Mongabay.co.id

Janji Pemerintah untuk Masyarakat Pesisir Diragukan?

Tiga tahun memimpin Indonesia, duet Joko Widodo dan Jusuf Kalla yang menjabat sebagai Presiden dan Wakil Presiden, dinilai belum berhasil memperlihatkan kinerja yang bagus dalam pengelolaan ruang laut. Penilaian tersebut, bertolak belakang dengan janji keduanya yang dikampanyekan saat melakukan pemilihan Presiden 2014 lalu.

Demikian menurut Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) menyikapi kinerja sektor perikanan dan kelautan selama tiga tahun terakhir. Menurut KIARA, masyarakat seharusnya mempertanyakan dengan kritis keberpihakan Pemerintah sekarang terhadap isu pengelolaan ruang laut yang menempatkan masyarakat pesisir sebagai aktor utamanya.

“Alih-alih menempatkan masyarakat pesisir sebagai aktor utama dalam wacana pembangunan, Pemerintah justru semakin memperlihatkan keberpihakannya terhadap investasi skala besar,” ungkap Sekretaris Jenderal KIARA Susan Herawati di Jakarta, awal pekan ini.

baca : Seperti Apa Keberpihakan Pemerintah pada Masyarakat Pesisir? Ini Salah Satunya..

 

Pemukiman warga pesisir di Tanjung Balai, Sumut. Foto: Ayat S Karokaro

 

Susan mengatakan, dalam tiga tahun terakhir, kebijakan Pemerintah dalam pembangunan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil terus diarahkan kepada peningkatan industri pariwisata, industri ekstraktif, industri properti dan infrastruktur. Arah kebijakan tersebut, menegaskan bahwa pola pembangunan saat ini merupakan bentuk nyata perampasan ruang kehidupan masyarakat pesisir.

Menurut Susan, salah satu contoh kebijakan yang dinilai sudah tidak berpihak kepada masyarakat pesisir, adalah pemberian sertifikat untuk proyek reklamasi di Teluk Jakarta, khususnya pulau C dan pulau D. Sertifikasi tersebut, menegaskan posisi pemerintahan saat ini yang tidak bersama rakyat.

“Tak hanya itu, pemberian sertifikat bagi sebuah korporasi pariwisata di Pulau Pari, Kepulauan Seribu DKI Jakarta, jelas-jelas bertentangan dengan konstitusi Republik Indonesia. Kebijakan ini menjadi dasar kriminalisasi sejumlah nelayan di Pulau Pari,” jelas dia.

baca : Sejahterakan Pesisir, Negara Gandeng Nelayan untuk Kembangkan Wisata Bahari

Selain dua kebijakan tersebut di atas, Susan menambahkan, masyarakat pesisir di Indonesia juga dirugikan oleh proyek pertambangan pesisir, proyek pembangunan pariwisata pesisir dengan nama Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN), dan juga proyek konservasi yang merampas kehidupan mereka. Kata dia, saat ini banyak kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil di Indonesia telah hancur oleh proyek pertambangan.

“KIARA mencatat sedikitnya ada 21 wilayah pesisir yang dihancurkan korporasi tambang. Ini tidak boleh dibiarkan,” sebut dia.

Di luar permasalahan tambang, Susan mengatakan, pada saat bersamaan, banyak wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang kemudian menjadi kawasan pariwisata privat dan tidak bisa diakses oleh masyarakat. Salah satu contohnya, adalah kawasan Kepulauan Batu di Kabupaten Nias Selatan, Sumatera Utara.

“Di Kepulauan Batu ada 101 pulau, tetapi lebih dari 50 persen dimiliki oleh asing. Pulau-pulau di sana telah menjadi miliki privat yang sulit diakses oleh masyarakat,” tuturnya.

baca : Nelayan Kecil Dilibatkan dalam Konservasi Laut Pesisir

 

Desa Mandiodo, Kecamatan Molawe, Konawe Utara, dilihat dari pegunungan. Di lokasi itu merupakan wilayah tambang, jika hujan datang air bercampur ore nikel merembes hingga ke Pesisir Pantai Mandiodo. Foto: Kamarudin/ Mongabay Indonesia

 

Respon Lamban

Kebijakan yang tidak berpihak pada masyarakat pesisir, menurut Susan, kemudian berdampak pada respon Pemerintah Indonesia yang menjadi lamban terhadap bencana alam yang dirasakan warga pesisir. Di antara bencana alam tersebut, contohnya adalah anomali cuaca yang dirasakan masyarakat pesisir sepanjang 2017 lalu.

