- Mayoritas masyarakat Desa Nanga Raun, terletak di Kecamatan Kalis, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat adalah orang Dayak Orung Da’an. Mereka bertani dan menganyam untuk pemenuhan kehidupan sehari-hari.
- Bagi perempuan Dayak Orung Da’an, semesta dan hutan adalah ibu, yang memberikan kasih sayang melalui kekayaan alam bagi sumber penghidupan makhluk hidup di sekitarnya. Sistem ladang berpindah menjadi tradisi bagi mereka.
- Perempuan Dayak Orung Da’an biasanya membentuk kelompok tani untuk gotong royong mengolah lahan. Kelompok yang terdiri dari 12 perempuan usia 25-65 tahun ini juga jadi ruang regenerasi dan meneruskan nilai-nilai tradisi.
- Desa Nanga Raun memiliki hutan desa dengan luas 8.995,22 hektar. Peran perempuan besar dalam pengelolaan hutan, tetapi pelibatan mereka minim dalam kelembagaan hutan desa itu.
Saban hari, Victoria Suhani pergi ke ladang di hutan Desa Nanga Raun, berjarak sekitar lima kilometer dari rumahnya. Jalan terjal dan berbatu. Bersama para perempuan Dayak Orung Da’an lainnya, Siska, panggilan akrabnya, menebas semak belukar dan ilalang, menebangnya dan membakarnya. Mereka bersiap berladang palawija. Pola tanam ini sudah turun temurun diwariskan untuk hasilkan sumber pangan di hutan tanpa merusak.
Desa Nanga Raun, terletak di Kecamatan Kalis, Kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat. Dalam bahasa Dayak “Nanga” berarti muara sungai. Mayoritas masyarakat di Nanga Raun adalah orang Dayak Orung Da’an, berasal dari hulu Sungai Da’an.
“Bagi perempuan Dayak Orung Da’an, semesta dan hutan adalah ibu, yang memberikan kasih sayang melalui kekayaan alam bagi sumber penghidupan makhluk hidup di sekitarnya,” kata Siska sembari berladang pertengahan 2023.
Dengan cekatan, dia mengayunkan golok menebas semak-semak yang menghalangi dalam perjalanan. Di punggungnya ada tas anyaman rotan berisi bekal makanan dan alat-alat berladang.
“Ini sedang musim nebas, tiap hari kerja ladang. Habis tebas lalu tebang, setelah itu kami berhenti,” ujar Herkulana Jaya, perempuan petani Dayak Orung Da’an yang ikut dalam rombongan.
Saat kemarau tiba, mereka akan ngekas (membersihkan ladang) sebelum dibakar lalu mulai tanam. Setelah itu, mereka berhenti berladang pada Desember hingga panen tiba pada Januari dan Februari. Biasanya, mereka mengisi waktu dengan menganyam tikar besar untuk bawa padi dari ladang. Tradisi turun temurun ini terus berlanjut dari generasi ke generasi.
“Kerja ladang rata-rata ibu-ibu, kadang bapak ikut menemani. Tapi mereka punya pekerjaan lain, pergi ke perbatasan cari gaharu, mancing di sungai atau menyedot emas.”
Baca juga: Perjuangan Masyarakat Adat Dayak Pitap Melawan Izin Konsesi
Pengetahuan perempuan
Bagi Dayak Orung Da’an, sudah jadi tradisi mengelola lahan secara gotong royong oleh para perempuan dalam memanfaatkan hutan. Biasanya mereka membentuk kelompok tani secara mandiri dengan jumlah 12 perempuan berusia 25-65 tahun.
Tak hanya gotong royong untuk pemenuhan kehidupan sehari-hari, kelompok ini juga jadi ruang regenerasi dan meneruskan nilai-nilai tradisi. Secara sadar, mereka mengajarkan cara-cara menjaga kelestarian hutan Nanga Raun melalui pewarisan ritual dan tata cara bercocok tanam kepada generasi muda. Meski tantangannya, anak muda yang masih tinggal di desa minim.
”Masyarakat disini masih kental dengan aturan-aturan adat. Kami berladang pakai cara-cara nenek moyang kami sudah turun temurun, hutan terjaga untuk kebutuhan anak-anak kami,” cerita Uday, perempuan muda petani.
