Mongabay.co.id

Wabah Campak dan Gizi Buruk di Asmat, Elsam: Korporasi Perusak Hutan Harus Ikut Tanggung Jawab

Mario, bersama ibunya di RSUD Agats, Asmat. Mario adalah salah satu anak yang alami gizi buruk. Sejak September 2017, terjadi wabah campak di Asmat, sudah 63 anak meninggal dunia. Pasien campak ini juga ternyata juga alami gizi buruk. Foto: Nethy Dharma/ Mongabay Indonesia

Wabah campak dan gizi buruk dalam melanda Kabupaten Asmat, Papua. Kondisi ini, memperlihatkan hak kesehatan, sebagai hak dasar warga belum terjamin optimal oleh negara. Berbagai kalangan menilai, hutan Papua, yang terbabat hingga warga yang bergantung hutan kehilangan sumber hidup, jadi pemicu masalah kesehatan di Asmat, Papua.

“Perusahaan kayu yang pengubah hutan Asmat, menghilangkan sumber pangan masyarakat. Mereka harus bertanggung jawab,” kata Andi Muttaqien Deputi Direktur Advokasi Elsam, kepada Mongabay, pekan lalu.

Data Kementerian Sosial, sejak September 2017-Januari 2018,  RSUD Asmat merawat ratusan pasien campak. Sebanyak 393 orang rawat jalan dan 175 rawat inap. Kejadian luar biasa (KLB) terjadi di enam distrik di Kabupaten Asmat, salah satu Distrik Agats, Ibukota Asmat.

Tragedi kemanusiaan di Asmat ini, katanya, memunculkan pertanyaan mendasar, sejauh mana keberadaan korporasi pengeksploitasi sumber alam bertanggung jawab terhadap penghormatan HAM.

Seharusnya, perusahaan-perusahaan yang beroperasi di Papua berperan dalam penghormatan HAM termasuk hak pangan, hak kesehatan, dan hak pembangunan serta keadilan dan kesetaraan gender.

Pemerintah, katanya,  perlu melibatkan seluruh perusahaan di Papua terlibat dalam penghormatan HAM itu.

“Presiden Joko Widodo seharusnya tak hanya membangun infrastruktur di Papua, persoalan perusakan hutan yang jadi ruang hidup dan sumber pangan masyarakat harus diperhatikan,” katanya.

Untuk itu, katanya, negara wajib bertindak cepat, dan korporasi penggerus hutan juga harus bertanggung jawab.

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mendefinisikan hak kesehatan sebagai keadaan fisik, mental dan sosial yang lengkap, bukan hanya tidak ada penyakit atau kelemahan.

Pemenuhan hak kesehatan, katanya,  mensyaratkan ada fasilitas dan layanan perawatan kesehatan memadai, dan tindakan negara soal penentu kesehatan seperti faktor sosial, ekonomi, makanan, air dan sanitasi, kondisi kerja, perumahan, serta kemiskinan.

Komite Hak-hak Ekonomi, Sosial dan Budaya PBB, kata Andi, memberikan standar mengenai kewajiban penikmatan hak kesehatan, meliputi  elemen ketersediaan, keteraksesan, dan kualitas.

Ketiga elemen itu, katanya, mensyaratkan ada tenaga medis dan paramedis profesional dan terlatih dengan memadai. Pemerintah,  harus menjamin ketersediaan obat-obatan esensial, termasuk vaksin campak. Keteraksesan fasilitas kesehatan, katanya,  harus terjangkau ke semua orang.

Dia bilang, di Papua, pembangunan sektor kesehatan cenderung alami kemunduran. Pemberian imunisasi tak optimal dan kekurangan tenaga medis dalam mencegah penyakit menular seperti campak.

“Pemerintah belum maksimal mengerahkan sumber daya tersedia dan  menetapkan prioritas penanganan masalah kesehatan, terutama bagi kelompok rentan anak dan perempuan, termasuk  wilayah-wilayah terpencil di Papua,” katanya.

Elsam menyatakan, kematian 63 anak di Asmat karena wabah campak dan gizi buruk mengkonfirmasi potensi kegagalan pemerintah merealisasikan tujuan dalam memastikan kehidupan sehat bagi warga.

Berdasarkan laporan berjudul Human Rights in West Papua 2017, dari International Coalition for Papua (ICP) disebutkan, ada 87 perusahaan tengah mengajukan dan sudah mengantongi konsesi lahan untuk jadi perkebunan sawit di Papua. Perkiraan luas lahan untuk perkebunan sawit 2.148.015 hektar.

“Ada delapan perusahaan memiliki hak eksploitasi hutan baik di Papua maupun Papua Barat. Total lahan dikuasai 5.257.950 hektar,” tulis laporan ICP.

Data Sawit Watch 2017, menyebutkan, luas perkebunan sawit di Papua saat ini 958.094,2 hektar–belum termasuk Papua Barat–dengan 79 perusahaan perkebunan.

Pegiat HAM dan tokoh agama di Papua, Pastor John Djonga mengatakan, campak dan gizi buruk di Asmat, Papua, bukan satu-satunya tragedi kesehatan.

Sepanjang Mei-Desember 2017, 68 orang di Distrik Saminage, Yahukimo, meninggal karena gizi buruk.  Pada November 2017, 41 bayi di Kabupaten Paniai meninggal karena gizi buruk.

Masyarakat di pedalaman Papua, katanya,  kesulitan mendapatkan makanan pokok lokal, seperti sagu. Jutaan hektar hutan sagu terbabat untuk tanaman lain seperti padi dan sawit.

Menurut Pastor Jhon, luas hutan sagu makin menipis karena pembabatan pohon untuk penjualan kayu. Di Asmat,  terkenal kekayaan kayu gaharu, sejak 10 tahun lalu sudah ditebangi.

“Pohon-pohon ditebang, tentu banyak pohon sagu ikut mati.  Jangan heran jika seluruh Papua mengalami krisis pangan dan gizi buruk,” katanya.

Kepala Staf Kepresidenan (KSP) Jenderal (Purn) Moeldoko mengatakan, sebab utama wabah campak dan gizi buruk di Asmat, Papua karena kebiasaan masyarakat kurang peduli kesehatan.

Moeldoko menilai, perlu ada edukasi intensif kepada warga agar peduli kesehatan.”Kebiasaan masyarakat hidup kurang peduli kesehatan, seperti saya dulu di kampung. Itu cara buang airnya. Ini perlu edukasi,” katanya, pekan lalu dikutip dari antaranews.com.

Senada dengan Moeldoko, Menteri Kesehatan Nila F Moeloek mengatakan, kebersihan jadi faktor utama penyebab gizi buruk dan campak muncul di Asmat.

Nila bilang, banyak anak-anak di Asmat menderita cacingan. Dia bilang, penuntasan gizi buruk dan campak di Asmat harus menyeluruh.

Keterangan foto utama: Mario, bersama ibunya di RSUD Agats, Asmat. Mario adalah salah satu anak yang alami gizi buruk. Sejak September 2017, terjadi wabah campak di Asmat, sudah 63 anak meninggal dunia. Pasien campak ini juga ternyata juga alami gizi buruk. Foto: Nethy Dharma/ Mongabay Indonesia

 

Ralat: pada alenia kedua, sebelumnya menyebutkan tambang, sawit dan tanaman industri, berubah jadi: perusahaan kayu.

 

 

Exit mobile version