Refleksi 2016 : Rapor Merah Pemerintah di Sektor Kelautan dan Perikanan

Tahun 2016 akan segera berakhir dan 2017 akan segera datang. Dalam kurun waktu 12 bulan, banyak catatan yang dicapai oleh Pemerintah Indonesia dalam mengelola sektor kelautan dan perikanan. Ada prestasi yang dicapai selama periode tahunan tersebut oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), namun tak sedikit juga catatan buruk muncul karena kinerja yang dinilai gagal selama 12 bulan terakhir.

Mongabay Indonesia mencatat, catatan buruk masih dialamatkan kepada KKP karena sejumlah program yang belum berjalan dengan baik. Hal itu terjadi, karena belum terjadinya sinkronisasi program dengan baik antara konsep, perencanaan, dan implementasi di lapangan.

Pusat Kajian Maritim untuk Kemanusiaan juga mencatat, sektor perikanan tangkap pada 2016 menoreh catatan buruk. Sektor tersebut mendapat rapor merah, karena ada sejumlah program yang mengalami kendala, di antaranya:

  1. Pengadaan kapal untuk mendukung usaha nelayan yang jumlahnya mencapai 1.719 unit untuk nelayan seluruh Indonesia pada 2017. Target tersebut, dinilai sangat riskan dan berpotensi akan menimbulkan kekacauan serta berpotensi tidak akan terealisasi. Hal itu, karena hingga Desember 2016, jumlah kapal yang dibangun masih sangat sedikit. Sementara, KKP menargetkan pada pertengahan 2017 seluruh kapal sudah dibagikan;
  2. Lambatnya peralihan alat tangkap cantrang yang akan dilarang operasionalnya mulai 1 Januari 2017;
  3. Perizinan kapal lamban, tertutup, dan tidak membangkitkan kemandirian bisnis perikanan skala menengah dan besar;
  4. Terjadinya kriminalisasi  terhadap  nelayan/anak buah kapal (ABK)  di  laut akibat pemakaian alat tangkap ikan yang tergolong merusak; dan
  5. Menurunnya jumlah nelayan yang diasuransikan.

Abdul Halim, Direktur Eksekutif Pusat Kajian Maritim untuk Kemanusiaan mengatakan, catatan buruk tersebut sangat layak disematkan kepada KKP, karena sejumlah indikatornya belum memenuhi kriteria ideal. Salah satunya, adalah indikator jumlah asuransi nelayan yang ditargetkan sebanyak 1 juta jiwa pada 2016.

“Namun pada prakteknya, hanya 143.600 polis asuransi nelayan dari 36 provinsi seluruh Indonesia yang berhasil diraih. Ini menandakan bahwa antara janji dengan realitas seperti jauh panggang dari api,” ungkap dia.

Indikator berikutnya, seperti dijabarkan dalam daftar di atas, menurut Halim, adalah kegagalan dalam pengadaan kapal untuk nelayan. Kata dia, pengadaan 1.719 kapal fiber senilai Rp900 miliar terbengkalai dan luput dari jadwal yang ditargetkan hingga akhir Desember 2016.

Kapal nelayan berjejer di pelabuhan perikanan BItung, Sulawesi Utara. Foto : Wisuda
Kapal nelayan berjejer di pelabuhan perikanan BItung, Sulawesi Utara. Foto : Wisuda

Padahal, menurut Halim, dengan besaran anggaran tersebut, ditargetkan sebanyak 18 kapal berukuran 30 gros ton (GT), 73 kapal ukuran 20 GT, dan 1.628 kapal ukuran 3-10 GT bisa terbangun. Namun, semua target itu, kata dia, terancam tidak terwujud karena sinkronisasi yang tidak jelas, sementara waktu terus bergerak menuju 2017.

“Kekacauan program pengadaan kapal sudah bisa diprediksi akibat minimnya persiapan. Target pengadaan kapal sangat banyak, tetapi waktu pembuatan kapal mepet. Semula akan dibuat 3.450 kapal bantuan, tetapi kemudian direvisi menjadi 1.719 kapal,” jelas dia.

Lepas dari masalah tersebut, Halim menambahkan, program pengadaan kapal masih akan semrawut. Mengingat, setelah kapal terbangun, akan dilihat sejauh mana kesiapan koperasi penerima dalam mengoperasionalisasikan kapal dan skema permodalan yang dibutuhkan.

“Apabila permasalahan ini tidak diantisipasi, bakal banyak kapal perikanan yang dibiayai APBN ‘menganggur’ dan diparkir di sepanjang garis pantai Tanah Air,” tegas dia mengingatkan KKP.