Selain itu, katanya, mereka juga menjaga hutan dari kegiatan-kegiatan yang merusak, seperti, perambahan, pengrusakan oleh perusahaan dan perburuan. “Hutan ini penting bagi kami karena rata-rata kami petani kebun,” ujarnya.
Baca juga: Ngelaboh Pun, Kearifan Masyarakat Dayak Iban Melestarikan Varietas Padi Lokal
Sistem ladang berpindah menjadi tradisi bagi Masyarakat Adat Dayak Orung Da’an. Dengan mengandalkan hutan sebagai lahan bercocok tanam, kelompok perempuan petani di Nanga Raun harus menebas sebagian hutan terlebih dulu untuk membuka lahan atau biasa disebut sistem tebas-tebang-bakar.
Keluarga yang akan membuka lahan di hutan harus mengikuti ketentuan adat dengan ritual melemparkan batu atau tombak. Sejauh batu atau tombak terlempar itulah lahan yang boleh digarap. Sistem tebas-tebang-bakar sebagai strategi masyarakat Dayak untuk mengurangi kadar asam tanah Kalimantan sebagai hutan hujan tropis serta menambah unsur hara melalui sisa pembakaran sehingga meningkatkan kesuburan tanah.
Pelibatan Perempuan Minim
Tak hanya menyebarluaskan pengetahuan tradisi, perempuan Dayak Orung Da’an juga membudidayakan bibit lokal. Mulai dari jenis padi, mentimun, palawija, labu, dan sayuran.
“Biasanya kami yang menentukan kebutuhan harian. Sebagian dari sayuran yang kami tanam ini dijual ke Mas Jawa (sebutan bagi pengumpul sayur di Desa Nanga Raun yang beretnik Jawa),” ujar Agustina, perempuan petani.
Baca juga: Tradisi Muar, Panen Madu Hutan di Kalimantan Barat
Mereka juga menganyam rotan dan pandan untuk menghasilkan kerajinan tas, topi, aksesoris, kotak penyimpanan, tikar dan produk lain. Biasanya, uang mereka kelola untuk pemenuhan kebutuhan keluarga lainnya.
Sayangnya, kekayaan pengetahuan ini seringkali terabaikan oleh pemerintah. Desa Nanga Raun memiliki hutan desa dengan luas 8.995,22 hektar. Peran perempuan besar dalam pengelolaan hutan, tetapi pelibatan mereka minim dalam kelembagaan hutan desa itu.
Berdasarkan studi Lembaga Alam Tropika Indonesia (LATIN) bersama Perkumpulan SAMPAN Kalimantan, perempuan di Desa Nanga Raun sangat dominan dalam pengelolaan dan pemanfaatan hutan. Namun dalam kelembagaan pengelolaan hutan desa, peran mereka masih sedikit atau bisa dibilang tidak ada.
“Sayangnya, masih rendah pelibatan perempuan sebagai penerima izin perhutanan sosial dan keterlibatan dalam kelembagaannya,” ujar Thomas Oni Veriasa, Direktur Eksekutif LATIN. Dampaknya, kebijakan dan pelaksanaan untuk mengatasi ketimpangan gender dalam pengelolaan hutan belum berlandas partisipasi yang “memadai” dari masyarakat adat, terutama perempuan.
Data KLHK juga menunjukkan rendahnya angka perempuan penerima Surat Keputusan Perhutanan Sosial, hanya 11,8% dari total penerima surat keputusan. Riset LATIN juga menemukan peran perempuan di Desa Nanga Raun dalam mengelola hutan banyak dipengaruhi kepercayaan dan perilaku yang diwariskan dari generasi ke generasi.
“Sehingga, keikutsertaan perempuan dalam kelembagaan yang disajikan dalam ruang formal seringkali minim. Warisan konstruksi sosial ini membuat setiap pengambilan keputusan-keputusan strategis dalam forum hanya menempatkan laki-laki sebagai penentu,” katanya.
***
*Annisa Aliviani adalah koordinator komunikasi Lembaga Alam Tropika Indonesia (LATIN). Dia aktif berkecimpung dalam kerja-kerja jurnalistik dan kreatif tentang isu sosial, khususnya masyarakat yang tinggal di hutan.
Aruh Mahanyari, Ritual Ucapan Syukur Hasil Panen Berlimpah Dayak Pitap