- Masyarakat adat di nusantara belum mendapatkan pengakuan dan perlindungan. Hak-hak para penjaga bumi ini masih terabaikan.
- Sepanjang 2023, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) mencatat, setidaknya ada 2.578.073 hektar wilayah adat terampas oleh negara dan korporasi.
- Rukka Sombolinggi, Sekjen AMAN, mengatakan, kawasan dengan ekosistem tinggi dan hutan-hutan yang tahan terhadap perubahan iklim berada di kawasan yang dijaga masyarakat adat.
- Studi International Institute for Sustainable Development (IISD) menyebutkan, 80% keanekaragaman hayati tersisa di dunia berada di lahan yang dijaga masyarakat adat.
Hermina Mawa, selalu ingat perlakuan tidak adil negara padanya dan Masyarakat Adat Rendu, di Kabupaten Nagekeo, Nusa Tenggara Timur. Proyek Bendungan Lambo yang merampas perkebunan, ruang hidup termasuk tempat bahan baku tenun alami mereka.
Perempuan 50 tahun yang akrab disapa Mama Mince ini sesekali menahan isak saat menceritakan nasibnya. Baginya, tidak ada hal lebih pilu ketimbang kehilangan tanah yang selama ini jadi andalan menghidupi keluarga.
“Kampung halaman kami, kebun kami itu hilang. Kehidupan kami di sana. Masyarakat adat itu hidupnya bertani,” kata ibu dua anak ini.
Mince memberikan kesaksian dalam gugatan Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) terhadap presiden dan DPR karena tak kunjung pengesahan RUU Masyarakat Adat, di Jakarta, belum lama ini.
Selain bertani, Masyarakat Adat Rendu juga berburu, dan meramu. Mereka menenun, menganyam dan membuat tikar. Semua kegiatan ini mengandalkan bahan baku dari hutan dan alam seperti pandan, lontar, dan tanaman pewarna alami. Kini, lahan atau padang tempat bahan-bahan itu tumbuh sudah tergusur.
Proyek Bendungan Lambo pun disebut Mama Mince melahap kawasan-kawasan yang memiliki identitas adat. “Ada tempat di mana kami biasa melakukan ritual sebelum berburu sudah digusur. Makam-makam leluhur di dekat rumah pun nantinya kena gusur,” kata Mince.
Keberadaan dan hak-hak mereka tak dianggap. Masyarakat adat bukan tanpa perlawanan. Beberapa kali mereka protes dan menghadang alat berat yang akan masuk, tetapi selalu berujung pada tindakan represif dari aparat.
Mama Mince pernah menjadi korban bahkan kena borgol aparat hingga menyisakan trauma.
Mereka juga protes di daerah sampai ke Jakarta, dari DPRD hingga pemerintah pusat tetapi tidak membuahkan hasil. Pembangunan waduk terus berjalan. Masyarakat Adat Rendu pun mulai ada yang pindah, tercerabut dari tempat mereka hidup selama ini.
“Tahun 2017, saya sudah ketemu Menteri PUPR, Komnas HAM, hingga Ombudsman, tapi tidak ada hasil apa-apa,” katanya.
Nasib yang Mama Mince dan Komunitas Rendu alami hanya satu dari begitu banyak kasus masyarakat adat di nusantara ini yang tak mendapatkan pengakuan dan perlindungan. Hak-hak mereka terabaikan.
Sepanjang 2023, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) mencatat, setidaknya ada 2.578.073 hektar wilayah adat terampas oleh negara dan korporasi.
Sebagian besar penguasaan wilayah adat disertai kekerasan dan kriminalisasi. Pada 2023, jatuh 247 korban, dan 204 orang luka-luka, satu orang tertembak hingga tewas, sekitar 100 rumah warga adat hancur karena dianggap mendiami kawasan konservasi.
Padahal, menurut Rukka Sombolinggi, Sekjen AMAN, kawasan dengan ekosistem tinggi dan hutan-hutan yang tahan terhadap perubahan iklim berada di kawasan yang dijaga masyarakat adat.