Perluasan Kawasan Konservasi

Selain catatan di atas, Pusat Kajian Maritim untuk Kemanusiaan juga menilai ada catatan buruk atas kinerja KKP terkait kebijakan pelarangan terhadap pemakaian alat tangkap merusak, dan perluasan kawasan konservasi laut.

Halim berujar, pelarangan alat tangkap seperti trawl di perairan Indonesia, sesuai dengan Peraturan Menteri No.2 Tahun 2015 Tentang Larangan Penggunaan Alat Penangkapan Ikan Pukat Hela (Trawls) dan Pukat Tarik (Seine Nets) di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia seharusnya disertai dengan jalan keluar yang baik.

Menurut Halim, tanpa solusi yang baik, pengguna cantrang yang jumlahnya mencapai 1.213 kapal cantrang di Provinsi Jawa Tengah akan merasa sangat dirugikan. Padahal, rerata kapal cantrang berukuran antara 10-30 GT dan memuat sekitar 30 orang.

Catatan buruk berikutnya, dialamatkan Halim pada kebijakan perluasan kawasan konservasi laut yang ditargetkan bisa mencapai 20 juta hektar pada 2020 mendatang. Kebijakan tersebut, dinilai sudah mengabaikan peran nelayan tradisional  dengan  segala  kearifan  lokal  yang  mereka  jalani  secara  turun-temurun.

Nelayan tradisional yang menggantungkan hidupnya dengan mencari ikan. Foto: Junaidi Hanafiah
Nelayan tradisional yang menggantungkan hidupnya dengan mencari ikan. Foto: Junaidi Hanafiah

Seperti diketahui, tafsir Mahkamah Konstitusi melalui Putusan No.3 Tahun 2010 tentang Uji Materi Undang-Undang No.27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun1945 menegaskan bahwa hak masyarakat nelayan tradisional mengelola sumber daya laut sesuai dengan kearifan lokal yang sudah mereka jalani secara turun-temurun adalah sah dan konstitusional.

 

Catatan Baik 2016

Secara umum, Halim memaparkan, sepanjang Oktober 2014 hingga Desember 2016, kinerja kebijakan yang dijalankan oleh KKP terlihat fokus pada kajian isu-isu pokok:

  1. Memerangi praktek pencurian ikan;
  2. Pelarangan terhadap pemakaian alat tangkap merusak;
  3. Perlindungan dan pemberdayaan nelayan, pembudidaya ikan, dan petambak garam; dan
  4. Perluasan kawasan konservasi laut.

Dalam kaitannya dengan kebijakan terhadap isu-isu tersebut, kinerja KKP dinilai sudah cukup baik. Bahkan, Pusat Kajian Maritim untuk Kemanusiaan mengapresiasinya sebagai kinerja yang bagus. Namun, kinerja bagus tersebut, disertai catatan harus ada perbaikan signifikan di tahun anggaran 2017 mendatang.

Adapun, kinerja yang mendapat apresiasi tersebut, adalah upaya memerangi praktek pencurian ikan di perairan Indonesia, serta perlindungan dan pemberdayaan nelayan, pembudidaya ikan, dan petambak garam.

Abdul Halim mengatakan, adanya keseriusan Pemerintah dalam melaksanakan kebijakan di atas, tidak lepas dari keinginan Negara untuk menegakkan aturan berkenaan dengan penindakan terhadap pelaku pencurian ikan di 11 Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia.

Kapal pencuri ikan berbendera Malaysia yang ditenggelamkan di di Pulau Telaga Tujuh, Kota Langsa, Aceh. Foto: Junaidi Hanafiah
Kapal pencuri ikan berbendera Malaysia yang ditenggelamkan di di Pulau Telaga Tujuh, Kota Langsa, Aceh. Foto: Junaidi Hanafiah

Halim mencatat, sepanjang Oktober 2014-Desember 2016, sedikitnya 236 kapal ikan asal Malaysia, Papua Nugini, Tiongkok, Filipina, Thailand, Vietnam, dan Indonesia telah ditenggelamkan. Selain itu, ada upaya dari Pemerintah untuk penegakan hukum terhadap pelaku pencurian ikan belum dijalankan melalui peran pengadilan perikanan  dalam  rangka  meningkatkan  kas  negara  sebagai  penerimaan  negara bukan  pajak.

“Ini seperti tertuang dalam  Pasal  76a-76c  Undang-Undang  Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan,” jelas dia.

