Mongabay.co.id

Akses Masyarakat Kelola Lahan Gambut Masih Minim

Hutan gambut adalah bagian dari kehidupan kita yang harus dikelola secara benar. Foto: Rhett Butler/Mongabay

 

Konsorsium Geodata Nasional (GDN) meneliti empat kabupaten di empat provinsi prioritas kerja Badan Restorasi Gambut. Hasilnya, memperlihatkan masyarakat memiliki pengetahuan kearifan lokal yang tinggi dalam mengelola lahan gambut. Meski demikian, akses penguasaan atau kelola lahan melalui perhutanan sosial masih kurang. Bahkan, mereka terancam karena ada kerusakan gambut.

GDN pemetaan sosial, di Desa Cinta Jaya, Kecamatan Padamaran, Desa Jungkal, Kecamatan Pampangan, Kabupaten Ogan Komering Illir, Sumatera Selatan; Desa Rawa Mekar Jaya,  Kecamatan Sungai Apit, Siak, Riau; Desa Rukam, Kecamatan Taman Raji, Kabupaten Muara Jambi, Jambi. Terakhir, Desa Anjungan Dalam, Kecamatan Mempawah Hilir dan Desa Sekabuk, Kecamatan Sadaniang, Mempawah, Kalimantan Barat.

Sebagian lahan gambut di desa-desa itu sudah untuk hutan tanaman industri, perkebunan sawit dan tambang. Pengelolaan kepada masyarakat masih sangat minim. Padahal, di beberapa lokasi masyarakat sudah bergerak dengan pengelolaan laham gambut dengan kearifan lokal dan berpotensi menghasilkan sumber daya ekonomi baru.

Rahmat Sulaiman, Koordinator GDN mengatakan, akses pengelolaan lahan gambut masyarakat minim karena banyak sudah terbebani izin.

Dia bilang, degradasi hutan dan lingkungan maupun deforestasi terjadi karena negara tak mempercayakan masyarakat lokal mengelola lahan dengan kearifan mereka.

”Pengaturan ruang di pusat hingga tapak seharusnya mempertimbangkan keberlangsungan bentang alam ekosistem gambut dan kesatuan hidrologi gambut serta peraturan desa tentang perlindungan dan pemanfaatan ekosistem gambut berkelanjutan,” katanya.

Satu contoh, kearifan masyarakat mengelola gambut di Pulau Padang, Riau. Sudah berpuluh tahun, warga Pulau Padang mengelola sagu, kelapa dan karet. Masyarakat bergantung hidup pada tiga komoditas itu.

Persoalan lahan datang saat PT Riau Andalan Pulp and Paper (RAPP) investasi pada 2009. Konsesi berian pemerintah malah tumpang tindih dengan lahan masyarakat.

”Kami bertahun-tahun hidup di bawah tekanan RAPP, banyak yang membabat habis tempat tinggal kami, membabat hutan yang mempengaruhi kehidupan bercocok tanam kami. Subsidensi pun terjadi di Pulau Padang,” kata Isnadi Esman, Ketua Jaringan Masyarakat Gambut Riau juga warga Pulau Padang dalam diskusi di Jakarta, baru-baru ini.

Pembukaan kanal besar untuk mengeringkan lahan gambut, katanya,  sangat berdampak pada hasil sagu. Sagu, katanya, memerlukan air untuk berkembang. Begitu juga saat kemarau, sagu ikut terbakar. Kelapa juga mulai banyak kena hama kumbang.

”Kanalisasi demi akasia dan sawit menurunkan produktivitas sagu. Biasanya tinggi sagu 12 meter, jadi tujuh atau delapan meter. Satu tual biasa 40 kilogram jadi 20-25 kilogram saja,” katanya seraya bilang, kerusakaan alam dan hutan sekitar gambut, bikin kemiskinan bagi masyarakat.

Yustia Rahman, Koordinator Program HuMa melihat, KLHK masih khawatir memberikan pengelolaan gambut melalui skema perhutanan sosial. Melalui skema ini, dia menganalisa dapat berkontribusi pada penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) Indonesia secara agregat.

”Berdasarkan inventarisasi GRK pada 2012 laporan pemerintah dalam First Biennial Update Report 2016, penurunan agregat emisi GRK nasional jadi 1,453 giga ton setara CO2, di mana kebakaran lahan gambut menyumbang kontribusi 47,8%,” katanya.

Selain itu, BRG juga memberikan pendampingan dan melatih masyarakat jadi negosiator dan mediator konflik.

”Jika  jika ada masalah hukum, kriminalisasi, masyarakatlah yang jadi para legal komunitas di tingkat tapak,” katanya.

BRG bekerjasama dengan Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) unit Kerja Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia,  sedang menyusun regulasi dan standar kompetensi terkait paralegal di Desa Peduli Gambut.

Audy Murfi, Sekretaris BPHN mengatakan, paralegal ini harus mampu penguatan masyarakat soal HAM dan hak-hak yang dilindungi hukum serta terampil membela dan memberikan dukungan terhadap masyarakat lemah dalam mendapatkan haknya.

 

Potensi perhutanan sosial

Berdasarkan data Badan Restorasi Gambut, pada 2017,  ada potensi 559.428 hektar di area restorasi gambut  atau desa peduli gambut pada tujuh provinsi prioritas BRG.

Pada 2018, ada potensi 905.989 hektar lahan gambut di KHG.”Tentu masih indikatif. Akan overlay kembali dan kemungkinan pemetaan bisa berubah,” kata Myrna A Safitri, Deputi Edukasi, Sosialisasi, Partisipasi dan Kemitraan BRG.

Meski demikian, dari 559.428 hektar baru 1.000-an hektar sudah diberikan akses pengelolaan perhutanan sosial berupa hak pengelolaan hutan desa, di Pematang Rahim, Kabupaten Tanjung Jabung Timur, Jambi.

Baru ada satu desa jadi mitra BRG yang sedang tahap verifikasi untuk mendapatkan hutan desa dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Yakni, Desa Mekar Jaya, Siak, Riau, sekitar 4.970 hektar, dengan potensi penghasil sagu.

BRG memetakan,  dari 175 desa dengan luasan 1,1 juta hektar memiliki gambut 870.000-an  hektar. Lokasi itu punya potensi pengelolaan gambut dan jadi model perhutanan sosial.

Myrna mengatakan, BRG berkoordinasi dengan KLHK untuk menggandeng restorasi gambut dengan skema perhutanan sosial.

Luasan potensi itu, katanya, akan diidentifikasi lanjutan, misal, lihat dari akses, keberadaan gambut dengan pedesaan dan lain-lain.

BRG, katanya, juga berikan pelatihan dan peningkatan kualitas sumber daya manusia lewat pendampingan untuk ajukan prosposal pengelolaan perhutanan sosial.

 

Keterangan foto: Rhett Butler/Mongabay

 

 

Exit mobile version