- Seiring berlangsungnya perundingan INC-4 yang membahas perjanjian internasional penanganan polusi plastik di Ottawa, Kanada, yang sedang berlangsung minggu ini, Koalisi Organisasi Masyarakat mendesak pemimpin negara-negara ASEAN bersikap tegas dalam bernegosiasi
- Sebab, kawasan Asia Tenggara yang sebagian besar merupakan negara kepulauan tidak bisa lepas dari pencemaran sampah yang sudah merusak ekosistem darat dan lautan termasuk impor sampah plastik dari negara-negara maju
- Delegasi RI dalam perundingan INC-4 menyampaikan dukungannya untuk terbentuknya perjanjian internasional polusi plastik dan mendorong diimplementasikannya ekonomi sirkular dalam produksi plastik serta penanganan pencemaran polusi plastik yang sudah terjadi lintas batas negara
- Diharapkan dari perundingan INC-4 dapat disepakati naskah perjanjian internasional polusi plastik yang akan diajukan dalam perundingan INC-5 di Busan, Korea Selatan, pada tanggal 25 November hingga 2 Desember 2024 sebagai akhir dari proses INC. Pertemuan ini akan dilanjutkan dengan Konferensi Diplomatik di mana para Kepala Negara akan menandatangani perjanjian tersebut.
Demi mengatasi pencemaran plastik baik di darat maupun lautan, Koalisi Organisasi Masyarakat mendesak pemimpin negara-negara ASEAN untuk mengambil sikap tegas dalam bernegosiasi mengenai pengembangan instrumen plastik yang mengikat secara hukum internasional.
Dorongan itu digulirkan seiring berlangsungnya perundingan negosiasi antarpemerintah atau Intergovernmental Negotiating Committee ke-empat (INC-4) untuk membahas dan menghasilkan perjanjian yang mengikat secara hukum internasional mengenai polusi plastik, termasuk di lingkungan laut yang tengah berlangsung di Ottawa, Kanada, dari tanggal 23 hingga 29 April 2024.
Mayang Azurni, Deputy Director for Campaigns of Global Alliance for Incinerator Alternatives (GAIA) Asia Pasifik mengungkapkan, desakan itu dilancarkan sebab Asia Tenggara yang sebagian besar merupakan negara kepulauan tidak bisa lepas dari pencemaran sampah yang mencemari lautan. Pencemaran juga terjadi dari berbagai tahap sepanjang rantai pasok plastik, mulai dari ekstraksi bahan bakar fosil hingga pembuatan plastik dan produk plastik, transportasi, penggunaan, dan pembuangan.
Selain itu, akibat perdagangan sampah plastik ilegal dari negara maju juga membuat negara di Asia menjadi korban tempat pembuangan sampah. Sebab, sampah-sampah yang didatangkan tersebut tidak bisa didaur ulang.
“Para pemimpin ASEAN harus memanfaatkan perjanjian plastik global untuk mengatasi kesenjangan kebijakan dalam pembuangan sampah. Juga mendorong akuntabilitas pada pemerintah negara bagian utara yang selalu menggambarkan Asia Tenggara sebagai wilayah yang paling mencemari secara global,” tegasnya dalam keterangan tertulis yang diterima Mongabay awal minggu ini.
Baca : Indonesia Perlu Aktif dalam Negosiasi Perjanjian Internasional soal Plastik
Dengan maksud menciptakan permintaan palsu terhadap teknologi penanganan sampah, katanya, pada akhirnya juga menghasilkan polusi dalam berbagai kerja sama pembangunan. Padahal, mereka sebenarnya masih membuang sampah plastik diperbatasan di wilayahnya.
Mayang menilai, produksi plastik global yang tidak terkendali akan terus menjadikan negara-negara di Asia Tenggara sebagai pihak yang paling banyak terkena beban pencemaran beracun, baik itu dari pembakaran ataupun mikroplastik.
“Kami mendesak ASEAN untuk menjaga wilayah ini sebagai tempat solusi yang bermanfaat, berkelanjutan dan terbukti dengan memastikan perjanjian plastik global yang ambisius,” imbuhnya.
Pasar Besar Sampah Plastik
Kiriman sampah plastik atas nama perdagangan dari negara-negara maju ke negara perkembang di Asia, salah satunya di Indonesia juga disayangkan Abdul Ghofar, Poluttion and Urban Justice Campaigner Walhi. Sebab, menurutnya, datangnya barang yang terbuat dari polimer itu bukan memberikan keuntungan, melainkan malah menambah masalah.
