- Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) bersama komunitas adat ajukan gugatan kepada presiden dan DPR ke Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta karena tak ada kejelasan pengesahan RUU Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat.
- Rancangan Undang-undang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat sudah berulang kali masuk dalam prioritas legislasi nasional (prolegnas) sejak era Presiden Susilo Bambang Yuhoyono, lanjut ke Presiden Joko Widodo, tetapi belum juga ada pengesahan.
- AMAN dan komunitas adat menuntut agar presiden dan DPR menindaklanjuti pembentukan UU PPMHA. Gugatan ini karena eksekutif dan legislatif tak mengindahkan surat AMAN pada Agustus 2023.
- Pengesahan RUU Masyarakat Adat ini, mendesak karena masyarakat adat perlu payung hukum yang jelas untuk melindungi hak-hak mereka yang selama ini banyak terabaikan.
Rancangan Undang-undang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat (RUU PPMHA atau RUU Masyarakat Adat) tak jua ada kejelasan meski pemerintahan akan berganti. RUU ini berulang kali masuk dalam prioritas legislasi nasional (prolegnas), proses belasan tahun sudah, sejak era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, lanjut ke Presiden Joko Widodo, tetapi belum juga ada pengesahan. Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) bersama komunitas adat pun ajukan gugatan kepada DPR dan presiden ke Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta.
Mereka menuntut agar presiden dan DPR menindaklanjuti pengesahan UU PPMHA. Gugatan ini karena eksekutif dan legislatif tak mengindahkan surat AMAN pada Agustus 2023.
“Karena tidak dilanjuti permohonan (lewat surat) itu, kami gugat ke PTUN. Sesuai jangka waktu 90 hari jika surat tidak direspons, kami bisa gugat,” kata Judianto Simanjuntak, kuasa hukum AMAN dan komunitas adat dari Perhimpungan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN) saat dihubungi Mongabay, Senin (4/3/24).
Anto, begitu sapaan akrabnya bilang, gugatan ini penting untuk memastikan DPR (tergugat I) dan presiden (tergugat II) menjalankan fungsi mereka menjalankan tugas konstitusional sebagaimana termaktub dalam Pasal 5 dan 20 UUD 1945.
Pembentukan UU Masyarakat Adat juga sesuai mandat dalam Pasal 18B ayat 2 berbunyi negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Indonesia.
“Nah, dengan kewajiban pemerintah dan DPR di Pasal 20 dan 5 tadi, jadi wajib mereka menindaklanjuti permohonan surat kami pada Agustus lalu,” kata Anto.
Gugatan ini, katanya, juga harus mereka lakukan karena terlalu banyak masyarakat adat mengalami perampasan wilayah, kriminalisasi dan perlakuan tak adil karena tidak ada regulasi yang melindungi. Secara sosiologis, perlu segera ada UU Masyarakat Adat. ”Karena masyarakat adat membutuhkan kepastian hukum.”
Dia menyebut persidangan di PTUN menjadi tanda perjuangan panjang yang berlangsung lebih dari puluhan tahun. RUU Masyarakat Adat tidak kunjung sah sejak 2009.
Meskipun begitu, kata Anto, jalan mendorong pemerintah menyelesaikan UU Masyarakat Adat tidak akan berakhir di PTUN saja. Menurut Anto, masih banyak cara lain akan ditempuh AMAN dan komunitas adat untuk memastikan hak mereka mendapat pengakuan dan perlindungan dalam bentuk payung hukum.
“Lobi ke DPR, pemerintah, aksi dan perjuangan lain akan kami terus lakukan. (Gugatan) PTUN ini hanya salah satu cara. Kami tidak akan mentok untuk meminta hak kami.”
Tak serius
Persidangan di PTUN terus belangsung. Sidang pekan lalu kuasa hukum masyarakat adat sempat protes terpicu surat kuasa DPR tak lengkap tanpa ada tanda tangan pimpinan DPR selaku pemberi kuasa dan dinilai tak sah.