Pernyataan Rukka memperkuat studi tahun 2022 oleh International Institute for Sustainable Development (IISD). Dalam studi ini disebutkan 80% keanekaragaman hayati tersisa di dunia berada di lahan yang dijaga masyarakat adat.
“Gaya hidup atau budaya masyarakat adat itu masih selaras dengan alam sesuai dengan titipan leluhur. Itulah yang menjaga sampai hari ini,” kata Rukka saat dihubungi Mongabay.
Keberhasilan masyarakat adat, katanya, tidak lepas dari tata pemerintahan, tata kepengurusan dan tata kelola yang sangat kuat. Hingga apa yang mereka jaga dan kembangkan di wilayah adat bukan sekadar untuk ekonomi, tetapi kebutuhan hidup maupun budaya.
“Segala keanekaragaman hayati di kawasan yang mereka jaga merupakan sumber makanan, pengetahuan, obat-obatan, livelihood hingga kekuatan ekonomi mereka,” kata Rukka.
Untuk itu, praktik-praktik masyarakat adat tak merusak alam. Berbanding terbalik dengan industri ekstraktif atau proyek-proyek pembangunan infrastruktur.
Celakanya, tidak sedikit ragam kegiatan ini yang mengambil wilayah adat. Catatan AMAN, setidaknya 8,4 juta hektar wilayah adat hilang dalam 10 tahun terakhir karena terrampas untuk perusahaan hingga infrastruktur.
Kondisi ini, kata Rukka, tidak lepas dari tidak kunjung pengesahan RUU Masyarakat Adat. Padahal, katanya, putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 35/2012 sudah mengingatkan kembali mandat konstitusi dan meminta pemerintah melepaskan hutan adat dari hutan negara.
“Undang-undang tidak disahkan, sementara proses pelepasan untuk perizinan berjalan terus,” sindir Rukka.
Perlindungan minim
Selama ini, pengakuan dan perlindungan negara terhadap para penjaga bumi ini masih bergantung pada peraturan daerah dan penetapan kawasan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK). Upaya mengisi kekosongan ini cenderung berjalan satu arah, berdasarkan permintaan masyarakat adat dan kelompok masyarakat sipil yang mendampingi mereka, minim proaktif pemerintah.
“Sejak 2009, kami mengutus kader-kader kami ke daerah. Untuk masuk ke DPRD membuat perda, meminta SK Bupati. Itu bukan pekerjaan pemerintah, itu pekerjaan AMAN, pekerjaan masyarakat adat,” kata Rukka.
Catatan terakhir Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) menunjukkan, sudah 1.425 wilayah adat seluas 28,2 juta hektar mereka registrasi. Namun, katanya, baru 13,8% atau 240 wilayah adat seluas 3,9 juta hektar ditetapkan oleh pemerintah daerah.
Untuk hutan adat, baru 244.195 hektar ditetapkan KLHK. Padahal, potensi hutan adat yang teregistrasi di BRWA mencapai 22,8 juta hektar.
“Saya kemudian berpikir, jangan-jangan memang pemerintah tidak memiliki niat untuk menjalankan mandat putusan MK35,” sebut Rukka.
Agung Wibowo, Koordinator Eksekutif Perkumpulan HuMa, mengatakan, ada beberapa kontradiksi dialami oleh masyarakat adat di beberapa daerah, yakni, ada pengakuan dalam bentuk perda atau SK Bupati, namun masih minim implementasi produk hukum itu.
Hal ini terjadi karen kedua proses itu berjalan parsial dan tidak harmonis. “Selain itu, ada beberapa produk hukum yang sengaja diabaikan,” kata Agung.
Pengabaian ini karena pengakuan terhadap masyarakat dianggap sebagai penghambat pembangunan, tidak menguntungkan, dan tidak ada valuasi ekonomi yang bisa dikalkulasi. Selain itu, pemberian rekognisi terhadap masyarakat adat masih dianggap bisa mengurangi aset negara.
Kondisi ini, katanya, tidak lepas dari pola pikir pemerintah pusat dan daerah yang tidak sejalan dengan muruah putusan MK35.
