Mongabay.co.id

Begini Nasib Masyarakat Dongi Kini…

Replika lumbung dan terisoa (tempat pertemuan) di perkampungan masyarakat Dongi Karunsie. Jaringan listrik terlihat melintas di depan rumah mereka sedang perkampungan ini tetap tanpa aliran listrik. Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia

Rumah berdinding kayu dan lantai semen kasar. Tak ada listrik.  Tuan rumah, Yadin Waloli, berdiri di depan bangunan persegi seluas sekitar satu meter. Ia untuk ‘rumah’ genset.

Bagian lain,  ada aula pertemuan berlantai tanah. Dekat pintu ada gambar peta hasil repro karya Kruyit,  seorang misionaris cum antropolog kebangsaan Belanda, tahun 1899.

Peta itu menuliskan nama Karonsie (Karunsie) bersisihan dengan Noeha (Nuha) di Pesisir Danau Matano. Karunsie adalah nama entitas adat masyarakat, termasuk orang Dongi. Yadin orang Dongi.

Dongi adalah kampung yang luluh lantak pada periode pergolakan Darul Islam / Tentara Islam Indonesia (DI/TII) pimpinan Kahar Muzakkar tahun 1950-1965. Orang-orang Dongi yang sebagian besar beragama nasrani, mendapatkan tekanan. Mereka dipaksa memeluk Islam, atau pilihan lain meninggalkan kampung.

Ayah Yadin, memilih meninggalkan kampung. Dari mulai berjalan ke Malili, Mangkutana, hingga menuju Sulawesi Tengah. Pada dekade 1970-an, Yadin diajak ayahnya melihat tanah leluhurnya sudah jadi milik perusahaan.

Tahun 1978, beberapa warga Dongi mengadu ke Camat Nuha. Ironis, pemerintah setempat lebih mendukung perusahaan. Akhirnya, pada 2003, Yadin bersama istri dan anak memutuskan menetap di Bumi Perkemahan wilayah adat Dongi.

Bekas pemukiman awal, sudah berubah jadi lapangan golf, areal persawahan jadi taman pembibitan milik PT Vale–dulu PT Inco– perusahaan penambang nikel yang beroperasi sejak 1978 hingga kini.

Yadin memasuki hutan. Pohon-pohon besar di tebang dengan kampak manual. Istrinya, Elsie Mananta ikut membantu. Mereka bangun rumah seadanya untuk melindungi diri dari sengatan matahari dan guyuran hujan.

Dinding pakai terpal, atap beberapa seng baru dan bekas. “Tanah ini masuk konsesi perusahaan. Tak boleh pakai senso karena ribut,” kata Yadin.

“Polisi dan orang perusahaan selalu datang. Saya dibentak. Pernah diseret naik ke mobil polisi. Dituduhkan sebagai penyerobot lahan.”

“Saya pernah minta ditembak saja dan jenazah kubur di tempat ini kalau saya tetap disuruh pergi. Ini tanah kami, apa yang salah?”

Yadin keras bertahan. Hari-hari penuh teror mulai meredup. Beberapa orang Dongi mulai berdatangan. Membangun rumah dan menempati tanah leluhur mereka kembali. Tahun 2014, ada 52 keluarga bermukim. Lagi-lagi, tetap saja mereka dianggap penduduk ilegal. Tak ada fasilitas umum masuk ke kampung.

Pada 2007-2008,  dilakukan upaya pemindahan. Sebanyak 57 rumah dibangun di Kampung Ledu-ledu,  Kecamatan Wasuponda. Beberapa orang menyetujui pemindahan, sebagian warga tak mengindahkan. Di tempat baru, suasana hampir mirip kampung di Bumi Perkemahan, tak ada listrik-baru masuk pada 2012.  Hingga kini, tak ada fasilitas air bersih. Jalan berangkal batu dan tanah liat.

 

Bupati Luwu Timur, Thoriq Husler, 23 Maret 2017, saat diskusi bersama warga di Aula Kecamatan Nuha. Pertemuan membahas keberadaan masyarakat Dongi dalam konsesi PT Vale. Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia

 

Herdinang, anggota DPRD Luwu Timur, mengatakan, wilayah relokasi seperti penjara. “Saya saja, diberi gajipun tak akan mau tinggal di tempat itu. Itu benar-benar tak layak,” katanya Maret 2017.

Ida, warga Dongi lain yang tinggal di Bumi Perkemahan mengatakan, pemindahan itu upaya pembodohan. “Sejak dulu, saya dan beberapa keluarga tak pernah berpikir pindah. Dari mulai orang tua kami, terusir di tanah sendiri, kenapa perlakuan itu kami harus berikan pada anak cucu. Itu tak mungkin,” katanya.

Dalam pertemuan dengan Komnas HAM, manajemen PT Vale, dan Pemerintah Daerah Luwu Timur, Ida berdiri dengan nada gemetar. Dia menangis mengurai segala ingatan dan perasaan.

“Tujuh belas tahun ini kami hidup di tempat itu. Kami tak perlu dikasihani. Kami tak akan pindah. Sekalipun kami membangun rumah dari tiang kayu seadanya. Ini tanah kami,” katanya.

