Mongabay.co.id

Cerita Warga Tue Tue Pertahankan Lahan dari Tambang Nikel (Bagian 2)

Penolakan warga Tue-tue, Laonti, Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara terhadap tambang nikel PT Gerbang Multi Sejahtera (GMS) bukan tanpa alasan. Warga sudah tinggal lama di lahan itu bermodalkan surat keterangan tanah (SKT).   Pada 1996, Bupati Kendari, Razak Porosi menerbitkan SKT. Warga pun mendiami dan mengelola lahan berpuluh-puluh tahun dari pimpinan pertama Kota Kendari,  sebelum mekar menjadi Konawe Selatan.

Yamal, tokoh Tue-tue menceritakan, tanah mereka dari kebijakan pemerintah Razak Porosi pada 1996. Kala itu, warga mendapatkan lahan untuk penanaman sejuta pohon dan berubah jadi hutan tanaman produksi di Desa Tue-tue.

Pada 2010, GMS muncul membawa izin usaha pertambangan (IUP). Dia heran, karena lahan warga tiba-tiba masuk klaim wilayah tambang perusahaan itu dengan izin Bupati Konawe Selatan, Imran.

Merekanpun mengumpulkan semua bukti, seperti SKT sebanyak 122 orang seluas 1.005 hektar. Semua dokumen lengkap dan jadi landasan penolakan.

Penolakan terhadap GMS bukanlah kali pertama. Sejak lima tahun lalu suara penolakan tambang seluas 2.588 hektar ini,  sudah muncul. Yamal, Sarman dan warga lain sudah menempuh berbagai upaya protes tambang dari aksi sampai gugatan di pengadilan.

Yamal bilang, warga menggugat ke PTUN dan PN Konawe Selatan. Warga menang. Perusahaan melawan, dengan tuduhan Sarman—nelayan korban penembakan– sebagai profokator dan membuat surat-menyurat palsu.

GMS, katanya, menggalang warga Tue-tue, dengan tudingan tanda tangan dipalsukan Yamal. Yamal, tak gentar. Dia sudah menduga, bakal ada upaya menakut-nakuti gerakan warga. Suara perlawanan tak berhenti.

Kemenangan di PTUN dan PN Konsel,  merupakan kerja perlawanan Yamal bersama warga. Seiring putusan itu keluar, Yamal masuk penjara di Polres Konsel. Berbagai tuduhan dialamatkan kepadanya.

“Saya tetap berpesan ini belum berakhir,” katanya.

Tujuhpuluh lima hari dalam penjara Yamal malah menyusun langkah. Setelah keluar penjara, dia menggugat Surat Keputusan (SK) Bupati Konsel atas penberbitan IUP GMS. Hasilnya, pengadilan mengabulkan gugatan, dengan putusan mencabut IUP GMS.

“Di tengah perjalanan IUP GMS muncul lagi dengan nomor SK baru, dengan tahun 2015,” katanya.

Warga bergeming, tetap kukuh menolak GWS. Warga, katanya, heran karena bupati bisa keluarkan IUP pada 2015. Padahal, sejak UU Pemerintahan Daerah 2014,  beragam urusan termasuk mengeluarkan izin tambang dilakukan pemerintah provinsi.

Sementara, penolakan warga terhadap kapal perusahaan berisi alat berat sudah kali ketiga dan berujung penembakan Sarman.

Upaya masuk kapal pertama kali, dihadapi warga dengan aksi serupa meskipun sempat dihalangi Polsek Laonti.

“Hari itu, dua kali mereka berusaha masuk. Warga menghalangi dan tidak jadi,” kata Yamal.

Dia sendiri menolak tambang masuk karena khawatir menghancurkan nasib warga desa. Sekitar 300 keluarga akan kehilangan penghidupan yang sebagian besar dari laut.

“Kalau tambang masuk, pasti laut tempat cari ikan tercemar. Terus, kami dan warga mau cari hidup kemana?” katanya.

Sejauh ini, katanya, perusahaan juga tak jelas akan ganti adil kepada warga padahal seharusnya ada pembicaraan soal itu.

“Mereka kami lihat seperti main paksa, kami tidak tahu mau berlindung sama siapa.”