“Ketika masyarakat protes ada proyek yang masuk ke daerah mereka, malah disebut menolak pembangunan.”
Kenali masyarakat adat
Pola pikir pemerintah yang kerap mengesampingkan dan menyingkirkan masyarakat adat disebut Agung karena tidak ada kemauan mengenal lebih jauh para penjaga bumi ini. Padahal, masyarakat adat selalu menunjukkan relasi dengan alam yang tidak pernah diajarkan pendidikan akademik.
Relasi dengan alam yang bisa menunjukkan keberhasilan mereka menjaga bumi seharusnya jadi bahan pertimbangan dan diskusi dalam setiap keputusan proyek atau industri yang masuk ke wilayah adat. “Pemerintah harus perbanyak ruang untuk mengenal masyarakat adat. Mereka bukan masyarakat tidak berpengetahuan atau budaya. Mereka memiliki tradisi,” katanya.
Dia contohkan, kearifan lokal Masyarakat Adat Kajang, Bulukumba, Sulawesi Selatan, yang mengangkat kayu yang mereka bawa dalam kawasan hutan. “Bukan diseret karena itu bisa merusak vegetasi sekitar. Pengetahuan ini yang tidak ada di Jakarta atau Makassar,” kata Agung.
Namun, kejadian di beberapa tempat justu menunjukkan praktik pemerintah yang tidak sejalan dengan semangat ini. Seperti program tuna budaya yang pernah dialamatkan pada Suku O’Hangana Manyawa atau Tobelo Dalam di Maluku Utara tahun 2011 lalu oleh Kementerian Sosial.
Pembangunan berbasis masyarakat
Martua T Sirait, Director for Indonesian Operation & Head of Policy Support Indonesia The Samdhana Institute, menyebut, perlu cara pembangunan berbasis masyarakat yang didorong untuk mengimbangi model pembangunan yang kerap merampas hak masyarakat adat dan mengakibatkan kerusakan lingkungan.
“Model pembangunan ini berbasis pada pengetahuan adat, berbasis keadilan, keadilan agraria dan gender. Ini satu proses panjang,” katanya.
Model pembangunan ini, katanya, juga jadi cara kembali pada semangat Undang-undang Pokok Agraria yang terlupakan karena Orde Lama dan derasnya arus investasi untuk mengejar target jangka pendek. Hal itu, katanya, kerap menghasilkan kerusakan lingkungan lebih besar dan menempatkan masyarakat adat maupun lokal sebagai korban.
Dia tidak anti industri skala besar tetapi memberi ruang bagi pembangunan berbasis pengetahuan dan keterlibatan masyarakat adat atau lokal akan lebih adil dan lestari, sekalipun proses lambat.
Martua contohkan, hutan adat di Kalimantan Barat yang bisa menjadi sumber minyak tengkawang yang bernilai tinggi di pasaran. “Itu tidak didapat dengan menebang pohon. Lalu ada juga getah Krui dan damar yang juga bernilai tinggi dari hutan,” katanya.
Rakyat, kata Martua, harus diberi kebebasan mengelola produk. Investasi dari swasta bisa diarahkan pada pembangunan koperasi atau sebagai off-taker dari produk yang dihasilkan masyarakat.
“Kalau tanah, pabrik, hingga pemasaran masih dipegang perusahaan atau konglomerasi, tidak akan berkembang usaha rakyat.”
Semua ini, bisa dengan mempercepat pengakuan dan perlindungan masyarakat adat. Suntikan modal kapital dan sosial harus bisa diberikan pada kampung-kampung adat supaya pemuda adat tidak tergiur keluar dari wilayah mereka mengejar pendapatan ekonomi di daerah lain.
“Kalau tidak, kita tidak akan punya kesempatan membalik ekonomi ekstraktif. Semua hanya akan tersedot ke industri ini, termasuk pemuda-pemuda adat,” kata Martua.
******
Menanti UU Masyarakat Adat, Belasan Tahun Proses Tak Ada Kejelasan