Duapuluh tiga Maret 2017, Hafid Abbas,  Komisioner Komnas HAM mengadakan pertemuan di Kantor Kecamatan Nuha. Sebelumnya,  dia mengunjungi Kampung Dongi di Bumi Perkemahan dan Ledu-ledu.

“Saya lihat perumahan di Ledu-ledu. Itu tempat indah sekali. Ada sungai dan alam indah,” katanya, dalam sambutan di Aula Kecamatan Nuha. Beberapa warga Dongi,  berbisik.

Tampaknya sambutan itu melukai perasaan masyarakat. Apalagi usulan jadikan Dongi sebagai wilayah cagar budaya. Dengan asumsi pola transmigrasi, meskipun tetap mengingatkan soal prinsip HAM. Relokasi dari tempat semula, harus lebih baik dan menjanjikan kesejahteraan.

“Coba di Ledu-ledu itu, saya lihat ada air terjun. Kalau ada industri air air mineral di tempat itu ada berapa ton. Bisa mensejahterakan,” katanya.

“Soal usulan cagar budaya itu, maaf, kami belum sampai pada pemikiran itu. Itu masih jauh. Saya kira, lihat permasalahan sekarang dulu, diselesaikan satu-satu,” kata Martinus, Ketua Adat Korunsie.

 

Kampung Dongi Karunsie, terlihat pada malam hari di salah satu puncak bukit. Terlihat perkampungan sangat gelap dibanding wilayah lain. Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia

 

***

Sejatinya pertemuan di Aula Kecamatan Nuha itu untuk memediasi aliran listrik di Kampung Dongi yang terputus 20 September 2016, karena travo terbakar.

Satu sisi, PT Vale, menuding insiden itu,  karena pemasangan tak sesuai standar. Beban listrik bertambah membuat kapasitas travo melebihi muatan.

Warga mengatakan sebaliknya. Travo sesuai standar. Pemasangan oleh ahli jaringan. “Saat itu, ada beberapa orang mengerjakan jaringan. Bersamaan pula ada kegiatan pramuka. Tiba-tiba travo meledak. Kok baru terjadi. Padahal sekring yang kami pasang di depan kampung tidak turun dan tidak apa-apa. Berarti kesalahan bukan pada jaringan ke rumah warga,” kata Yadin.

Akhirnya, melalui komunitas adat, warga mengadu ke berbagai pihak, termasuk menyurati Komnas HAM. Pada 23 November 2016, Komnas HAM mengirim surat perihal upaya penanganan listrik pada Bupati Luwu Timur. Hingga awal 2017, tak ada penyelesaian.

Pada 30 November 2016,  Bupati Luwu Timur, melayangkan surat kepada PT Vale. “Dalam rangka penyelesaian masalah masyarakat adat Karunsie Dongi secara menyeluruh dan mengurangi keresahan masyarakat adat Karunsie Dongi, diharapkan PT.Vale Indonesia Tbk, sementara waktu menyambung kembali jaringan listrik ke pemukiman.” Begitu sebagian isu surat itu.

Setelah pertemuan multi pihak Maret 2017 di Kecamatan Nuha,  Komnas HAM kembali mengirimkan surat April 2017, perihal rekomendasi kepada bupati, DPRD Luwu Timur, dan Presiden & CEO PT. Vale Indonesia. Surat ditandatangani Hafid Abbas itu menuliskan lima rekomendasi.

Pertama, meminta pemerintah kabupaten dan dewan kabupaten membuat peraturan daerah Masyarakat Adat Dongi Karunsie, sebagai upaya solusi jangka panjang.

Kedua, membangun culture heritage di wilayah adat Dongi Karunsie. Ketiga,  mendata jumlah warga Dongi Karunsie yang bermukim di Bumi Perkemahan. Keempat, menyambungkan kembali listrik ke pemukiman warga guna penyelesaian jangka pendek dan menghindari konflik maupun menjaga kondisi tetap kondusif.

Tak hanya itu, Ombudsman Republik Indonesia pun ikut bersuara. Pada 4 April 2017, Ombudsman perwakilan Sulawesi Selatan lakukan pemeriksaan lapangan ke pemukiman warga Dongi.  Mereka bertemu dengan Pemerintah Luwu Timur, dan meminta klarifikasi ke PT Vale.

Akhirnya, surat-surat itu hanya menjadi arsip. Pada 27 Desember 2017, setelah perayaan Natal saya mengunjungi Kampung Dongi. Meneguk kopi pertama di halaman rumah Yadin. Melihat tiang dan kabel jaringan listrik melintas di depan rumah warga.

“Listrik hanya lewat. Tidak apa-apa. Sudah satu tahun lebih, mungkin kami akan terbiasa tanpa listrik,” katanya.

 

Yadin Waloli. Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia

 

Kasus Dongi ini jadi salah satu yang diangkat Komnas HAM dalam Inkuiri Nasional 2015. Yadin ikut hadir. Basri Kamba, Manager External Relation, mewakili PT Vale mengatakan, sambungan listrik warga Dongi sangat berbahaya. Pernyataan serupa dia ulangi pada pertemuan Maret 2017 di Kecamatan Nuha.

