Mongabay.co.id

GeRAM: KLHK Jangan Keluarkan Izin Pinjam Kawasan Hutan untuk PLTA Tampur

Gerakan Rakyat Aceh Menggugat (GeRAM) meminta Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) untuk tidak mengeluarkan izin pinjam kawasan hutan terkait rencana pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Tampur-1 di Kabupaten Gayo Lues, Aceh Tamiang, dan Kabupaten Aceh Timur.

GeRAM yang pernah menggugat Pemerintah Aceh, DPR Aceh dan Mendagri menilai, pembangunan tersebut akan merusak hutan dan mengancam kehidupan masyarakat yang tinggal di sekitarnya.

Juru Bicara GeRAM, Teuku Muhammad Zulifikar mengatakan, pihaknya telah menyampaikan surat permohonan penolakan izin pinjam kawasan hutan ke KLHK. “Kami mengirimkan pertengahan Desember 2017 lalu yang isinya permohonan agar tidak diterbitkan izin pinjam pakai kawasan hutan dalam rencana pembagunan PLTA Tampur-1.”

Zulfikar mengatakan, pembangkit listrik tersebut memiliki kapasitas 443 mega watt yang dikerjakan Perusahaan Modal Asing (PMA) PT. Kamirzu asal Hongkong. Berdasarkan kunjungan lapangan, GeRAM menemukan pembangunan itu masih tahap prakonstruksi dan perampungan perizinan. Termasuk, izin pinjam pakai kawasan hutan dari KLHK, izin lingkungan, serta izin usaha.

“Perizinan ditargetkan rampung di 2017. Keseluruhan, PLTA direncanakan beroperasi pada 2025 dan penggenangan waduk direncanakan di tahun pertama itu,” ujarnya baru-baru ini.

 

Baca: Pembangunan PLTA Tampur, Apakah Kelestarian Hutan Leuser Diperhatikan?

 

Zulfikar menambahkan, pembangunan tersebut akan menggunakan lahan seluas 4.090 hektar untuk rencana genangan. Rinciannya, hutan lindung seluas 1.226,83 hektar, hutan produksi (2.565,44 hektar), dan area penggunaan lain (297,73 hektar). Areal proyek yang direncanakan merupakan habitat kunci satwa dilindungi seperti harimau, gajah, dan orangutan sumatera. Daerah ini juga merupakan home range gajah.

“Lokasi proyek adalah hulu sungai yang airnya mengaliri ke kabupaten Aceh Timur, Kota Langsa, dan Aceh Tamiang, sehingga pembangunan bendungan akan menganggu kebutuhan air bagi masyarakat di tiga wilayah itu. GeRAM dengan hormat, meminta Menteri LHK untuk tidak menerbitkan izin pelepasan kawasan atau izin pinjam pakai kawasan terkait PLTA Tampur-1,” jelas Zulfikar.

 

Baca juga: Masyarakat Aceh Tamiang: Kami Resah dengan Pembangunan PLTA Tampur

 

Selain GeRAM, elemen masyarakat dan gabungan NGO/LSM Aceh yang ikut menandatangani surat tersebut adalah Yayasan Hutan Alam dan Lingkungan Aceh (HAkA), Koalisi Peduli Hutan Aceh (KPHA), Forum Orangutan Aceh (FORA), Yayasan Ekosistem Lestari (YEL), Rumoh Transparansi Aceh, Rawa Tripa Institute (RTI), Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA), Orangutan Information Centre (OIC), Gerakan Rakyat Anti Korupsi (GERAK) Aceh, Yayasan Peduli Nanggroe Atjeh (PeNA), dan Jaringan Komunitas Masyarakat Aceh (JKMA).

 

Desa Lesten, Kecamatan Pining, Gayo Lues, tempat pembangunan PLTA Tampur-1 direncanakan. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Dokumen dipaksakan

Dalam diskusi terfokus Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) PLTA Tampur yang menghadirkan mantan tim Komisi Amdal Provinsi Aceh, Rosmayani, di penghujung 2017, diketahui penyusunan Amdal tersebut terkesan dipaksakan.

“Pembahasan Amdal dilakukan November 2016. Terlihat, dokumen kerangka acuan ini cukup sempurna dibuat, karena cukup cepat terbitnya. Hanya satu bulan, pada Desember 2016, langsung jadi,” terang Rosmayani yang pernah menjabat Ketua Tim Teknis Komisi Penilai AMDAL dan Sekretaris Komisi Penilai AMDAL di Bapedal Aceh.

Rosmayani mengatakan, saat pengujian sampel pun ada keanehan karena hasilnya keluar dalam waktu enam hari. Padahal, laboratorium untuk pengujian berada di Serpong, Tangerang Selatan. “Hasil uji laboratorium diterbitkan 9 Desember 2016, sementara pengambilan sampel pada 2 dan 3 Desember 2106. Ini sangat tidak mungkin, karena biasanya untuk pengujian sampel utuh waktu lama.”

Berdasarkan penjelasan tertulis pada stempel pengesahan Dokumen RKL-RPL (Rencana Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Rencana Pemantauan Lingkungan Hidup), pembahasan dokumen AMDAL tingkat tim teknis dilakukan 27 Desember 2016. Lalu, Pembahasan pada tingkat Tim Komisi Penilai Amdal pada 28 Desember 2016. Penerbitan Surat Keputusan Kelayakan Lingkungan Hidup (SKKL) oleh Gubernur Aceh tanggal 27 Januari 2017.

“Penyusunan dokumen begitu cepat dengan mutu sempurna. Seakan, tanpa kesalahan dan tidak ada ruang  untuk perbaikan pasca-rapat tim teknis. Jarak waktu satu hari dilanjutkan dengan rapat komisi,” tuturnya.

 

Menjaga kehidupan gajah sumatera beserta habitatnya berarti kita menjaga keseimbangan alam. Juga, menjaga peradaban bangsa yang dulunya menghormati gajah. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

Riswan, perwakilan dari Yayasan Ekosistem Leuser (YEL) mengatakan, untuk proyek PLTA Tampur, hanya Kabupaten Gayo Lues yang mengeluarkan rekomendasi analisa dampak lingkungan. Sementara izin prinsip hanya dikeluarkan Pemerintah Aceh Tamiang. Sedangkan Kabupaten Aceh Timur, tempat pembangunan DAM, tidak memberikan rekomendasi.

Manager Advokasi Walhi Aceh Muhammad Nasir mengaku, dalam sidang Komisi Amdal, Walhi Aceh menolak Amdal PLTA Tampur karena menggunakan hutan yang sangat luas. Walhi Aceh juga telah melaporkan hal tersebut ke KLHK dan meminta KLHK untuk menolak mengeluarkan izin pinjam pakai kawasan dan izin lingkungan.

“Dampak terhadap lingkungan dan bencana dari proyek PLTA Tampur sangat besar. Lebih baik dibatalkan saja, demi kelesatrian lingkungan dan kemaslahatan masyarakat,” ungkapnya.

 

Banner: Gajah sumatera yang berada di CRU Trumon, Aceh Selatan. Foto: Junaidi Hanafiah/Mongabay Indonesia

 

 

Exit mobile version