Mongabay.co.id

Budi Pego, Aktivis Penolak Tambang Tumpang Pitu Itu Kena 10 Bulan Penjara

Aksi solidaritas warga Banyuwangi tolak tambang emas Tumpang Pitu, PT Bumi Suksesindo, kala sidang putusan Budi Pego di PN Banyuwangi, Selasa (23/1/18). Foto: RZ Hakim/ Mongabay Indonesia

 

Satu lagi warga yang berjuang mempertahankan lingkungan mereka tetap terjaga terjerat hukum. Kali ini,  pegiat lingkungan Banyuwangi,  penolak tambang emas Tumpang Pitu, Heri Budiawan alias Budi Pego. Hakim memutuskan Budi terbukti menyebarkan ajaran komunisme atau Marxisme–Leninisme terkait muncul spanduk berlogo palu arit dalam aksi penolakan pertambangan emas Tumpang Pitu, 4 April 2017.

Sebelumnya, Jaksa Penuntut Umum (JPU) menuntut Budi hukuman tujuh tahun penjara. Budi dijebloskan ke Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIB Banyuwangi sejak 4 September 2017. Dengan begitu, masa penahanan tersisa 5,5 bulan.

Pada putusan Rabu (23/1/18), majelis hakim berpendapat Budi terbukti sebagai koordinator aksi penolakan tambang emas 4 April 2017 yang dianggap melanggar hukum karena tak mengajukan surat pemberitahuan tertulis kepada kepolisian. Dalam aksi itu muncul spanduk berlogo palu arit. Hal itu, masuk pertimbangan yang memberatkan karena dianggap menimbulkan keresahan masyarakat. Dua pertimbangan meringankan Budi yakni, masih muda dan tak pernah terlibat tindak pidana.

Majelis hakim, menganggap, Budi mengetahui ada spanduk berlogo palu arit muncul dan tak berusaha menghentikan. Padahal,  simbol palu arit sudah diketahui umum sebagai lambang Partai Komunis Indonesia (PKI).

Logo palu-arit dinilai sebagai bukti benih-benih komunisme yang bertentangan dengan Pancasila. Paham komunisme merupakan hal terlarang di Indonesia, berdasarkan Ketetapan MPRS Nomor 25/1966 tentang Pembubaran PKI.

Barang bukti dalam kasus ini antara lain, mobil pikap yang mengangkut spanduk, delapan spanduk penolakan tambang dan flashdisk berisi video aksi hasil rekaman Sidik Bintoro, wartawan Banyuwangi 1 TV. Sampai kini,  spanduk berlogo palu arit masuk daftar pencarian barang alias tak pernah ada dalam persidangan.

“Dengan putusan kepada Budi Pego, itu bukti keadilan di negara ini benar-benar belum adil. Pisau keadilan benar-benar runcing ke bawah. Dengan kita hadir bukti tak semua warga Indonesia khusus Banyuwangi pro kapitalisme,” kata Fina Mawadah, Mahasiswi Universitas Tujuh Belas Agustus Banyuwangi, kala orasi.

 

***

Sepanjang Jalan Adi Sucipto, tampak lengang. Dari ruas jalan samping  Universitas 17 Agustus Banyuwangi hingga pertigaan Gedung DPRD Banyuwangi ditutup sejak pukul 07.00 guna mengantisipasi kemacetan lalu lintas karena tumpukan massa.

Sekitar 350 warga Pesanggaran bersama barisan aktivis lingkungan dan mahasiswa di Banyuwangi berkumpul di timur PN Banyuwangi.  Berjarak 100 meter, di sebelah Masjid Ahmad Dahlan. Mereka  menunggu putusan kepada Budi.

Doa bersama, orasi, pembacaan puisi dan longmarch mereka lakukan sebagai ekspresi dan solidaritas untuk Budi, warga Desa Sumberagung Kecamatan Pesanggaran, Banyuwangi, penolak pertambangan emas di Gunung Tumpang Pitu.

 

Budi Pego, berbaju putih, kala sidang putusan dengan vonis 10 bulan penjara dari tuntutan tujuh tahun. Foto: RZ Hakim/ Mongabay Indonesia

 

Dari depan pengadilan, terdengar orasi dan teriakan dari arah barat. “Ganyang PKI. Usut tuntas kasus pengibar spanduk palu arit. Musnahkan PKI.”

Berjarak 200 meter ke arah barat dari pengadilan, sekitar 100 orang mengatasnamakan Kelompok Anti Kebangkitan Komunisme aksi mengawal sidang putusan Budi Pego.

Mereka memasang  beberapa poster. “Waspadai kebangkitan PKI.”  “PKI musuh negara dan rakyat.” “Hukum berat pengibar spanduk palu arit.”

Selama proses pembacaan putusan di ruang sidang, Indah Sutami, istri Budi seringkali mengusap mata dengan ujung kerudung. Di sampingnya berdiri Fitriyati, warga Dusun Pancer.