Fatiatulo Laziza, kuasa hukum masyarakat adat menyebut, DPR tidak menunjukkan keseriusan menghadapi gugatan masyarakat adat. “Bagaimana mungkin ada surat kuasa tapi tidak lengkap tandantangan dari pimpinan DPR selaku pemberi kuasanya?” katanya.
Ketua Majelis Hakim memerintahkan kuasa hukum DPR segera melengkapi surat kuasa dan menyerahkan dalam masa sidang berikutnya. Meskipun demikian, sidang kedua tetap berjalan dengan pemeriksaan bukti surat tambahan dari masyarakat adat dan bukti surat pertama dari DPR dan presiden.
Dalam sidang itu, dari maysrakat adat mengajukan beberapa bukti surat tambahan yang bisa menjelaskan dan mendukung argumentasi perlunya ketersediaan produk hukum yang mengatur masyarakat adat secara khusus.
“Sangat penting ada jaminan kepastian hukum atas pengakuan dan perlindungan terhadap masyarakat adat yang selama ini ada di posisi terancam, bahkan jadi korban kriminalisasi serta perampasan tanah,” kata Fatiatulo.
Kuasa hukum masyarakat adat juga meminta Majelis Hakim memerintahkan presiden menghadirkan daftar inventarisasi masalah (DIM) terkait RUU Masyarakat Adat di persidangan.
Upaya ini karena presiden mengklaim sudah menugaskan beberapa menteri untuk menyusun naskah RUU Masyarakat Adat dan DIM.
“Mereka (presiden dan DPR) selalu bilang sudah ada DIM. Tapi kami tidak pernah lihat. Maka kami minta itu pada Majelis Hakim ditunjukkan di persidangan berikutnya. Supaya jangan hanya omongan saja,” kata Anto.
Permohonan ini disambut baik Majelis Hakim. Persidangan lanjutan pada Kamis (14/3/24) hakim minta menghadirkan DIM.
Agenda persidangan tadi mendengar keterangan enam saksi dari komunitas adat.
Sidang lanjutan, katanya, pada 21 Maret dengan menghadirkan ahli dari masyarakat adat, dan ahli dari presiden dan DPR.
Kalau sesuai perhitungan, katanya, sidang akan memakan waktu sekitar dua bulan untuk sampai ke putusan.
Desakan
Saiduani Nyuk, Ketua Pengurus Wilayah AMAN Kalimantan Timur dalam rilis yang diterima Mongabay menyerukan empat desakan terkait UU Masyarakat Adat.
Pertama, mendesak PTUN Jakarta mengabulkan gugatan AMAN terkait permohonan pengesahan RUU Masyarakat Adat kepada presiden dan DPR. Kedua, mendesak pemerintah segera mengesahkan RUU Masyarakat Adat dan mengambil langkah konkret memulihkan hak-hak masyarakat adat.
Ketiga, mendesak pemerintah pusat dan Pemerintah Kalimantan Timur untuk percepatan pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak masyarakat adat.
Keempat, menghentikan segala bentuk pembangunan ataupun investasi yang mengancam ruang hidup masyarakat adat. “Kami membutuhkan RUU Masyarakat Adat untuk melindungi kami dari segala bentuk pembangunan atau investasi yang mengancam ruang hidup masyarakat adat,” kata Duan, sapaan akrabnya.
Pengesahan RUU ini, katanya, mendesak karena masyarakat adat perlu payung hukum yang jelas untuk melindungi hak-hak mereka yang selama ini banyak terabaikan.
Di Kalimantan Timur, katanya, ada beberapa kasus konflik menonjol antara masyarakat adat dengan perusahaan perkebunan. Ada juga penangkapan 12 warga adat Kampung Dingin, Kutai Barat dan intimidasi warga Desa Telemow, Penajam Paser Utara.
“Kasus-kasus ini menunjukkan betapa rentannya masyarakat adat terhadap ancaman dan pelanggaran hak-hak mereka,” kata Duan.
*****
Menanti UU Masyarakat Adat, Belasan Tahun Proses Tak Ada Kejelasan