 

Sarman, nelayan protes tambang, korban penembakan, usai operasi. Foto: Kamarudin/ Mongabay Indonesia

 

Legal?  

GMS menyatakan, perusahaan mereka legal dan tak ada tindakan melawan hukum dalam menjalankan operasi tambang. Perusahaan membantah kalau berada di bibir Pantai Cempedak, IUP ilegal dan non clear and clean.

Herman Pambahako,  Humas GMS mengatakan, IUP mereka tak tumpang tindih. Mereka, katanya, tak pernah mencaplok lahan warga hingga satu warga Desa Tue-tue, tertembak. Dia berdalih, konflik lahan hanya pada dua orang, bukan ratusan warga.

“Sengketa lahan ada, tapi bukan kepada ratusan warga. Hanya dua warga sebagai pemilik lahan. Tak sebanyak disebutkan. Yang lain mereka manuver di masyarakat dengan memprovokatori,” katanya di kantornya.

Dia tuding, Sarman dan kawan-kawan menghadang kapal milik GMS bukanlah pemilik lahan. GMS, katanya, telah mendata warga selaku pemilik lahan sesuai SKT.

“[Warga] yang berada dalam IUP GMS setuju dengan aktivitas penambangan.”

Soal putusan pengadilan membatalkan IUP GMS, Herman tak membantah. Namun, lagi-lagi dia berdalih, tak semua izin dibatalkan karena yang menggugat hanya dua warga.

“GMS akan melakukan penambangan hanya di lahan yang sudah dibebaskan. Itu sudah disetujui dalam RKAB (rencana kegiatan dan anggaran biaya-red) di Dinas ESDM.”

Mengenai konflik lahan berujung penembakan warga oleh aparat keamanan beberapa waktu, Herman, membenarkan kalau kapal dikawal TNI/Polri.

Keterlibatan aparat dalam pengamanan itu, katanya, tak terlepas dari permintaan perusahaan. Aparat, katanya, ada di atas kapal untuk mengawal karena beberapa kali dicegat warga kala menurunkan alat berat.

Tak kalah aneh jawaban Pemerintah Sulawesi Tenggara, melalui Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral. ESDM bilang, dalam kasus GWS dan warga, pemerintah akan netral dan mempertemukan warga dan perusahaan.

Muhammad Hasbullah Idris,  Kepala Bidang Mineral dan Batubara Dinas ESDM membenarkan kalau IUP GMS berada dalam perkampungan. Sesuai UU,  katanya, perusahaan wajib mendapatkan persetujuan dan pergantian hak atas tanah.

“Tapi kita juga tidak bisa melarang melakukan aktivitas. Karena perusahaan juga mempunyai hak sama dalam UU. Ini teknis pelaksanaan ganti rugi namun dilakukan oleh perusahaan dan masyarakat,” katanya di Kendari,  Rabu (17/1/18).

Anehnya, meskipun akui konsesi berada di perkampungan, tetapi dia bilang tak tahu menahu soal konsesi tambang masuk lahan warga.

“Kita hanya menerima permintaan pengesahan dari Pemerintah Kabupaten Konsel. Perlu diketahui, izin itu diterbitkan pemerintah kabupaten,” katanya.

Tanpa menjelaskan soal warga menang pengadilan atas gugatan perizinan GWS, Idris bilang, IUP perusahaan masih berlaku bahkan sudah clear and clean. Izin GMS berlaku sampai 2019, dengan lahan 2.522 hektar.

Dia mengelak dengan mengatakan, pemerintah daerah tak punya kewenangan mencabut IUP karena tak diatur UU.

“Soal konflik itu,  kami ESDM tak mempunyai kewenangan mencabut izin yang telah disahkan. Hal itu tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan ataupun aturan mekanisme kerja Dinas ESDM.” (Habis)

Keterangan foto utama: Yamal memperlihatkan SKT yang mereka miliki sebagai bukti penguasaan lahan sejak 1996. Foto: Kamarudin/ Mongabay Indonesia

 

Tongkang perusahaan berisi alat berat yang jadi sasaran protes warga. Foto: dokumentasi warga Tue-tue/ Mongabay Indonesia

 

 

 

 

 

 

Exit mobile version