Selain UU tersebut, menurut Halim, faktor membaiknya kinerja Pemerintah, tidak bisa dilepaskan dari pengesahan Undang-Undang No.7 Tahun 2016 Tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Nelayan, Pembudidaya Ikan, dan Petambak Garam.

Bagi Halim, pengesahan regulasi tersebut menjadi momentum gerakan nasional untuk memuliakan 3 juta nelayan, 3,5 juta pembudidaya ikan, dan 3 juta petambak garam, termasuk perempuan di dalam rumah tangga ketiga aktor penting tersebut.

Akan tetapi, Halim mengungkapkan, pengesahan UU ini tidak akan memberi manfaat kepada nelayan, pembudidaya ikan, dan petambak garam, apabila kebijakan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil mengedepankan investasi asing ketimbang investasi gotong-royong yang dipraktekkan masyarakat pesisir.

“Pasalnya, Peraturan Daerah mengenai Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang telah disahkan atau tengah dibahas di tingkat provinsi masih menomorduakan hajat hidup masyarakat pesisir,” tutur dia.

Wakil Sekretaris Jenderal Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) Niko Amrullah mengatakan, kinerja KKP dalam dua tahun terakhir dinilai sudah sangat baik. Indikasinya, karena penanganan tindak pidana pencurian ikan semakin banyak dilakukan oleh KKP di wilayah perairan Indonesia.

“Ada keseriusan dari Pemerintah untuk menegakkan hukum di laut. Ini harus diapresiasi,” jelas dia.

Pelaksana Tugas (Plt) Direktur Jenderal Pengelolaan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) KKP Sjarief Widjaja mengatakan, kinerja yang positif akan terus dilaksanakan pada tahun depan. Namun, untuk kinerja yang negatif, pastinya itu akan dievaluasi dan diperbaiki.

Kapal FV Viking yang terbukti melakukan illegal fishing dan telah dicari oleh Interpol, ditenggelamkan di di Pantai Timur Pangandaran, Kabupaten Pangandaran, Jawa Barat pada Senin (14/03/2016). Foto : Humas KKP
Kapal FV Viking yang terbukti melakukan illegal fishing dan telah dicari oleh Interpol, ditenggelamkan di di Pantai Timur Pangandaran, Kabupaten Pangandaran, Jawa Barat pada Senin (14/03/2016). Foto : Humas KKP

 

Pembangunan SKPT

Sjarief mengungkapkan, di antara yang menjadi fokus pada 2017, adalah pembangunan sentra kelautan dan perikanan terpadu (SKPT). Program tersebut, selain untuk memberdayakan ekonomi masyarakat di pesisir dan pulau-pulau kecil, sekaligus juga untuk program kedaulatan di laut.

“SKPT itu adalah penting. Karena kita ingin mengembangkan potensi yang ada di setiap pulau kecil, kawasan perbatasan dan pesisir. Ini jadi fokus di tahun depan,” ungkap dia.

Dengan adanya SKPT, Sjarief meyakini, ketimpangan pembangunan akan segera dihilangkan. Hal itu, karena SKPT akan memberikan kesempatan kawasan untuk membangun ekonominya lebih maju. Semua fasilitas pengembangan ekonomi, akan dibangun oleh Pemerintah.

Selain SKPT, Sjarief mengaku, pihaknya akan fokus untuk memperkuat kelembagaan pengawasan sumber daya kelautan dan perikanan yang bertujuan untuk menjamin kapal-kapal pencuri ikan asing tidak kembali ke perairan Indonesia.

“Saat ini, UPT (Unit Pelaksana Teknis) PSDKP ditambah dari 5 menjadi 14 dan tersebar di seluuruh Indonesia,” jelas dia.

Penambahan tersebut, kata Sjarief,  mengubah komposisi UPT PSDKP menjadi 6 Pangkalan PSDKP yang berada di Lampulo(Banda Aceh), Batam (Kepulauan Riau), Jakarta, Benoa(Bali), Bitung (Sulawesi Utara), dan Tual (Maluku). Sementara, jumlah Stasiun PSDKP kini menjadi 8 UPT yang tersebar Cilacap (Jawa Tengah), Belawan(Sumatera Utara), Kupang (Nusa Tenggara Timur), Pontianak (Kalimantan Barat), Tarakan (Kalimantan Utara), Tahuna(Sulawesi Utara), Ambon (Maluku), dan Biak (Papua Barat).