“Bertahun-tahun, listrik itu sudah disambungkan dan kami tidak tahu. Itu sangat membahayakan. Posisi kami sama pak, karena kami ini Tbk– perusahaan terbuka. Harus melalui proses. Itu bukan wilayah pemukiman,” katanya.

Senada diungkapkan, Bayu Aji, Senior Manager Communication PT Vale Indonesia dalam surat elektroniknya, Kamis 18 Januari 2018.

Dia bilang, penyambungan listrik, tak dalam dampingan profesional dan potensi bahaya bagi keselamatan jiwa warga maupun pada jaringan listrik.

“Penyambungan listrik tampaknya sudah ilegal sejak rumah-rumah didirikan di lokasi itu,” katanya.

Bagaimana dengan permintaan Bupati Luwu Timur untuk memasang jaringan listrik? “PT Vale tidak memiliki hak mendistribusikan listrik langsung kepada masyarakat. Hanya PLN yang berhak distribusi listrik.”

Selain itu, katanya, wilayah itu masih konsesi perusahaan. Merujuk SK Bupati Luwu Timur, penduduk Dongi,  sepakat pindah ke Desa Ledu-ledu. “Berdasarkan kesepakatan semua pihak mengenai penyelesaian menyeluruh,” kata Bayu.

Keberadaan masyarakat di lokasi itu, katanya, bisa menimbulkan dampak karena bersinggungan dengan kegiatan-kegiatan perusahaan saat ini dan mendatang.

Ketika, mengunjungi beberapa ruas jalan di sekitar kampung, jalan menanjak menuju pekuburan umum, dan memasuki beberapa rimbun pohon, saya menyaksikan pembukaan lahan perkebunan untuk merica.

Ada kebun milik warga Dongi, ada pula kebun milik orang dari luar Dongi. Lahan-lahan itu ada di wilayah kontrak karya.

“Kami mulai sudah tidak peduli. Apapun yang dilakukan perusahaan dan pemerintah. Mau mencari bantuan sendiri. Membuka keran donasi bagi orang-orang yang peduli.”

“Ada orang yang mengirimkan kami dinamo untuk listrik. Kami akan buat listrik sendiri, memasang jaringan listrik mikro hidro kelak. Kami melakukan itu karena merasa sudah tak mendapat perhatian,” kata Surhama, juga warga Dongi.

 

Dero_ salah satu ragam tarian kebudayaan masyarakat Dongi. Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia

 

Hidupkan kampung

Kampung Dongi di Bumi Perkemahan, mulai berbentuk. Di tengah kampung warga saling bantu membangun mesjid. Mereka mencari bantuan melalui jaringan orang per orang. “Tak lagi kami mengemis ke pemerintah daerah atau ke perusahaan. Coba lihat sendiri, sebentar lagi bangunan itu selesai,” kata Surhama.

Di tempat lain, tampak pipa menerobos pinggiran tebing. Warga swadaya membangun bendungan kecil pada aliran sungai. “Sekitar 400 meter lagi, pipa air bersih akan sampai di perkampungan,” kata Husein, warga Dongi.

“Setelah air, kami usaha lagi bangun listrik air. Skala kecil saja tapi hitungan kami bisa satu rumah 600 watt.”

Husein begitu bersemangat memulai cerita mengenai upaya mandiri itu. “Kami yang harus berani berbuat. Kampung ini akan selalu ada. Kami akan bertahan dan terus berusaha cari jalan baik,” katanya.

Jumat,  12 Januari 2018, sekitar pukul 20.30,  setelah menunggu hujan reda, saya menanjak ke salah satu puncak bukit bursama Igbal Lubis, fotografer lepas. Kami menyaksikan ada rumah terang cahaya listrik. Ada juga dihangati cahaya redup lentera.

Kampung Dongi, tepat di bawah kaki kami. Ada tiga rumah bersinar listrik, dari tenaga genset. Selebihnya, tetap gelap. Dalam frame kamera, titik terjauh cahaya berpendar. Itulah Petea,  lokasi tambang PT Vale.

Di dekatnya, adalah Sorowako. Dekat Kampung Dongi, ada lapangan golf. Di kelilingi lampu penerangan, rumput yang tertata rapi. Di ujung lain, perumahan karyawan PT Vale juga ikut benderang. Dari ketinggian, Dongi seperti lenyap. Gelap. “Seperti tak ada kampung,” kata Iqbal.

Keterangan foto utama: Replika lumbung dan terisoa (tempat pertemuan) di perkampungan masyarakat Dongi Karunsie. Jaringan listrik terlihat melintas di depan rumah mereka sedang perkampungan ini tetap tanpa aliran listrik. Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia

 

Anak Dongi dan beberapa masyarakat sekitar belajar Bahasa Inggris di Aula Pertemuan Kampung Dongi. Foto: Eko Rusdianto/ Mongabay Indonesia

 

 

 

Exit mobile version