- Sensus Badan Riset Urusan Sungai Nusantara [BRUIN] 2023 yang dilakukan di 64 titik di 28 kabupaten/kota di 13 provinsi, menunjukkan sampah plastik menjadi persoalan utama di Indonesia.
- Terdapat 25.733 sampah plastik terutama kemasan sachet, yang ditemukan selama kegiatan tersebut.
- Berdasarkan produk, dominasi terbanyak adalah sampah makanan, disusul pembungkus, alat rumah tangga, perawatan diri, dan perlengkapan merokok.
- Mengatasi persoalan sampah harus diawali dari mengubah paradigma tentang sampah serta pengelolaannya.
Sensus Badan Riset Urusan Sungai Nusantara [BRUIN] 2023 yang dilakukan di 64 titik di 28 kabupaten/kota di 13 provinsi, menunjukkan sampah plastik menjadi persoalan utama di Indonesia.
Terdapat 25.733 sampah plastik terutama kemasan sachet, yang ditemukan selama kegiatan tersebut.
Tercatat 10 penyumbang terbesar sampah di perairan, yaitu sampah plastik tanpa merek [37%], Wings [16,4%], Unilever [12,3%], Indofood [10,1%], Mayora [8,1%], PT. Santos Jaya Abadi [5,6%], Unicharm [2,4%], P&G [2,3%], Garudafood [2%], dan Ajinomoto [1,8%].
Berdasarkan produk, dominasi terbanyak adalah sampah makanan, disusul pembungkus, alat rumah tangga, perawatan diri, dan perlengkapan merokok.
Baca: Sungai Brantas Tercemar Limbah Industri dan Mikroplastik, Pemulihannya?
Muhammad Kholid Basyaiban, Koordinator Program Sensus Sampah Plastik Indonesia, BRUIN, mengatakan sensus ini bukti tidak terkelolanya sampah plastik di Indonesia.
“Meskipun sudah ada kesadaran di masyarakat, tapi sampah plastik masih banyak ditemukan di perairan kita,” ujarnya di Surabaya, Kamis [11/1/2024].
Tata kelola sampah plastik ini, tidak lepas dari peran produsen dalam mencegah pencemaran lingkungan dari produknya. Selain menyediakan fasilitas sampah, produsen harus mendesain ulang kemasannya, serta menggunakan teknologi minim emisi.
“Kami minta pertanggungjawaban 10 produsen pencemar terbesar, untuk mengelola sampahnya.”
Penegakan hukum juga menjadi faktor penting dalam mewujudkan lingkungan bersih dan bebas sampah plastik.
“Produsen jangan hanya memikirkan keuntungan, tanpa melihat dampak produknya terhadap lingkungan,” imbuhnya.
Baca: Darurat Mikroplastik di Sungai Jawa, Aktivis Lingkungan Somasi Para Gubernur
Mochammad Alaika Rahmatulloh dari Envigreen Society, Indonesia harus serius menangani sampah plastik. Mikroplastik yang tidak terlihat juga menjadi ancaman perairan Indonesia, seperti yang terjadi di hulu Sungai Brantas, Jawa Timur.
“Padahal Sungai Brantas wilayah hilir, dijadikan bahan baku air minum warga.”
Desain ulang produk oleh produsen menjadi keharusan. Kemasan plastik multilayer atau sachet, sangat sulit dikelola karena perlu teknologi untuk memisahkan lapisan-lapisannya.
“Sistem distribusi juga harus diubah menjadi guna ulang,” ujarnya.
Peneliti ECOTON yang melakukan Ekspedisi Sungai Nusantara 2022, Amiruddin Muttaqin, mendorong semua pihak mulai pemerintah, perusahaan, serta masyarakat untuk bersama memperbaiki pengelolaan sampah di Indonesia. Sejumlah sungai di Indonesia yang dipenuhi sampah plastik menjadi gambaran perairan kita saat ini.
“Sungai dan pantai adalah tempat yang berisiko tempat berkumpulnya sampah,” ujarnya.
Baca: Ekspedisi Sungai Nusantara, Ecoton Kirim Pesan Bahaya Pencemaran
Mengubah paradigma pengelolaan sampah
Pakar Hukum Lingkungan, Universitas Airlangga Surabaya, Prof. Suparto Widjojo mengatakan, mengatasi persoalan sampah harus diawali dari mengubah paradigma tentang sampah serta pengelolaannya.
Tempat pembuangan akhir [TPA] yang selama ini sebagai akhir perjalanan sampah, harus diubah menjadi tempat pemrosesan akhir, menjadi sesuatu bernilai.
“Ada yang diolah menjadi energi listrik, biogas, serta produk ulang bernilai ekonomi.”
Perubahan paradigma akan mengurangi sampah dan tidak lagi menjadi beban publik maupun negara. Sampah bukan lagi barang tidak berguna, melainkan sumber pendapatan baru.
Produsen harus merancang produknya agar kembali. Tentunya, dengan memberikan insentif bagi masyarakat yang mengumpulkan dan mengembalikan.
“Podusen harus bertanggung jawab atas produksinya, baik materi maupun kemasan.”
Keberadaan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2008, menurut Suparto, telah mengubah paradigma pengelolaan sampah dari mengumpulkan, mengangkut, dan membuang, menjadi mengumpulkan, memilah, dan memproduksi barang bernilai ekonomis.
“Upaya mengurangi sampah harus dilakukan dari hulu. Dimulai dari produsen yang membuat kemasan, maupun dari masyarakat yang memilah sampah di rumah,” tandasnya.