Selama pembacaan vonis, Fitri menangkupkan tangan. Sesekali dia mengusap air mata. Saat vonis, Indah berkata sambil menangis, “Saya tidak terima keputusan ini.”

Usai persidangan Budi menyatakan kekecewaan atas putusan majelis hakim tetapi akan berkonsultasi dengan kuasa hukum dan keluarga untuk memutuskan langkah lanjutan. Berulang-ulang, dia menegaskan tak bersalah dan tak bisa menerima putusan itu.

“Kami terkejut dan kecewa dengan hasil putusan. Isi putusan mengancam demokrasi. Ini berkaitan dengan menyampaikan pendapat di muka umum. Jika ini jadi yurisprudensi, akan sangat mengancam bagi kawan-kawan di Indonesia,” kata Ahmad Rifai, penasehat hukum Budi Pego.

Rifai tak sependapat dengan pertimbangan hakim kalau temuan logo palu arit di spanduk berarti memenuhi unsur mengajarkan atau menyebarkan paham komunisme. Terdakwa diberikan jangka waktu selama 7 hari untuk mengajukan banding atau tidak.

Zainal Arifin, pegiat wisata di Pulau Merah, mengecam terhadap Budi. Tuduhan pengibaran spanduk berlogo palu arit itu, katanya, rekayasa penguasa yang berpihak pada korporasi untuk menghadapi rakyat kecil.

“Jika penguasa telah berpihak kepada korporasi, Banyuwangi ke depan akan hancur. Dengan berat hati saya nyatakan Banyuwangi mulai hancur. Banyuwangi mulai dihancurkan, mulai dari pertambangan Tumpang Pitu.”

Dia bilang, kini banjir melanda dan laut jadi kotor, ikan sulit didapat, sampai pertanian rusak. “Siapa yang bertanggung jawab?” kata Zainul dalam orasi.

Ketika aksi berlangsung, seorang petugas kepolisian membawa sekardus air mineral kemasan dan menyodorkan pada Umi, perempuan yang berdiri tepat di depan police trap.

Umi, warga Pesanggaran yang bergabung dalam aksi solidaritas untuk Budi.

“Ini air apa Pak? Dari mana? Jangan-jangan ini dari perusahaan tambang? Tidak mau saya Pak. Kami sudah bawa bekal sendiri. Maaf ya,” tolak Umi dalam bahasa Jawa.

Sela istirahat, beberapa warga duduk di jalanan aspal. Ada yang membuka nasi bungkus, ada membagikan air mineral dan ada yang berjalan membagikan sekardus pisang rebus.

Usai putusan, ratusan warga longmarch menuju ke Kantor Bupati Banyuwangi, mereka aksi sampai pukul 14.00.

I Wayan Gendo Suardana, Dewan Nasional Walhi, juga turut dalam aksi warga mengatakan, vonis terhadap Budi bentuk kriminalisasi kepada aktivis lingkungan. Anehnya, sampai vonis putus, pelaku utama pembuat spanduk berlogo palu arit belum terungkap. “Penegak hukum seharusnya mengusut pelaku utamanya.”

Gendo menilai, vonis 10 bulan dari tuntutan tujuh tahun penjara membuktikan sebenarnya pengadilan ragu-ragu dalam menghukum Budi, yang mestinya vonis bebas.

Jelas pula, katanya, UU negeri ini sebenarnya melindungi para pejuang lingkungan. Ia termaktub dalam Pasal 66 UU 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.

Pasal itu, katanya,  menyebutkan, setiap orang yang memperjuangkan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat tak dapat dituntut secara pidana maupun perdata.

Amnesty International Indonesia menilai vonis Budi melanggar konstitusi. Amnesty mendesak, Budi bebas tak bersyarat.

“Ini bentuk represi judisial terhadap hak konstitusional warga untuk berpendapat. Kami meminta otoritas judisial lebih tinggi segera membebaskan Budi. Putusan ini akan membuat orang-orang takut memberikan kritik atas segala ketidakadilan di masyarakat,” kata Usman Hamid, Direktur Amnesty Internasional Indonesia, dalam siaran pers.

Menurut Usman, kasus Budi Pego itu tak berhasil menemukan kebenaran materil dan keadilan karena dasar tuduhan dan bukti yuridis lemah.

Keterangan foto utama: Aksi solidaritas warga Banyuwangi tolak tambang emas Tumpang Pitu, PT Bumi Suksesindo, kala sidang putusan Budi Pego di PN Banyuwangi, Selasa (23/1/18). Foto: RZ Hakim/ Mongabay Indonesia

 

Aksi solidaritas warga Banyuwangi tolak tambang, pada sidang putusan Budi Pego, Selasa (23/1/18). Foto: RZ Hakim/ Mongabay Indonesia

 

 

Exit mobile version