“Banjir air laut dengan ketinggian bervariasi, merendam desa-desa nelayan di Sumatera bagian selatan, Jawa bagian tengah, dan juga Pulau Lombok bagian timur dan tengah. Itu adalah contohnya. Dan respon Pemerintah masih lamban untuk masalah-masalah tersebut,” jelas dia.

Susan menyebutkan, Di Desa Jerowaru dan Desa Ketapang Raya, Lombok Timur, banjir rob muncul di akhir 2017. Bencana tersebut berdampak pada 856 nelayan tangkap dan lebih dari 450 orang petambak garam serta ratusan petambak ikan bandeng yang ada di kawasan tersebut. Mereka semua, terkena dampak buruk dan harus menelan kerugian yang tidak sedikit.

“Jika dihitung, total kerugian material akibat banjir rob yang melanda desa di dua kecamatan di Kabupaten Lombok ini mencapai lima miliar rupiah,” tegas dia.

baca : Ruang Perempuan dan Adaptasi Perubahan Iklim Masyarakat Pesisir

Menurut Susan, total kerugian di atas dihitung berdasarkan akumulasi dari terhentinya aktivitas dan hancurnya fasilitas tambak garam, hancurnya tambak ikan bandeng, rusaknya puluhan rumah, dan kerugian lain yang dialami oleh nelayan tangkap.

Akan tetapi, Susan menuturkan, saat warga pesisir di desa-desa tersebut menderita kerugian materi dan fisik, perhatian dari Pemerintah masih sangat lambat. Fakta tersebut, menegaskan bahwa keberpihakan terhadap masyarakat pesisir masih dipertanyakan, meski pemerintahan sudah berjalan lebih dari tiga tahun.

“Sampai saat ini, kerugian material yang sangat besar tidak mendapatkan ganti rugi,” tukas dia.

 

Perempuan nelayan harus berkutat dengan kondisi cuaca tak menentu. Mereka tidak hanya dirugikan oleh perubahan iklim ekstrim, juga pada kebijakan pemerintah yang makin mempersulit hidup mereka, misal reklamasi, penutupan jalan di pantai dan lain-lain. Foto: Wahyu Chandra/Mongabay Indonesia

 

Respon yang tidak terlalu bagus dari Pemerintah, juga dirasakan oleh perempuan nelayan yang menjadi bagian dari masyarakat pesisir. Menurut Sekretaris Jenderal Persaudaraan Perempuan Nelayan Indonesia (PPNI) Masnuah, peran dan kontribusi perempuan nelayan di kawasan pesisir dan pulau-pulau kecil di Indonesia belum diakui oleh Negara.

Saat ini, Masnuah menjelaskan, yang disebut oleh Pemerintah sebagai nelayan, adalah mereka yang sumber mata pencahariannya dari menangkap ikan di laut, yang memiliki nilai ekonomis dan diasosiasikan sebagai laki-laki. Definisi tersebut, kata dia, tidak merefleksikan perempuan yang terlibat di dalamnya, baik peran dalam sosial-ekonomi, sosial-politik dan sosial budaya rumah tangga, serta komunitas nelayan.

“Meskipun perempuan nelayan memiliki multi tugas dan tanggungjawab berkaitan dengan rumah tangga dan ekonomi, posisinya tetap disubordinasi sebagai isteri nelayan, bukan perempuan nelayan,” tegas dia.

 

Komitmen Luntur

Tak hanya respon yang lambat, perhatian Pemerintah terhadap kawasan pesisir beserta masyarakatnya, juga mulai diragukan komitmennya. Salah satu indikatornya, adalah penurunan alokasi anggaran untuk membangun kawasan pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil dan dinilai sangat rendah oleh Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia.

Menurut Koordinator Nasional DFW Indonesia Moh Abdi Suhufan, penurunan alokasi anggaran yang diterima Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), menjelaskan bahwa ada perubahan paradigma Pemerintah Indonesia tentang pembangunan pengelolaan ruang laut (PRL) secara nasional.

“Dengan melihat isu dan masalah yang harus ditangani di wilayah pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil, alokasi yang dikucurkan jelas tidak sebanding. Itu menyebabkan upaya tata kelola pemanfaatan dan rehabilitasi sumberdaya pesisir dan pulau-pulau kecil belum dapat dilakukan secara optimal,” ungkap dia.