Lokasi pembangunan Pelabuhan di Selat Lampa, Natuna, Kepulauan Riau pada awal September 2016. Pembangunan pelabuhan itu sebagai bagian dari pembangunan sentra perikanan dan kelautan terpadu (SKPT) dari program KKP. Foto : M Ambari
Lokasi pembangunan Pelabuhan di Selat Lampa, Natuna, Kepulauan Riau pada awal September 2016. Pembangunan pelabuhan itu sebagai bagian dari pembangunan sentra perikanan dan kelautan terpadu (SKPT) dari program KKP. Foto : M Ambari

Menurut Sjarief, penetapan sejumlah UPT tersebut dilakukan berdasarkan berbagai pertimbangan. Di antaranya, karena daerah-daerah tersebut masuk sebagai daerah yang rawan dari kegiatan pemanfaatan sumber daya kelautan dan perikanan secara ilegal dan merusak, terutama ancaman masuknya kapal-kapal perikanan asing ilegal.

Fokus pada pengawalan sumber daya laut tersebut juga diakui Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti. Namun, menurut dia, pada tahun depan, pihaknya juga akan fokus untuk menegakkan hukum di perairan laut Indonesia.

“Tetap memberantas illegalfishing dengan menenggelamkan kapal dan tentu saja penegakan hukum yang lainnya,” tutur dia.

 

Kinerja Anggaran 2016 untuk Kelautan dan Perikanan

Berkaitan dengan anggaran, Pusat Kajian Maritim untuk Kemanusiaan menilai, belum ada pengaruh positif dari penegakan hukum di laut untuk peningkatan kas negara. Dari catatan mereka, Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) di KKP mengalami penurunan drastis antara tahun 2014-2015. Penurunan itu terlihat dari angka penerimaan pajak dari Rp216,4 miliar menjadi Rp79,3 miliar.

Penurunan ini, menurut Abdul Halim, disebabkan  oleh  ketidakpastian  usaha  perikanan tangkap akibat pemberlakuan regulasi yang tarik-ulur dan tidak diakhiri dengan penegakan hukum yang adil dan terbuka.

PNBP Perikanan Tahun 2010-2017

pnbp-perikanan-tahun-2010-2017

Agar hasil serupa tidak terjadi lagi pada 2017, Abdul Halim meminta KKP untuk melakukan terobosan hukum sebagaimana sudah diatur di dalam Undang-Undang No. 45 Tahun 2009 tentang Perikanan. Terobosan hukum yang dimaksud, adalah dengan memaksimalkan peran 8 pengadilan perikanan yang tersebar di Jakarta Utara, Medan, Pontianak, Bitung, Tual, Ambon, Sorong, dan Merauke, melalui mekanisme lelang barang bukti hasil tindak pidana perikanan.

Selain PNBP, Halim menilai, pemberian izin untuk kapal ikan Indonesia (KII) juga belum berjalan dengan baik. Sejak Juni 2015 hingga Juli 2016, sebanyak 1.165 kapala mengajukan izin untuk Surat Izin Usaha Perikanan (SIUP), 2.274 kapal mengajukan untuk Surat Izin Penangkapan Ikan (SIPI), dan 186 kapal untuk Surat Izin Kapal Pengangkut Ikan (SIKPI).

Tetapi, dari jumlah tersebut, Halim memaparkan, KKP baru mengeluarkan sebanyak 265 izin saja. Dengan rincian, 214 untuk SIUP, 22 untuk pengajuan SIPI yang telah disetujui, dan 2 untuk pengajuan SIKPI yang telah disetujui per Agustus 2016.

“Dengan kata lain, dari ribuan kapal yang mengajukan izin baru dan perpanjanan, baru 18 persen saja untuk pengajuan SIUP telah disetujui, 0,97 persen SIPI, dan 1,08 persen untuk SIKPI,” sebut dia.

Menurut Halim, masih rendahnya jumlah izin yang dikeluarkan, menjadi catatan buruk yang harus diperbaiki oleh KKP di 2017. Selain itu, birokrasi untuk mengurus kelengkapan dokumen kapal perikanan yang mencapai 37 hari kerja, kata dia, juga harus diperbaiki pada 2017.

“Ketidakterbukaan Pemerintah di dalam perizinan berdampak serius terhadap keberlanjutan usaha perikanan rakyat. Bahkan, sudah ada yang berhenti operasi sejak dua tahun lalu. Salah satu sebabnya, karena birokrasi yang sulit dan berbelit-belit,” tandas dia.

Artikel yang diterbitkan oleh
, , , , , , ,