Terlebih ASEAN, katanya, juga merupakan pasar besar bagi perusahaan multinasional yang memproduksi jutaan ton sampah plastik, terutama kemasan sachet.
Dengan penyelenggaraan perundingan INC yang digelar empat kalinya itu, ia berharap negara-negara ASEAN menunjukkan kepada dunia bahwa kawasan ASEAN bukan sumber utama pencemaran plastik.
“Sebagai warga ASEAN kami berharap para pemimpin bisa memberikan contoh dengan mendukung upaya untuk mengakhiri kolonialisme sampah, mengurangi produksi plastik, dan mengintegrasikan ekosistem penggunaan kembali dalam kehidupan sehari-hari,” ujar Abdul.
Sedangkan Aehnina Azzahra Aqilani, mewakili River Warrior Indonesia yang hadir dalam perundingan INC-4 itu mengatakan, berdasarkan temuan di lapangan ia mengaku masih menemukan sampah-sampah plastik dari Jepang, Amerika Serikat, Belanda, Australia, Korea Selatan, Jerman dan Italia yang ditimbun dan dibakar di Desa-desa di Jawa Timur seperti Gresik, Sidoarjo, Mojokerto dan Malang. Bahkan, masyarakat masih membakar sampah plastik impor untuk memproduksi tahu dan gamping.
Pembakaran sampah plastik impor itu, terangnya, juga terjadi di daerah-daerah yang berdekatan dengan industri kertas daur ulang berbahan baku sampah impor. Padahal, dampak dari pembakaran sampah plastik itu bisa menimbulkan masalah baru berupa pencemaran dioksin.
Baca juga : Hari Bumi 2024: Burung Laut Paling Terancam Sampah Plastik Akibat Ulah Manusia
Sepanjang 2023, Aeshnina bersama Tim Riverin juga menemukan pembiaran tindakan pembuangan limbah cair tanpa proses pengolahan yang benar dari salah satu pabrik kertas daur ulang. Dampaknya ekosistem sungai jadi rusak dan biota air terkontaminasi mikroplastik.
“Perdagangan sampah plastik global dampaknya memprihatinkan, bagaimana teganya negara maju dan kaya membuang beban sampah plastik mereka ke negara berkembang seperti Indonesia. Jika mereka terus dibiarkan mengekspor sampah plastiknya itu sama dengan perlahan-lahan membunuh lingkungan dan kesehatan kita,” pungkasnya.
Akhiri Kolonialisme Sampah
Dorongan para pemimpin ASEAN untuk mengambil langkah konkrit dalam perjanjian mengikat yang benar-benar mengatasi pencemaran di seluruh siklus hidup plastik, dengan memprioritaskan pengurangan plastik global juga datang dari Malaysia dan Vietnam.
Secara bertahap para pemimpin juga diminta dapat menghentikan penggunaan bahan kimia berbahaya termasuk polimer yang membentuk plastik. Kolonialisme sampah selama beberapa dekade juga sudah waktunya diakhiri.
Mageswari Sangaralingam, Senior Reserach Officer of Consumer’s Association of Penang&Sahabat Alam Malaysia mengungkapkan, untuk mengatasi krisis plastik ini tidak bisa hanya dengan daur ulang. Bagi dia, pemikiran tentang sirkulasi atau keberlanjutan plastik merupakan narasi yang salah. Untuk itu, dunia perlu menghentikan produksi plastik yang tidak perlu dan berbahaya, serta mengurangi produksi plastik secara keseluruhan, sembari memastikan transisi yang adil bagi kelompok yang paling rentan, komunitas adat, dan pekerja di sepanjang rantai nilai plastik, termasuk para pemulung, pekerja sampah, dan mereka yang bekerja dalam rantai nilai daur ulang.
“ASEAN harus menjadi yang terdepan karena komunitas kami memiliki solusi untuk mengakhiri krisis plastik,” tandasnya dalam keterangan tertulis yang diterima Mongabay, awal minggu ini.
Baca juga : Sensus BRUIN 2023, Sampah Plastik Persoalan Utama di Indonesia
Sementara, Xuan Quach, Coordinator/Country Director of Vietnam Zero-Waste Alliance/Pacific Environment Vietnam menilai, ada banyak hambatan besar dalam perjanjian ini, salah satunya adalah bagaimana memastikan transisi yang adil dalam rancangan perjanjian tersebut.