 

Pulau Pudut, pulau kecil di dekat Tanjung Benoa, yang menjadi incaran investor untuk direklamasi. Foto: Ni Komang Erviani

 

Abdi Suhufan mengatakan, saat ini ada empat masalah penting dalam pengelolaan kelautan yang mendesak memerlukan penanganan, yaitu penyusunan regulasi kelautan, pembangunan pulau kecil terluar, rehabilitasi ekosistem dan konservasi, serta peningkatan produksi garam.

Dalam program pengelolaan kelautan, menurut Abdi Suhufan, diperlukan komitmen untuk menyelesaikan regulasi turunan dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan UU Nomor 32 Tahun 2014 tentang Kelautan.

Dia menjelaskan, sejak 1999 saat pertama kali instansi KKP terbentuk, terdapat jarak antar satu aturan dengan aturan lain. Kemudian, kebijakan dan program yang berjalan banyak yang tumpang tindih dengan kementerian lain seperti Kementerian Agraria dan Tata Ruang, KLHK dan ESDM.

“Dari sembilan amanat peraturan Pemerintah sesuai UU Nomor 32 Tahun 2014, sampai saat ini baru berhasil diselesaikan satu peraturan Pemerintah yaitu tentang Kebijakan Kelautan Indonesia. Berdasarkan UU Kelautan, masih ada delapan peraturan Pemerintah yang perlu diselesaikan secepatnya,” papar dia.

Dengan adanya penurunan alokasi anggaran untuk pembangunan PRL, Abdi Suhufan khawatir, pembangunan di pulau kecil terdepan yang masih memerlukan intervensi pembangunan secara langsung, akan kembali tertunda. Kata dia, saat ini, dari 111 pulau kecil terdepan, 48 pulau di antaranya adalah yang mendesak mendapatkan intervensi langsung dari Pemerintah Indonesia.

“Kementerian Kelautan dan Perikanan menjadi lead dalam mengoordinasikan pelaksanaan pembangunan di pulau kecil terdepan tersebut,” tutur dia.

Abdi Suhufan menyebut, pembangunan pulau-pulau kecil terdepan selama ini dilakukan tanpa koordinasi perencanaan yang baik. Penyebabnya, masing-masing kementerian datang dengan menu pembangunan masing-masing. Selain itu, kemampuan mengoordinasikan program Pembangunan Pulau-Pulau Kecil Terluar (PPKT) oleh KKP juga sudah menurun mengingat dukungan anggaran yang kurang dan ketiadaan grand strategi pembangunan PPKT.

Padahal, menurut proyeksi DFW-Indonesia, setiap tahunnya pembangunan PPKT membutuhkan anggaran sekitar Rp300 miliar untuk 31 pulau terdepan berpenduduk. Anggaran tersebut dibutuhkan untuk mengembangkan usaha ekonomi produktif masyarakat dan penyediaan infrastruktur dasar.

 

Suasana pesisir Sanur dengan latar belakang gunung Agung di Bali Timur. Laut memberi makanan dan tempat rekreasi. Foto Luh De Suriyani

 

Selain pulau kecil terdepan, menurut peneliti DFW-Indonesia Subhan Usman, masih ada isu lain yang juga membutuhkan dukungan langsung dari Pemerintah Indonesia. Isu tersebut, berkaitan dengan rusaknya ekosistem pesisir dan konservasi perairan.

“Banjir rob dan mundurnya garis pantai pada beberapa daerah di pantai utara Jawa seperti Semarang, membutuhkan penanganan yang terintegrasi melalui rehabilitasi dan penggunaan teknologi rekayasa lingkungan seperti sabuk pantai,” jelas dia.

Kemudian dalam hal pengelolaan kawasan konservasi, Subhan menerangkan, dari 19,9 hektare kawasan konservasi laut (KKL), seluas 12,61 ha di antaranya merupakan kewenangan KKP dan daerah untuk dikelola secara lestari. Sementara faktanya, saat ini masih banyak kawasan konservasi belum memiliki rencana pengelolaan dan rencana zonasi.

“Juga ketiadaan sarana pengawasan dan batas zonasi yang tidak jelas di laut. Sehingga upaya penegakan hukum masih sulit dilakukan. Karena minimnya anggaran, berujung pada efektifitas pengelolaan kawasan masih jauh dari harapan,” ujar dia.

 

Exit mobile version