Untuk itu, Jatam mendukung penuh gugatan dan mendesak presiden dan DPR melanjutkan pembahasan RUU menjadi UU.
”Keadilan harusnya mengedepankan perlindungan terhadap lingkungan hidup demi keselamatan masyarakat adat dan seluruh rakyat Indonesia,” katanya.
*******
Masyarakat Adat Minim Perlindungan, Penetapan Hutan Adat pun Lamban