Hal ini, katanya, mungkin terkait dengan ketentuan pengecualian. Ada kebutuhan besar akan penelitian ilmiah untuk memberikan kriteria dan indikator untuk menentukan hak pengecualian bagi negara anggota.
Untuk itu, ia mengusulkan Break Free From Plastic mampu merekomendasikan untuk memasukkan kriteria dan indikator yang menentukan hak pengecualian dalam lampiran, serta melakukan pengembangan terhadap rangkaian kriteria indikator ini.
“Selain itu, penerapan wajib ketentuan mengenai desain produk, komposisi dan kinerja secara global akan menciptakan peluang bagi semua negara anggota,” terang dia. Untuk bertindak bersama dalam kerjasama yang erat dengan seluruh pemangku kepentingan dalam rantai pasok global menuju produksi dan konsumsi plastik berkelanjutan.
Delegasi dari Industri
Dalam perundingan INC-4 ini, Aliansi Zero Waste Indonesia (AZWI) menyoroti kehadiran industri plastik dan industri kimia dalam proses negosiasi karena berpotensi membahayakan tercapainya tujuan dari perjanjian yaitu mengatur keseluruhan daur hidup plastik untuk melindungi kesehatan manusia dan lingkungan hidup.
Berdasarkan fakta pentingnya ketentuan pengurangan produksi plastik, terdapat banyak kepentingan dari berbagai pihak dalam pembahasan perjanjian internasional tentang plastik ini. Selain negara-negara yang bergabung dalam Global Coalition for Plastics Sustainability, salah satu kelompok yang membuat perjanjian internasional tentang plastik menjadi lemah adalah kelompok industri, khususnya industri kimia, industri plastik, olefin dan aromatik.
Perlu dibaca : Mendesak Produsen Bertanggung Jawab Atas Sampah Mereka [2]
Dalam pembukaan perundingan INC-4, pada Selasa (23/04/2024), Sekretariat INC merilis daftar sementara peserta konferensi (Provisional List of Participants) yang didistribusikan via email. Berdasarkan daftar tersebut, INC-4 diikuti oleh sekitar 4000 orang yang terdiri atas delegasi negara anggota (member states) dan peserta peninjau yang terdiri dari organisasi lingkungan, saintis hingga entitas bisnis seperti korporasi minyak bumi, gas, petrokimia, asosiasi industri kimia, industri alternatif plastik, dan FMCGs (Fast Moving Consumer Goods).
Dari data peserta sementara yang dirilis Sekretariat INC, 44 orang Delegasi Republik Indonesia (Delri) terdiri dari perwakilan Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Kemenko Marves), Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Kementerian Luar Negeri (Kemlu), Kementerian Perindustrian (Kemenperin), Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Kedutaan Besar Republik Indonesia di Kanada, dan Tim Koordinasi Nasional Penanganan Sampah Laut (TKN PSL).
Berdasarkan analisis cepat dari AZWI, setidaknya ada empat orang anggota DELRI yang berasal dari industri plastik seperti dari Chandra Asri Petrochemical (CAP) dan Greenhope. Representasi produsen plastik tersebut didaftarkan sebagai pejabat dan ahli dari Kementerian Perindustrian (Kemenperin) untuk menjadi anggota resmi DELRI. Kehadiran dua produsen plastik dalam Delegasi Republik Indonesia jelas-jelas dapat memperlemah posisi Pemerintah Indonesia dalam negosiasi terkait pembatasan produksi plastik.
“Keterlibatan industri dalam pertemuan negosiasi plastik dapat memperlemah posisi Pemerintah Indonesia, dalam mengambil keputusan negosiasi terkait penghapusan bahan-bahan kimia berbahaya aditif plastik penyebab masalah kesehatan publik,” kata Yuyun Ismawati, Senior Advisor Nexus3 dalam siaran pers, Sabtu (27/04/2024).
“Kehadiran perwakilan industri plastik dalam ruang negosiasi perjanjian internasional tentang plastik, apalagi menjadi bagian dari delegasi negara, jelas-jelas menunjukkan konflik kepentingan dalam mencapai perjanjian yang kuat dan mengikat. Para negosiator, termasuk pemerintah Indonesia harus belajar dari Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Pengendalian Tembakau (UNFCTC) yang didukung WHO, berhasil menghalangi kepentingan komersial dan keterlibatan industri tembakau dalam proses negosiasi,” kata Abdul Ghofar, Juru Kampanye Polusi dan Perkotaan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI).
Alih-alih melibatkan perwakilan industri plastik dan industri kimia dalam delegasi, pemerintah Indonesia harusnya melibatkan Kementerian Kesehatan, Kementerian Ketenagakerjaan dan perwakilan saintis yang dapat memberikan dukungan substantif pada proses penyusunan perjanjian internasional tentang plastik.
Baca juga : Ini Tuntutan Pemuda Bandung untuk Produsen Sampah Plastik
Melihat hal itu, AZWI mendesak Pemerintah RI mengeluarkan wakil industri sebagai anggota Delri dalam perundingan INC-4, dan memastikan posisi Pemerintah Indonesia dalam negosiasi INC-4 tidak dipengaruhi oleh kepentingan industri plastik dan industri kimia, serta mendesak Pemerintah Indonesia agar mengkaji secara serius kerugian ekonomi, lingkungan dan biaya kesehatan masyarakat yang diakibatkan polusi plastik, serta meninjau kembali kebijakan dan peraturan yang memberi keringanan pajak dan finansial bagi industri pencemar.
Dukungan Indonesia
Polusi sampah plastik sudah mencapai tingkat tinggi juga secara cepat merusak ekosistem darat dan lautan. Kondisi tersebut dapat menjadi ancaman bagi lingkungan hidup, kehidupan sosial, serta pembangunan ekonomi.
Menyadari akan hal itu, Rosa Vivien Ratnawati, Dirjen Pengelolaan Sampah, Limbah dan B3 KLHK yang hadir sebagai Ketua Delri dalam perundingan INC-4 itu menyampaikan bahwa Pemerintah Indonesia mendukung penuh terbentuknya instrumen baru yang mengikat secara global untuk mengakhiri polusi plastik di lingkungan termasuk di laut.
Vivien mengatakan polusi plastik ini tidak hanya persoalan nasional namun juga menjadi persoalan global yang mengancam kehidupan manusia dan lingkungannya di planet bumi. “Oleh karena itu, Pemerintah Indonesia bersama masyarakat global anggota PBB memiliki tanggung jawab dan kepentingan bersama untuk menghentikan polusi plastic melalui negosiasi International Legally Binding Instrument (ILBI) on Plastic Pollution including in the Marine Environment yang saat ini sedang dirundingkan di Ottawa Kanada,” katanya dalam keterangan tertulis yang diterima Mongabay Indonesia, Minggu (28/04/2024).
Pada kesempatan itu, Vivien yang juga mewakili Coordinating Body on the Seas of East Asia (COBSEA) dalam memberikan pernyataan, bahwa pihaknya menekankan beberapa prioritas regional dan rekomendasi, diantaranya adalah pencemaran polusi plastik yang sudah terjadi lintas batas ini penting segera diatasi.
“Memitigasi dampaknya dengan mempertimbangkan kepentingan nasional para pihak, pembangunan berkelanjutan, serta kondisi dan kemampuan masing-masing negara dalam penerapan instrumen tersebut di masa yang akan datang,” pungkasnya.
Sedangkan Vinda Damayanti, anggota Delri untuk perundingan INC-4 dari KLHK mengatakan pihak Delri telah menyampaikan posisi Pemerintah Indonesia secara utuh. “Kami telah menerima berbagai masukan baik dari kementerian/Lembaga terkait, akademisi, asosiasi, dan LSM. Delegasi Indonesia pada kesempatan ini, secara solid menyuarakan kepentingan nasional dengan tetap memprioritaskan aspek lingkungan, mendorong kerja sama internasional dengan tetap menghormati kondisi serta kondisi masing-masing negara anggota,” katanya dalam keterangan tertulis yang diterima Mongabay Indonesia, Minggu (28/04/2024).
Secara umum, lanjut Vinda, pencemaran yang diakibatkan oleh sampah plastik dapat dikurangi dengan menerapkan prinsip-prinsip ekonomi sirkular, Indonesia mendukung upaya-upaya perubahan desain produk, penerapan prinsip 3R (reduce, reuse, recycle), tanggung jawab produsen melalui penerapan extended producer responsibility (EPR) dalam pengelolaan sampah plastik.
Selain itu, katanya, Pemerintah Indonesia juga menggarisbawahi beberapa hal dalam negosiasi antara lain target pembangunan berkelanjutan, rencana aksi nasional negara-negara anggota, prinsip common but differentiated responsibility, proximity dan polluter pay principle.
“Indonesia juga menekankan bahwa instrumen tersebut harus bersifat komprehensif, pragmatis, seimbang, inklusif dan transparan berdasarkan kajian ilmiah yang telah ada,” katanya.
Prioritas utama Pemerintah Indonesia untuk menangani polusi lintas batas yang disebabkan oleh sampah plastik, lanjutnya, antara lain dengan mendorong segera terwujudnya instrumen global yang sedang dinegosiasikan.
Selain itu, kata Vinda, prioritas utama Indonesia untuk memitigasi dampak dari polusi plastik melalui penguatan kerja sama internasional melalui pendanaan multilateral, transfer teknologi dan peningkatan kapasitas bagi negara-negara berkembang.
“Di dalam negeri, Pemerintah Indonesia mendorong perubahan paradigma pengelolaan sampah dari kumpul-angkut-buang menjadi hindari, kurangi, pilah, dan olah. Selain itu, penguatan upaya EPR melalui penyusunan Peta Jalan Pengurangan Sampah oleh Produsen sebagaimana diamanatkan dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 75 Tahun 2019,” tambahnya.
Baca juga : Menekan Laju Ancaman Penyebaran Polusi Plastik di Pesisir Pantai Indonesia
Perjanjian Internasional Polusi Plastik
Para ahli memandang pentingnya Perjanjian internasional tentang plastik menyepakati ketentuan terkait pembatasan produksi plastik. Produksi plastik saat ini lebih dari 460 juta2 juta ton setiap tahun telah menimbulkan permasalahan pencemaran plastik yang signifikan di lingkungan, berdampak buruk terhadap kesehatan manusia dan ekosistem.
Perundingan Intergovernmental Negotiating Committee ke-empat (INC-4) merupakan komiten perundingan antarpemerintah dari seluruh dunia yang dibentuk sesuai Resolusi Majelis Lingkungan Hidup PBB 5/14 kepada Direktur Eksekutif UNEP. INC ini bertugas untuk menghasilkan instrumen internasional yang mengikat secara hukum mengenai polusi plastik, termasuk di lingkungan laut pada akhir tahun 2024 ini.
Perundingan INC-4 merupakan kelanjutan dari tiga putaran perundingan sebelumnya, yaitu INC-1 yang diadakan di Punta del Este pada November 2022, INC-2, yang diadakan di Paris pada Juni 2023, dan INC-3, yang diadakan di Nairobi pada November 2023.
“Seperti yang kami renungkan, polusi plastik terus mengalir ke ekosistem. Makanya saya minta INC-4 menunjukkan energi, komitmen, kolaborasi, dan ambisi. Untuk membuat kemajuan. Dan menyiapkan landasan bagi INC-5 untuk menyelesaikan instrumen yang akan mengakhiri polusi plastik, untuk selamanya,” kata Inger Andersen, Direktur Eksekutif UNEP dalam siaran pers pembukaan INC-4, Selasa (23/04/2024)
Diharapkan pada perundingan INC-4 ini dapat disepakati naskah perjanjian internasional polusi plastik yang akan diajukan dalam perundingan INC-5 yang akan diselenggarakan di Busan, Korea Selatan, pada tanggal 25 November hingga 2 Desember 2024 sebagai akhir dari proses INC. Pertemuan ini akan dilanjutkan dengan Konferensi Diplomatik di mana para Kepala Negara akan menandatangani perjanjian tersebut.
Baca juga : Teknologi: Sekarang Polutan Mikroplastik di Air dapat Dilacak dengan AI
“Kami di sini berupaya untuk memajukan negosiasi ini dan mewujudkan perjanjian karena secara kolektif kami telah mengakui bahwa kerja sama multilateral – proses INC ini, sebuah instrumen internasional baru yang mengikat secara hukum – memiliki peran penting dalam memberikan solusi efektif dan berdampak yang diperlukan untuk mengakhiri penggunaan plastik. polusi. Semangat multilateralisme adalah ‘bersama, kita lebih kuat’,” kata Luis Vayas Valdivieso, Ketua INC.
“Manfaatkan kesempatan ini, manfaatkan tujuh hari ini, sampaikan teks yang sedekat mungkin dengan kesepakatan akhir yang kita semua ingin lihat. Anda para delegasi mengetahui permasalahannya hal-hal yang perlu dibahas pada sesi ini, dan fleksibilitas akan diperlukan untuk mencapai konsensus. Ini adalah satu-satunya jalan ke depan,” kata Jyoti Mathur-Filipp, Sekretaris Eksekutif INC. (***)
Sampah Plastik Jadi Ancaman Bagi Laut, Aksi Nyata Diperlukan